Entah sudah berapa lama Ailee jatuh tertidur. Suhu di ruangan yang ia tempati saat ini begitu nyaman dan meninabobokannya hingga terlelap. Ruangan milik salah satu dari tiga orang penculiknya. Kamar itu adalah milik pria yang paling ditakuti Ailee di antara mereka bertiga.
Stoner.
Pemuda yang tampan, —seharusnya, kalau ada seseorang yang cukup peduli untuk membawanya ke salon dan mempermak wajahnya yang lusuh itu— pemuda yang tak terlihat lebih muda dari Ailee, namun juga tidak sedewasa Shin atau Zac.
Beberapa waktu lalu setelah Zac meninggalkan Ailee bersama pemuda itu—hanya berdua di depan pintu masuk kamarnya— Ailee berulang kali mencoba kabur, namun sebanyak itu juga ia mengurungkan niatnya. Mata hijau kelam itu seakan selalu terbuka, mengawasi Ailee bahkan saat bola mata indah itu tak tertuju padanya.
Tingkah lakunya sedikit tidak normal. Stoner suka bergumam dengan dirinya sendiri. Kadang Ailee mendapati diri Stoner berbicara dengan lancar saat menghadap monitor-monitor di meja kerjanya yang berada tak jauh dari ranjang yang ditempati Ailee. Sangat berbeda saat pemuda itu berhadapan dengannya, Shin, atau Zac. Ailee harus berusaha keras memahami ucapan Stoner yang terbata-bata, serak, dan pelan.
Sejak memasuki ruangan milik Stoner, yang pertama menarik perhatian Ailee adalah monitor-monitor dan beberapa keyboard yang berjajar rapi di meja kerja Stoner. Di banyak sisi lainnya, berbaris beberapa kotak besi yang Ailee pikir itu adalah mother board, juga TV dengan layar lebar yang berpetak-petak menampilkan gambar CCTV di bangunan itu. Mesin-mesin itu mendominasi ruangan, selain sebuah ranjang yang berhadapan dengan meja itu. Dari situlah Ailee sadar, ia takkan berhasil lolos dengan mudah dari sini, karena mereka memiliki seorang ahli mata-mata di sini.
Ailee mengedipkan matanya. Cukup rasanya ia mengingat sedikit hal sebelum ia jatuh terlelap. Ailee tak bisa menahan rasa kantuknya, setelah rasanya ia kehabisan tenaga dan ranjang milik Stoner menawarkan kenyamanan yang tak dapat Ailee tolak.
Mungkin Stoner membiarkanku tertidur di ranjang miliknya, saat dirinya sedang sibuk mengutak-atik dan bergumam dengan monitor-monitornya.
Ailee merasa Stoner lebih senang berinteraksi dengan mesin-mesin itu, daripada sekadar menganggap Ailee ada di belakangnya. Sama sekali bertolak belakang dengan informasi dari Zac yang bilang jika sahabatnya inilah yang menginginkan Ailee berada di sini.
Pemuda ini lebih tidak termotivasi daripada dua lainnya!
Stoner malah terlihat lebih tertarik bicara pada dirinya sendiri, mengatakan istilah-istilah aneh yang tak Ailee ketahui maksudnya. Selain itu, pemuda itu tak mengatakan apa pun lagi. Meski dialah yang meminta Ailee untuk —secara mengerikan—datang padanya, pemuda itu tidak mengajak Ailee bicara sama sekali, meski Ailee menangkap basah dia beberapa kali mencuri pandang ke arahnya.
Bukan pandangan m***m, seperti yang biasa ditancapkan para pria b******n di luar sana. Lebih seperti pandangan seorang anak kecil yang takut ketahuan telah melakukan tindak kriminal pertama di dapur ibunya; menghabiskan keik lezat sendirian.
Apa dia punya masalah denganku? Aku pasti ingat jika bertemu dengan pria seunik dia.
Ailee memang sudah terbangun, tapi tetap tak bergerak untuk antisipasi. Ia sedikit membuka matanya, dalam hati memperingatkan dirinya untuk harus selalu waspada dan melihat pergerakan musuh. Meskipun mereka bilang bahwa mereka benar-benar tidak akan menyakiti dirinya sebagai sandera, tapi tetap saja, Ailee tak perlu peringatan kedua untuk lengah di hadapan pria bersenjata yang tak ragu menembak itu tindakan yang sangat gegabah. Teringat bagaimana Stoner bisa menembaki dirinya dengan mudah di saat pertemuan pertama mereka, itu saja sudah cukup membuat Ailee merinding.
Perlahan, sangat pelan, mengangkat sedikit kepalanya untuk mengamati sekitar, yang didapati Ailee hanyalah layar-layar monitor yang masih menyala. Kursi kerja pemilik ruangan itu kosong. Ailee mengerutkan alisnya.
Di mana Stoner?
Secara refleks, Ailee memegangi lebih erat guling milik Stoner yang ia peluk dalam tidurnya. Yang menguarkan aroma tubuh pria itu. Dengan bodohnya, berharap guling itu bisa sedikit melindunginya, jika tiba-tiba pemuda itu keluar dari balik dinding dan menembakinya lagi.
Ayolah, Ailee. Pemuda itu mungkin memang aneh, tapi ia sama sekali bukan seorang ninja yang bisa bersembunyi di balik dinding.
Ailee memeluk benda itu sekuat yang ia bisa. Aroma mesin, AC, dan wangi daun mint yang secara mengejutkan membuat Ailee merasa nyaman. Kemudian ia mulai merasa ada yang salah dengan otaknya.
Di mana dia? Apa sedang di toilet? Inikah kesempatan emas untuk melarikan diri? Keheningan total di ruangan ini membuatku ragu untuk bergerak. Tapi aku harus!
Bersamaan dengan gerakan tubuh untuk mulai beranjak dari ranjang, sepasang tangan mendekap perut mungil Ailee dengan erat sebelum ia sempat bangun. Tangan dengan bau yang sama dengan bau bantal dan guling yang tadi dengan lancangnya ia monopoli.
Stoner?
Dengan sangat tidak yakin, Ailee menjalarkan pandangannya dari lengan itu menuju pada pemiliknya yang bergeming di dekat punggung Ailee.
Rambut berantakan yang hitam kelam seperti mimpi buruk itu menghambur di atas rambut cokelat panjang Ailee. Warna yang kontras, tapi entah apa yang dilihat Ailee dari perbedaan warna yang memadu itu, ia merasa ada sebuah kehangatan yang berkembang dan memenuhi dadanya.
Stoner sedang terlelap di atas rambut Ailee yang terurai. Setengah bagian wajahnya, dia tenggelamkan di uraian rambut Ailee seakan sedang menghirup aromanya. Matanya tertutup, kantung mata itu tak bergerak. Wajahnya terlihat begitu damai. Hanya embusan napasnya yang lembut membelai tulang sayap Ailee. Bibirnya sedikit terbuka, bagian dalam bibir itu merona dan basah.
“Stoner …?”
Ailee hampir terjingkat mendengarkan gumamannya sendiri yang terdengar seperti takut mengganggu tidur nyenyak pemuda manis itu. Tapi tidur bersama penculik, hampir pembunuhnya, tidak terdengar terlalu bagus. Ailee memaksakan dirinya untuk cukup kejam dan menggoyangkan tangan Stoner. Jangan bertingkah seperti anak anjing yang manis seperti itu, bangunlah!
“Hm?”
Dia terbangun semudah itu? Apa dia hanya pura-pura tidur?
“Kau pura-pura tidur?”
Stoner bereaksi cepat dengan menggeleng, rambut hitamnya menggesek kulit punggung Ailee yang terbuka.
Astaga, aku masih memakai gaun tidur tanpa bra!
“Lepaskan … aku?”
Suara Ailee lebih terdengar seperti pertanyaan daripada perintah. Tak terduga, Stoner menuruti ucapannya. Perlahan, terlihat sangat enggan, akhirnya Stoner melepaskan tangannya dari tubuh Ailee dan duduk memunggungi gadis itu seperti sedang kesal padanya.
Tunggu! Apa dia sedang mencoba membuatku merasa bersalah karena sudah membangunkannya?!
Ailee yang terpancing, merangkak duduk menyebelahi pemuda yang duduk membungkuk itu. Mata Ailee tak bisa berhenti untuk mengamati punggung pria itu yang ditutupi kaos putih. Jika diamati lebih dekat, tubuh Stoner tidak sekurus kelihatannya. Dia cukup berotot, meski tidak sebesar milik Zac atau John, bahkan Shin. Well, ya, Stoner sangat kurus. Hanya saja, Ailee masih bisa melihat --dan dengan idiotnya, merasa kagum pada otot-otot kering yang terlihat sangat cocok di punggungnya.
Tidak boleh disentuh, Ailee. Itu punggung pembunuh!
“Kau … harum …” kata Stoner tiba-tiba saat Ailee berusaha mengembalikan akal sehatnya.
“Oh!” sungguh kalimat yang sama sekali tidak diduga akan diucapkan pemuda itu, dari beratus ribu topik yang bisa dibahasnya. ”Um ….”
Apa yang sebaiknya aku katakan?!
“Oke, maksudku … thanks. Tapi jangan memeluk seperti itu lagi?”
Ailee mengingat bagaimana cara Shin mengajak Stoner bicara seperti anak kecil. Sepertinya, pria ini mengidap sindrom tertentu, yang membuatnya bertingkah seperti anak-anak.
Menanggapi permintaan Ailee, Stoner dengan kaku menolehkan kepalanya, melirik Ailee dengan mata hijau indah gelap di balik anak rambutnya yang berantakan. Ailee bersumpah, beberapa detik setelah Stoner mengamatinya, Ailee bisa melihat dengan jelas, pipi pemuda itu merona. Hanya beberapa detik, lalu mengalihkan pandangannya lagi dari gadis itu. Selalu seperti itu. Setan berhasil berbisik, Ailee menganggap itu tingkah yang manis.
“Apa … kita pernah bertemu sebelumnya, Stoner?”
Dengan sikapnya yang tenang, Stoner yang ada di hadapannya saat itu bagi Ailee tak terlihat berbahaya untuk hanya diajak mengobrol. Ailee sama sekali tidak menduga Stoner akan menegakkan punggungnya saat ia memanggil namanya. Mata Stoner membelalak, membuat Ailee bereaksi yang sama. Otot tangannya yang terbentuk indah milik Stoner berkedut-kedut, saat ia mengepal-ngepalkan telapak tangannya dengan cemas.
Kenapa dengan pria ini?
Dengan sikap kaku yang sama seperti sebelumnya, Stoner melirik Ailee, lalu menggeleng, menatap lantai.
“Apa kau mengenalku, Stoner?”
Melirik Ailee sekali lagi dengan ragu-ragu, merapatkan bibirnya menjadi sebuah garis tipis yang indah, lalu Stoner mengangguk. Aku tidak salah menganggapnya manis, bukan?
“Oh, apa kau adalah salah satu dari Ailegion-ku?” tanya Ailee tak dapat menahan godaan untuk mengusilinya.
Sebuah anggukan kecil lainnya.
Apa? Astaga!
“Tapi kau menembakku kemarin!”
Dan kenapa kau menembak idolamu sendiri?
“Grogi … maaf …” katanya dengan suara serak. Ia menunduk malu, cuping telinganya memerah.
Pemuda … tidak, pria itu, Ailee menyadari Stoner bukanlah anak-anak remaja, pria itu adalah pria dewasa. Pria yang terlihat sangat berbahaya dan gila, tapi benar-benar sangat manis di saat yang bersamaan. Dia bahkan mengaku dengan polosnya sebagai seorang fans. Rasa senang yang aneh dan terasa salah, menghangatkan dadanya, memberi Ailee sensasi aneh yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Ailee masih tak dapat memahami asal perasaan hangat ini. Apa mungkin karena karena ia merasa aman bersama seseorang yang tidak akan menyakitinya, sebagai idolanya? Tunggu.
Kata siapa dia tidak akan menyakitiku? Ia hampir menembakku dengan pistol sungguhan! Dia jelas tidak normal, kan? Bagaimana kalau dia psikopat gila yang suka menyiksa seseorang yang dia sukai?! Astaga!
“Stoner, bisakah kau melihatku? Tidak sopan mengalihkan pandanganmu pada orang yang sedang mengajakmu bicara.”
Dan takkan kubiarkan kau menyiapkan pistol atau benda berbahaya lainnya, selagi kau memunggungiku. Lagi-lagi dengan mudahnya pria itu menuruti perintah Ailee. Dengan tangan gemetar, ia menumpu tubuhnya di ranjang untuk berbalik menatap gadis yang diam menunggunya itu.
Awalnya, begitu mereka berhadapan, Stoner terlihat gelisah dan bergerak mundur. Matanya bergetar, berkali-kali mencoba untuk tidak menelanjangi tubuh Ailee dengan pandangannya. Ia menutup bibirnya, dengan tangan yang besar itu, setengah bagian wajahnya tertutup sempurna, menutupi semburat merah di pipinya. Tapi Stoner tetap berusaha menghadap Ailee, meski menelengkan kepalanya ke samping, menatap monitor.
Ya Tuhan, baru kali ini aku melihat pria semenggemaskan ini.
“Stoner ...?”
Seperti takut menyakiti pria itu dengan suaranya, Ailee memanggil Stoner dengan selembut mungkin. Mata Stoner mencari arah panggilan itu dan menatap bibir Ailee. Berhenti di sana. Terhipnotis dengan sukses, tak kalah bodohnya dengan Ailee.
“Kenapa kau, Shin, dan Zac membawaku kemari?”
Dengan masih begitu lembutnya, Ailee bertanya dan tidak membuat gerakan sama sekali. Setengah terbawa suasana, setengahnya lagi adalah karena ia masih ingat bagaimana respons Stoner saat ia menggerakkan badannya dengan cepat, saat bermaksud melarikan diri darinya di depan pintu kamar itu. Refleksnya benar-benar cepat, dan Ailee tak ingin pria itu menodongkan pistol ke arahnya lagi. Shin setidaknya tidak berbohong saat memperingatkannya untuk tidak bergerak tiba-tiba, saat bersama Stoner.
“Ayahmu … berkhianat … dariku,” jawabnya terbata.
Apa? Ayah? Kenapa Ayah disangkutpautkan dalam pembicaraan ini?
“Kau adalah … jaminan yang ia berikan … padaku …. Jadi, karena ia … mengingkari janjinya, maka … aku … mengambil jaminanku … sebagai gantinya …. Yaitu kau.”[]