2. Let's Find Them

893 Words
New York – USA Juni 2020 __________ “Jadi, bagaimana?” Kedua kening Leonard terangkat. Ia memutar tubuhnya dengan cepat menoleh ke sumber suara. “Kau akan diam di sini?” tanya Edgar. Tak ada lagi formalitas di antara mereka. Mulai sekarang Edgar akan berbicara layaknya seorang orang tua yang berbicara kepada anaknya. Itu keputusan Edgar yang tidak bisa diganggu gugat. Terdengar embusan napas panjang dari Leonard. Ia kembali memutar tubuh menghadap dinding kaca. “Kau sudah pastikan jika dia anakku?” tanya Leonard akhirnya. Edgar terkekeh. “Haruskah kubawakan bukti tes DNA?” balas Edgar bertanya. Akhirnya Leonard memutar tubuh sepenuhnya. Ia berjalan menghampiri Edgar yang berdiri di depan meja kerja Leonard. Pria itu kembali menghela napas lalu membuangnya dengan cepat. “Kalau begitu kita jemput mereka.” “Tidak semudah itu!” seru seseorang. Leonard dan Edgar kompak memutar tubuh mereka menghadap pintu. Seorang wanita dengan tampilan serba hitam masuk dan melenggang santai ke dalam ruangan. Disusul presensi seorang pria bersetelan jas hitam. Lelaki Van Der Lyn itu mengerutkan dahi, tapi ia tak bersuara sedikitpun. Dua orang yang baru masuk itu berjalan menghampiri Leonard. Salah satu dari mereka yaitu si wanita, tampak merogoh sesuatu dari dalam mantel kulit berwarna hitam yang ia pakai. Wanita itu mengeluarkan ponsel dari dalam mantelnya. Sambil menatap Leonard, dia mengusap layar ponselnya. Lantas wanita itu menengadahkan ponselnya kepada Leonard. “Hai guys, ketemu lagi bareng kita. Doubel Boo. Nah, hari ini kita bakalan explore pulau Dewata. Seru banget deh.” Leonard mengerutkan dahi. Ia kembali menatap si wanita, akan tetapi wanita itu malah mengedikkan kepala menyuruh Leonard menonton video tersebut hingga habis. “Kali ini kita bareng seorang Bule, cieee … eh, lu jangan malu-malu. Rose, Lu minggir dong si Axel gak kelihatan. Sini, nih.” Tampak di video itu seorang gadis muda sedang berusaha menarik seorang pria muda. Pria itu tampak malu-malu dan menghalangi wajahnya dengan tangan. “Mia, berhenti. Axel benci direkam gitu.” Leonard makin mengerutkan dahi. Dia tidak mengerti dengan bahasa yang digunakan oleh anak-anak muda itu. “Ah, lu apaan sih, Rose. Gak seru tahu. Si Axel kan ganteng banget, kalau muncul di video gue kan keren. Axel lu liat sini bentar dong,” kata si gadis. Dia berusaha menyingkirkan tangan si pria berambut blonde. “Nah … gitu dong. Say hi, dulu.” Malu-malu pria itu menatap kamera. “Ha- hai.” Seketika bola mata Leonard membesar. Disusul dengan jantungnya yang seperti berhenti berdetak. Pria itu langsung meraih ponsel milik wantia di depannya. “Nah, kenalin dulu, siapa nama loe?” “A- Ax- Axel.” “Yeeeyyy!” Manik berwarna cokelat itu makin membesar. Napasnya ikut berhenti dan ia kembali menatap si wanita. “Di- di- di.” Leonard menggagap. Mulutnya magap-magap sekarang. “Aku tak sengaja melihatnya di Kanal YouTube. Kupikir aku salah, tapi sepertinya itu memang dia,” kata wanita itu. Leonard kembali menatap gawai di tangannya. Bawah sadar pria itu memperingatkannya agar ia segera bernapas. Leonard mengusap dadanya. Mata pria itu kembali mengerjap. “Le- Le- Lenox!” ucapnya susah payah. Leonard kembali menghela napas. Ia kembali menatap wanita di depannya. “Di mana video ini diambil?” tanya Leonard. “Dari situs yang berhasil kami lacak, penggunanya berasal dari ….” Wanita itu menoleh pada pria bersetelan jas hitam di belakangnya. Seakan memastikan sesuatu, setelah mendapat anggukkan kepala, wanita itu kembali memutar pandangannya kepada Leonard. “Indonesia,” kata wanita itu. Kening Leonard melengkung ke tengah. “Di mana itu?” tanya Leonard. “Salah satu negara di Asia Tenggara,” jawab pria brsetelan jas hitam. “Kalau begitu kita ke sana.” Mata Leonard makin membesar. “Sekarang!” tegasnya. Dua orang di depannya mengangguk. Sementara Leonard memutar pandangan kepada Edgar. Pria itu menghampiri Edgar lalu memegang kedua pundak pria itu. “Kau ke Istandbul dan pastikan mereka aman. Selidiki siapa pria yang terus bersamanya. Kau yakin itu bukan suaminya, ‘kan?” tanya Leonard dengan kening mengerut. “Dia salah satu dokter di rumah sakit terkenal di Istanbul. Dia teman putriku dan aku cukup tahu jika dia masih lajang,” tutur Edgar. “Bagus. Kalau begitu kau hanya perlu ke sana dan pastikan jika dia benar-benar anakku. Aku pasti akan ke sana dan menjemput mereka.” Leonard menepuk bahu Edgar. “Akan kudapatkan hakku sebagai ayahnya dan akan kupastikan anak itu memakai nama Van Der Lyn.” Edgar mengangguk menyetujui. Leonard memutar tubuhnya. Ia kembali menghadap dua orang di depannya. “Redfox couple, misi siap diterima,” kata si pria bersetelan jas hitam. Leonard menghela napas. Seketika dadanya berdebar-debar dengan kencang. “Apakah Letty tahu soal ini?” tanya Leonard. “Scarlet,” panggilnya. Wanita di depan Leonard menggeleng. “Apakah kau ingin mengacaukan bulan madu mereka?” balas Scarlet bertanya. Leonard menggeleng. “Bagus. Dia memang tak semestinya tahu. Aku akan membuat kejutan dengan membawa pulang Lenox dan ibuku.” Leonard menutup ucapannya dengan senyum. Perjalanan pun dimulai. Asia Tenggara cukup dekat daripada mengelilingi satu per satu kapal kargo yang tak jelas di mana tempatnya. “Axel, hem?” gumam Leonard. Tanpa sadar kedua tangannya mengepal pada kedua sisi tubuh. Pria itu mengangkat pandangannya. “Kenapa dia tidak pakai namanya?” Matanya mengecil saat ia membawa ibu jari dan telunjuk mengusap dagunya. “Pesawat sudah siap,” kata Edgar yang akhirnya membuyarkan lamunan Leonard. Leonard mengangguk. “Ayo. Kita jemput mereka.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD