EL. 5 ELIA

1030 Words
Ketukan di pintu menyadarkan El dari lamunan saat masih di Jakarta, sebelum ia datang ke kantor ini. "Masuk!" Pintu terbuka. "Selamat pagi, Pak." Si judes yang muncul di ambang pintu ruangan kantor El. Office girl galak itu masuk, lalu berdiri di depan meja kerja El. "Selamat pagi, ada apa?" "Bapak ingin minum apa?" "Bukannya di sini hanya ada air putih, bukan warung yang bisa memilih ingin minum apa?" El bertanya tajam. "Maafkan saya. Saya tidak tahu kalau Bapak akan jadi bos di sini." Meski meminta maaf, tapi si office girl dengan berani menatap mata El. "Siapa nama kamu?" "Elia, biasa dipanggil El." "Minta pada orang yang memangil kamu El, rubah panggilan kamu jadi Eli, atau Lia." Perintah El. "Bapak memang bos saya, tapi Bapak tidak bisa semena-mena minta orang mengganti nama panggilannya." Mata Elia melotot ke arah El. "Kamu tahu kenapa saya minta kamu mengganti nama panggilan kamu?" "Mana saya tahu." Elia mengangkat bahunya. "Kamu tahu nama saya?" "Bapak Arshaka," jawab Elia. "Alshaka El-Fauzi. Saya dipanggil El. Bagaimana mungkin di tempat yang sama ada dua orang dengan nama panggilan yang sama. Nanti bingung siapa yang dipanggil." Elia terdiam. Ia merasa yang dikatakan El benar juga. "Gampang. Tambahin aja belakangnya. El OG dan El Bos. Buat apa ribet harus ganti panggilan. Sekarang Bapak ingin minum apa? Saya buka warung minum khusus untuk para bos saja." Meski sudah tahu El bos tapi tidak merubah cara bicara Elia pada El. El jadi kesal. "Aku tidak mengerti bagaimana cara orang kantor ini merekrut seorang office girl." El menggerutu. "Saya salah apa, Bapak bicara seperti itu." Mata El melotot. "Kamu tidak menyadari kesalahan kamu. Kamu itu judes, galak, mana ada office girl seperti kamu terpakai di Jakarta!" "Ini bukan Jakarta, ini Banjarbaru." "Sama saja, dimanapun, di kantor apapun, office girl itu harus ramah, tidak bisa galak ingin makan manusia seperti kamu itu." "Iya, maaf. Saya sudah galak ke Bapak. Sekarang katakan Bapak ingin minum apa, saya capek ini berdiri." "Saya minum air mineral botol saja, dan bawakan saya gelas sekalian." "Iya, Pak. Saya permisi." Elia ke luar dari ruangan El. El menghembuskan nafas dengan kuat. Hari pertama masuk kantor yang sungguh tidak menyenangkan. El melanjutkan lamunan, mengingat saat keluarganya datang berkunjung ke rumah Sabila. Orang tua Sabila menyambut mereka dengan ramah. Orang tua Sabila meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga Ramadan, atas keputusan Sabila untuk memutuskan hubungan menjelang acara lamaran dilakukan. "Kami menerima dengan lapang hati keputusan Sabila. Artinya Sabila bukan jodoh El." Nini Rara yang bicara pada orang tua Sabila. "Terima kasih sudah berbesar hati menerima keputusan Sabila. Ini kelalaian kami sebagai orang tua. Tidak bisa mendidik anak kami dengan baik." Ibu Sabila meneteskan air mata, merasa bersalah dan merasa malu pada keluarga Ramadhan. "Kita lupakan saja, Bu. Kita terima saja mereka tidak berjodoh. Tidak ada sakit hati dan dendam. Kita anggap urusan ini sudah selesai. Biar Sabila dan El menjalani hidup mereka masing-masing. Semoga Sabila bahagia dengan pilihannya dan El juga, semoga segera menemukan jodohnya, aamiin." "Aamiin." Tiba-tiba datang paman Sabila, adik dari ayah Sabila ke rumah itu. Mereka saling memperkenalkan diri. "Bu Rara Ramadhan?" Paman Sabila terkejut saat melihat Nini Rara. "Iya, siapa ya?" Nini Rara menatap paman Sabila. "Saya Anjas. Bu Rara tidak mengenal saya, tapi saya mengenal Bu Rara sebagai pemilik Ramadhan Group. Saya pengembang perumahan, Bu. Saya pernah menghadiri seminar yang pembicaranya Bu Rara di salah satu hotel berbintang di Banjarmasin." "Oh. Dari perusahaan mana?" "PT Perumahan Rakyat, Bu." "Oh. Jadi tinggal di Banjarmasin ya?" "Iya betul, Bu. Senang sekali bisa kenal Bu Rara Ramadhan. Konglomerat yang berbeda dari konglomerat biasanya." "Kami cuma orang kampung yang Alhamdulillah diberi Allah anugerah luar biasa." "Anugerah yang sangat luar biasa, Bu." "Anjas kenal dengan Neneknya El?" Tanya ibunya Sabila. "Oh, Bu Rara ini neneknya El?" "Iya, benar. El, cucu saya. Ini putri saya, ibunya El." "Perusahaan batu bara tempat El bekerja itu juga milik keluarga Ramadhan kan?" "Iya betul. Kantor pusat dipegang oleh El dan salah satu keponakan saya." Sabila dan kedua orang tuanya terperangah, tak menyangka kalau El dari keluarga konglomerat. "Sabila dan El kapan diresmikan?" Tanya Anjas pada Sabila. "Mereka sudah putus." Nini Rara yang menjawab. Nini Rara tidak ingin Sabila merubah keputusan begitu tahu siapa keluarga El sebenarnya. Jangan karena mereka tinggal di kampung lalu dianggap rendahan. "Saya kira sudah waktunya kami pulang. Terima kasih sudah mau menerima kami di sini. Terima kasih pada Sabila yang sudah mengukir kenangan indah dalan hidup El, walau berakhir menyakitkan. Maafkan kalau saya yang orang kampung ini ada salah bicara. Kami permisi, assalamualaikum." Nini Rara bangun dari duduk dikuti El, Kai Razzi, dan kedua orang tua El. Sabila dan kedua orang tuanya belum bisa bersuara, masih sangat terkejut begitu jati diri El yang sebenarnya terbuka. Mereka hanya mengikuti langkah keluarga El yang menuju mobil. "Ke sini liburan ya?" Tanya Rara pada Anjas. "Benar, Bu Rara." "Mampir ke rumah kalau Ke Banjarbaru." "Insya Allah, Bu. Terima kasih." "Kami permisi, assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." Keluarga El pulang ke rumah keluarga mereka tempat menginap. El pulang ke apartemennya. Tiba di apartemen, Sabila menelpon marah padanya, karena selama ini merasa El bohongi. "Aku bohong apa?" "Kamu tidak mengatakan kalau perusaahan tambang itu milik keluarga kamu?" "Untuk apa aku mengatakannya. Perusahaan itu milik keluargaku, bukan milikku." "Tapi kamu tidak pernah bercerita kalau keluarga kamu konglomerat. Kamu mengatakan. Keluarga kamu tinggal di kampung." "Keluargaku memang benar tinggal di kampung. Kalau aku mengatakan keluargaku konglomerat apakah akan ada perbedaannya pada hubungan kita. Apakah kamu akan setia dan tidak berselingkuh. Tidak ada gunanya lagi kita membicarakan hal itu. Kita sudah putus. Jangan sesali keputusan kamu sendiri. Selamat malam, Sabila." El memutuskan sambungan telepon. Kini rasa kecewa dan sakit itu datang lagi. Ternyata benar, alasan Sabila mengkhianatinya karena Rian lebih kaya darinya. Ketukan di pintu kembali membuyarkan lamunan El. "Masuk!" Elia masuk membawa nampan yang di atasnya ada satu botol air mineral dan satu gelas kosong. Elia meletakkan itu di atas meja kerja. Dipindahkan air mineral botol dan gelas dari atas nampan ke atas meja. Lalu Elia mengangkat nampan dari atas meja. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak.' "Tidak, terima kasih." "Saya permisi." "Silakan." El menatap punggung Elia yang ke luar dari dalam ruangannya. Hari pertama yang sungguh membuat kesal perasaannya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD