Semua salahku

1512 Words
Mobil berhenti di depan pintu hotel. Elesh keluar, membuka pintu penumpang. Jingga tetap diam, memeluk Aldebaran yang sudah tertidur. "Keluarlah!" mengulurkan tangan, Jingga mengabaikan tetap duduk memeluk putranya. Elesh tidak sabar, memasukkan setengah badan ke dalam mobil. Satu-satunya cara membuat wanita ini patuh adalah, Aldebaran. "Jangan sentuh putraku!" memukuli tangan Elesh yang masih berusaha melepas seatbelt Aldebaran. Mengangkat pria kecil keluar mobil dan menempatkannya di pundak. Elesh memanggil petugas valet, menyerahkan kunci. Jingga masih keras kepala tetap berada di mobil. Melihat petugas valet masuk ke dalam mobil. "b******k!" Jingga mengumpat dalam hati, menyerah. "Biarkan aku menggendongnya.” Pinta Jingga. "Ikuti aku.” Ucap El mengabaikan permintaannya Jingga. Dengan langkah terpaksa Jingga mengikuti langkah panjang Elesh. Melihat putranya berada dalam gendongan pria itu membuatnya sakit hati. Harusnya itu tidak boleh terjadi. Elesh melakukan Check-in. Wanita yang melayani sesekali melirik ke belakang pria jangkung. Menilai penampilan Jingga yang tampak menyedihkan. "Terima kasih," ujar Elesh menerima Cardlock resepsionis. Ia melangkah menuju lift, kamar yang Elesh pesan ada di lantai tiga puluh lima. Di dalam lift, tidak ada suara. Sesekali Elesh melirik ke arah Jingga. sudut bibir membiru, plester masih menempel di dahi. Kurus tak terawat, tampak lebih tua dari usianya. Kehidupan macam apa yang Jingga jalani? Elesh sakit hati melihatnya menderita. Tatapan pria itu turun pada tangan Jingga yang memukul mobilnya tadi. Ia meringis dalam hati melihat tangan Jingga bengkak dan memerah. Elesh benar-benar rapuh melihat keadaan Jingga. Jauh di luar keinginannya. Setiap saat ia merindukan wanita ini dan juga berharap Jingga bahagia dalam hidupnya. Rupanya semua tidak sesuai yang diharapkan. Ding. Pintu lift terbuka. Elesh melangkah keluar, melewati beberapa deret pintu kamar. Pintu 2091 menjadi tujuan mereka, menekan Cardlock pada sensor. Pintu terbuka, Elesh membawa langkah masuk ke dalam ruangan. Langsung menuju tempat tidur membaringkan Aldebaran di sana. Meluruskan kaki pria kecil, mengamati sebentar wajah itu. Ia kemudian menekan langkah ke ruang tengah. Jingga masih berdiri di belakang pintu dengan tas di tangan. Elesh menghampiri dan menarik tangan Jingga. "Lepasin!" Menghempaskan tangan Elesh, "Aoh ..." Ia menjerit kesakitan, lengannya terasa sakit saat menghempaskan kasar tangan Elesh. "Kau berniat mematahkan tulangmu?" Elesh berniat memapah ke sofa. Ditolak, ia tak sudi disentuh pria ini. Elesh paham penolakan Jingga. ia memutuskan menelpon layanan hotel. Memesan makan malam dan meminta P3K di antarkan ke kamarnya. Tidak lama kemudian bel pintu kamar berdeting, Elesh berjalan membukakan pintu dan mengizinkan pelayan menyiapkan makanan di atas meja. "P3K nya ada?" "Ada pak,” Pelayan hotel menyerahkan kotak P3k pada Elesh. “ada yang terluka?" tanya pelayan. "Cuma luka ringan,”jawab Elesh. “Baiklah pak, makan malamnya sudah tersaji silahkan nikmati. Apa masih ada yang bisa saya bantu?” “Itu saja, terima kasih dan tolong tutup pintunya." Pelayan Hotel mengangguk ramah, tatapannya menangkap sejenak Jingga yang duduk di lantai memegangi lengannya. Pelayan menutup pintu meninggalkan kamar itu. “Jingga aku bantu obatin lukanya,” Elesh mengambil tangan Jingga, tetapi segera ditarik pemiliknya. "Jangan sentuh aku!" Ucapnya ketus. "Lukamu berdarah," "Biarkan saja!" Elesh memejam, menarik kembali tangan Jingga. “Aku bilang jangan menyentuhku!” Teriak Jingga, mendorong Elesh dengan tangannya yang lain. "Diam Jingga!” Teriak Elesh, kesal. Plak! "b******n! Jangan menyentuhku." Elesh menelan saliva kuat-kuat, tamparan Jingga terasa pedas di pipi. Ia tahu Jingga membencinya tapi luka itu kalau tidak diobati akan berdampak buruk padanya. Elesh menarik kerah kemeja Jingga, merobek paksa hingga biji kancing kemeja terlepas dan berjatuhan di lantai. Jingga memekik terkejut, segera melindungi bagian dadanya dengan kedua lengannya. “Apa yang kau lakukan?” Jingga gemetar, ketakutan. Melindungi dirinya. “Luka di lenganmu berdarah,” kata Elesh, lembut ia melepas lengan Jingga yang melindungi bagian dadanya. “Lepasin kemejanya,” Jingga menggeleng cepat, menolak. “Jingga tanganmu sakit, jika dibiarkan akan berakibat fatal. Kau ingin tanganmu amputasi?” Bujuk Elesh, tatapan dan aura pria itu kembali melembut. Jingga memilih patuh, ia memberikan lengannya yang terluka. Elesh tersenyum kecil, segera membantu melepas lengan kemeja Jingga. Jingga menunduk, sementara tangannya yang lain mengeratkan kemejanya agar menyatu dan menutupi bagian tubuhnya. Elesh melihat tangan kurus Jingga dan mulai mengobati. Membersihkan dengan alkohol kemudian melilit dengan kasa baru. “Setelah ini jangan banyak gerak.” Ucap Elesh, mengakhiri pekerjaannya. “Kau masih mengenakan pakaian ini atau menggantinya?” Tanya Elesh lembut. “Kau boleh pergi, aku bisa mengurus diriku.” “Baiklah, aku akan pergi dan kembali besok. Kita perlu bicara, Jingga." Ucap Elesh, ia berdiri lalu menekan langkah melihat Aldebaran. Hanya lima menit di tempat tidur. Kemudian kembali membawa langkahnya menghampiri Jingga. “Jingga, sebelum tidur tolong makanlah. Aku mohon, isi perutmu.”ucapnya penuh perhatian. Elesh meninggalkan Jingga dan menutup pintu. Jingga mendengar pintu menutup, ia memeluk kedua kakinya, lalu menangis puas. Pria jangkung menekan d**a yang terasa sesak mendengar tangisan wanita dari balik pintu. Tangan satunya terkepal erat. Seseorang harus membayar kepedihan yang Jingga alami. Seseorang? Siapa? Ibunya? Dirinya? Atau Amos? Kediaman Altair. Hagena memperhatikan waktu lewat ponselnya. Elesh belum juga pulang. Wanita hamil itu menunggu di ruang tamu. Deru mobil Elesh memasuki halaman rumah, Hagena bangun dari duduknya untuk membukakan pintu. "Kenapa menungguku? Tidurlah." Elesh melewati Hagena, melangkah masuk dan melempar kunci mobil di atas meja. "Aku khawatir, El." Hagena menutup pintu. Elesh menjatuhkan diri di sofa, bersandar. Membuang nafas kasar. "Bagaimana keadaan mereka?" Hagena duduk di sofa. "Aku tidak yakin baik, Jingga sangat membenciku. Aku bisa lihat dari caranya menatapku. Penuh kebencian.” Elesh mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. “Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya melaluimu, Gena." Tambahnya. Hagena menggigit bibir. “Beberapa kali dia menjadi pasienku. Kau pasti belum lupa wanita yang aku ceritakan terkena Kdrt oleh suaminya sendiri.” Ucap Hagena mengingatkan Elesh. “Aku tidak menyangka kalau itu Jingga,” gumam Elesh dengan raut lelah. “Jadi apa rencanamu?” “Entahlah, Ge.” Elesh menyugar rambutnya. “Dia yang ingin bekerja di rumah ini?” Tanya Elesh penasaran. “Seharusnya, dia bersembunyi dari suaminya,” Hagena duduk berhadapan dengan Elesh. "Aku menawarkan bekerja disini." "Suaminya sangat kasar." Elesh bangun dari duduknya berniat ke dapur. "Pria macam apa yang menikahinya." Elesh menekan langkah ke dapur, membuka kulkas dan mengeluarkan air dingin kemudian menuangkan kedalam gelas. Ia menenggak air dingin itu hingga tandas lalu kembali ke ruang tamu. "Kau pernah bertemu suaminya?" tanya Elesh, penasaran. Hagena mencoba mengingat wajah Amos, tetapi ia kemudian menggelengkan kepala. Elesh kembali duduk, ia mengingat luka lebam di sudut bibir dan lengan Jingga. “Aku tidak akan membiarkan mereka kembali ke sana,” “El, mereka bukan urusan kamu.” Protes Hagena. “Apa yang terjadi dengan Jingga adalah kesalahan yang aku buat, bagaimana itu bukan jadi urusanku. Aku sakit Hagena, melihatnya menderita begitu.” Ucap Elesh. "Itu bukan kesalahanmu, dia yang tidak berhati-hati memilih pasangannya." "Tetap saja, akulah yang menciptakan penderitaan baginya." Elesh bangun dari duduknya, ia berniat mandi. "Tidurlah, ini sudah malam." ucapnya dan melangkah. "Aku ingat kau pernah mengatakan, punya dosa padanya? Dosa seperti apa yang kau maksud, El?" Tanya Hagena, menghentikan langkah kaki Elesh. Dosa? Elesh berbalik memperhatikan Hagena yang menatap dirinya. Berharap jawaban. "Sepuluh tahun yang lalu ..., aku menjadi pria pecundang bagi Jingga. Aku meninggalkannya dalam keadaan hamil ." Hagena melebarkan kedua matanya mendengar penjelasan Elesh. "J-jadi ... pria kecil itu?" Hagena menutup mulut tidak percaya. "Entahlah, Tapi aku yakin dia pasti anak yang dikandung Jingga saat itu." ujar Elesh. “Aku menghancurkan kehidupan Jingga, penderitaan yang Jingga alami semua berasal dariku.” Kata Elesh penuh penyesalan kemudian Ia meninggalkan Hagena seorang diri termenung di ruang tamu. Pria kecil yang ia lihat di klinik memang sangat mirip dengan Elesh. Bahkan Elesh merasakan hal yang sama, yakin kalau anak kecil itu putranya. "Diantara mereka ada pria kecil. Lalu bagaimana denganku?" Ia bergumam, hatinya gelisah. ..... Elesh menyiram tubuhnya dengan air, membersihkan dirinya di bawah shower. Bayangan Jingga ikut serta setiap kali pria itu memejamkan mata. Ia telah menemukan Jingga, seorang yang ia rindukan selama ini. Pria ini ingin memeluk erat tapi, rasa rindunya pada wanita itu terhalang oleh rasa benci yang dalam. Kini di mata Jingga hanya ada kebencian untuknya. Elesh mematikan shower, mengerikan tubuh telanjangnya dengan handuk lalu berjalan ke arah lemari pakaian. Saat tangan besar itu hendak membuka lemari, ia memperhatikan sepasang piyama di atas tempat tidur berikut celana dalam. Hagena sudah menyiapkannya. Elesh mencari keberadaan Hagena dalam kamar itu tapi tidak ada. Ia mengambil piyama dan kembali ke kamar mandi untuk mengenakannya. Setelah rapi, Elesh keluar kamar menuju lantai dasar. Mengambil minuman kaleng alkohol dari lemari pendingin, membawanya ke kamar yang ada di lantai bawah. Kamar yang sering digunakan saat menyendiri. Elesh menutup pintu dari dalam, membuka penutup kaleng lalu menikmatinya. Elesh perlahan melangkah pada lemari tempat ia menyimpan barang-barang lamanya. Membuka lemari itu dan memperhatikan isinya. Tatapannya tertarik pada pakaian berwarna putih dan sprei. Elesh mengambil keduanya lalu memeluk erat kain itu duduk di lantai serta mencium aroma pakaian itu. Sesuatu yang ia lakukan jika dirinya sangat merindukan Jingga. Pakaian itu milik Jingga dan sprei itu milik Elesh. Kedua benda itu menjadi saksi saat mereka berbagi rasa, nikmat berbalut dosa. Ia menyimpan dan membawanya ke Jakarta bersamanya. Sprei itu tidak pernah di cuci bahkan masih ada noda perawan Jingga di sana. "Maafkan aku Jingga, semua salahku. Andai saja saat itu aku tidak menjadi pecundang." Bergumam memeluk erat kedua benda itu. Elesh menangis dalam diam. Menunjukkan betapa terlukanya dirinya sekarang terlebih setelah bertemu dengan Jingga dalam keadaan menyakitkan. Kenangan Sepuluh tahun yang lalu melintas di pikirannya lewat pakaian itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD