Hamil

1124 Words
Senyum pria merekah, mengulum bibir gadisnya. Mengambil rasa manis semanis madu pada bibir tipis. Melibatkan lidah, melilit nakal. Saling bertukar air ludah hal kotor dianggap nikmat. Elesh turun ke jenjang leher, memijit dengan bibir. Pemilik leher merinding geli. Elesh berpindah meniup di telinga, membangunkan gairah lebih dalam. Jingga menyentuh d**a polos Elesh mesra, tubuhnya tidak terlalu kekar tetapi d**a kekasihnya itu sangat seksi dan menggoda. Elesh menikmati sentuhan Jemari Jingga di d**a nya. Menjelajah hingga pada perut datarnya, lalu perlahan melingkari punggung. Elesh melepas semua penghalang yang melekat di tubuh Jingga. Tubuh keduanya kini tanpa sehelai benang. Elesh menelan ludahnya, menatap tubuh Jingga yang molek. "Makasih sayang, aku mencintaimu." berbisik di bibir. Mencium lalu memeluk erat Jingga. Menutup tubuh mereka dengan selimut dan terlelap di sore hari. Sejak hari itu keduanya sering menghabiskan waktu dalam kesunyian. Berbagi nikmat dalam dosa. Elesh menjadikan Jingga seperti istri, meminta berulang kali. Jika narkoba bisa membawa pecandu melayang maka tubuh Jingga adalah narkoba bagi Elesh. Sekali mencoba maka menangih. Tak terhitung sejak hari itu, mereka melakukanya. Sangat rajin. .... Di desa itu ada air terjun, para remaja sering menjadikan tempat itu wisata pacaran. Sepulang sekolah, Elesh membawa Jingga kesana. Bermain air, tertawa riang. Bahagia tanpa beban. "Kakak, jangan nanti ada yang lihat." protes Jingga ketika Elesh menciumi Jingga. "Aku merindukanmu, Ji," Elesh menarik Jingga bersembunyi di balik batu besar. Mengambil bibir kekasihnya hingga puas. Tanpa rasa malu, pria itu menikmati tubuh kekasihnya. Melepas hasrat yang bergelora. "Aku mencintaimu," bisik Elesh di telinga Jingga. Gadis bermata biru mengusap telinga sembari terkikik. Nafas Elesh terasa panas di telinga. "Berjanji lah El, kau tidak akan meninggalkan aku apapun yang terjadi. Aku sudah menyerahkan kehidupanku padamu." Jingga menatap mesra mata hitam jernih milik kekasihnya. Penuh harap. "Aku berjanji, Cintaku." Elesh mengancingkan kemeja Jingga, merapikan helain rambut yang berantakan. Sangat baik, sangat lembut. Dia seperti pria dewasa. "Aku tidak akan meninggalkanmu, setelah lulus sekolah nanti aku akan melamarmu." ucapnya, membuat kekasihnya berbunga. Hidung mancungnya menyentuh hidung Jingga. Mengecup ringan di bibir tipis, lalu membawa kekasihnya keluar dari balik batu. Setiap kali mereka selesai bercinta, Jingga selalu mengatakan hal yang sama begitu juga dengan Elesh. Ia selalu berjanji untuk tetap bersama Jingga. Hingga hari itu tiba, hari dimana Jingga merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Mual saat mencium bau nasi. "Jingga, ada apa, Nak? Kau sakit?" Tanya Ibunya Jingga saat mereka sarapan. Nasi yang baru di sendok dari penanak nasi membuat Jingga mual. Jingga menggeleng, "entahlah, tapi bau nasinya tidak enak." Ucapnya, polos. Kedua orang tuanya saling tatap, lalu terkekeh. "sudah sebulan kita masak beras yang sama dan baru sekarang kau mengeluh baunya."Ucap Ayah Jingga. Kembali menikmati sarapannya. "Mungkin kau masuk angin, Jingga. Olesin minyak kayu putih. Biar enakan." Jingga mengangguk. Tiga hari kemudian Jingga tetap mengalami hal yang sama ia memutuskan membeli cek kehamilan. Jingga membelinya jauh dari desa. Ia takut seseorang melihatnya. Jingga melakukan tes lewat benda tipis itu. Pagi hari sebelum berangkat sekolah. dan hasilnya strip dua. Gadis kelas dua menengah itu membelalak. Gemetar memandangi benda tipis di tangan. ..... "Kak, El." sapa Jingga menghampiri Elesh yang tengah mengerjakan tugas di dalam kelas. Elesh tersenyum kekasihnya mendatanginya. "Jingga," menarik Jingga duduk di pangkuannya. "Kakak, nanti ada yang lihat." "Kau selalu bilang begitu, memangnya kenapa kalau ada yang lihat. Mereka juga tahu kita pacaran." sungut Elesh. "Tapi nanti kira berlebihan, kak." Jingga melepas diri dari pangkuan pria itu. "Kenapa kesini, sayang?" Tanya Elesh. "Kak ada yang ingin aku sampaikan."Suara Jingga ragu-ragu. "Apa, Ji?" Dahi Elesh berkerut melihat wajah cemas Jingga. Jingga mengeluarkan benda tipis dari saku kemeja. Memberikannya pada Elesh. Elesh melihatnya, melipat bibir ke dalam. Ia kemudian melihat Jingga. "Positif sayang?" Tanya Elesh, menelan saliva kuat-kuat. Jingga mengangguk. "Kak, aku takut." lirihnya. Bel sekolah berbunyi, Elesh menggenggam tes pack di tangan. "Aku tunggu di gerbang sekolah, kita pulang bersama, ya." Elesh membelai pipi kiri Jingga dengan lembut. Jingga mengangguk, ia kemudian keluar kelas meninggalkan Elesh. Elesh membisu ditempatnya, kembali memperhatikan benda tipis di tangan. Teman-temannya mulai masuk kelas, ia segera memasukkan benda itu ke dalam saku seragamnya. Pulang sekolah, Elesh menunggu Jingga di gerbang sekolah. Imelda langsung mengerti. Pasangan itu memang selalu pulang bersama. Imelda tidak ingin jadi penonton saat Elesh dengan kurang ajarnya menunjukkan keromantisannya di depan Imelda. Jingga melambaikan tangan pada Imelda dan mereka berpisah. Elesh segera mengambil tangan Jingga mengenggamnya erat sembari berjalan bersama. "Apa yang harus kita lakukan, Kak?" Tanya Jingga melihat Elesh yang tampak diam sejak mereka bertemu. "Ji, kita tes ulang ya," Jingga berdecak, melepas tangan melangkah malas. "Kakak tidak percaya?" Tanya Jingga berhenti melangkah. "Bukan tidak percaya, kadang tidak akurat sayang." ujar Elesh. "Tubuhku lemas kak, mual dan cepat lelah." Kata Jingga, melanjutkan langkahnya. "Tapi belum tentu hamil, sayang." Elesh mengikuti langkah Jingga. "Kakak bagaimana sih? Ini sudah di tes.” Nada kesal. Elesh menyugar rambut, salahnya tidak pakai pengaman. "Jingga, jangan marah. Kalau begitu beri aku waktu, buat cerita sama Mama ya." pinta Elesh, mengambil tangan Jingga, menggenggam erat. Jingga menatap kekasihnya lekat, tatapan pria itu tampak kebingungan. "Mmm," Jingga mengangguk, bibirnya tersenyum kecil. Dua minggu berlalu, Elesh juga tidak ada kepastian. Jingga mulai resah. Pria itu kehilangan keberanian mengakui kesalahannya pada Ibunya. Ibunya Jingga curiga, setiap kali melihat putrinya menjauhi nasi. Putrinya selalu tampak lemas. "Jingga, katakan dengan jujur ada apa denganmu?" Jingga menggeleng cepat, saat Ibunya bertanya di dalam kamar Jingga. "Putriku, wajahmu pucat dan sesuatu yang aneh tampak padamu. Tubuhmu tidak segar seperti dulu, tolong katakan pada Mama." Jingga menangis, memeluk Ibunya. "Mama, maafin Jingga." Begitu kata-kata itu keluar, Ibunya menghela nafas putus asa. Lemah tak berdaya. Ia mengerti putrinya melakukan kesalahan besar. "Jingga hamil." Tangan Ibunya terkepal erat, detak jantungnya berdegup hebat. "Tapi dia berjanji akan menikahi Jingga," Jingga terisak sambil mengusap air matanya. Ibunya Jingga melepas pelukan putrinya. Melihat wajah Jingga yang sudah membunuh harga dirinya. "Siapa pria itu?" "Cucu Altair," gumam Jingga. Ibunya kembali menghela nafas panjang. Ia tidak yakin dengan kata-kata Jingga bahwa pria itu akan bertanggung jawab. "Masih sekolah?" "Kakak kelas Jingga, Ma." "Ada apa denganmu Jingga? Apa yang salah dengan didikan kami?" Menangis, memperhatikan putrinya. Hatinya sakit melihat keburukan yang dilakukan putrinya. "Mama, maafin Jingga. Mama dan Papa tidak salah. Aku yang salah." Jingga turun dari ranjang. Berlutut di bawah kaki Ibunya. "Apa pria itu baik?" Jingga mengangguk. "Sejak kapan kalian berhubungan dekat?" "Sudah enam bulan, Ma." Ibunya Jingga menghela nafas panjang. Ia kecewa. "Enam bulan bukan waktu yang singkat, tapi mengenalkan pria itu pun kau tidak pernah." "Maafin Jingga Mama," masih berlutut. "Bangunlah, Mama akan cerita sama Papa. Supaya tahu mengambil langkah kedepannya." Jingga bangun dan menyapu air mata di pipi, ia tak sanggup melihat Ibunya. "Jingga putriku, Mama kecewa sayang." kata Ibunya, menepuk kepala Jingga pelan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, semua sudah terjadi. . . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD