PERJANJIAN

1358 Words
Dengan gaun malam berwarna hitam, Saskia datang ke sebuah restoran fine dining. Ia sudah memiliki janji dengan orang penting malam itu. Hentakan high heels-nya menggema beradu dengan lantai keramik ketika ia berjalan di lorong menuju ruang tempatnya bertemu dengan orang itu. Restoran itu tampak sepi. Hanya beberapa orang yang menikmati fine dining malam itu. Di sudut ruang dengan jendela yang terbuka, terbalut tirai sutra tipis di kanan dan kirinya. Kaca jendela tembus pandang menampakkan langit malam dan lampu-lampu kota dari ketinggian lantai lima. Seorang wanita berusia 60 tahunan, duduk dengan anggunnya. Wanita itu masih tampak muda. Tidak sebanding dengan usianya. Hanya dari melihatnya sekilas saja, orang sudah pasti tahu jika wanita itu rajin merawat kulitnya. "Selamat malam, Bu Sonya," sapa Saskia. "Selamat malam. Silakan duduk," balas Sonya kemudian mempersilakan Saskia untuk duduk. Seorang pelayan menghampiri Saskia untuk menuangkan wine ke gelasnya, setelah Saskia menyamankan duduknya. "Terima kasih," ucap Saskia pada pelayan itu. Sonya tersenyum melihat keanggunan Saskia. "Aku sering melihatmu menjadi pemain extras untuk adegan-adegan konyol. Tapi, malam ini kamu tampak menakjubkan," kata Sonya. "Terima kasih, Bu Sonya. Bu Sonya pastinya lebih memahami jika semua ini hanyalah tentang bagaimana seorang publik figur menempatkan dirinya." "Berarti aku tidak salah memintamu untuk mendapatkan bukti dari hal yang dipandang tabu oleh kebanyakan orang itu." "Saya rasa begitu." Saskia membuka tasnya, dan mengeluarkan ponselnya. "Saya sengaja tidak menunjukkannya dalam bentuk cetak. Karena saya ingin meyakinkan Bu Sonya, bahwa foto yang saya ambil original tanpa editing. Ya, seperti yang kita berdua pahami jika di masa sekarang ini, segala hal sangat mudah dimanipulasi." "Ya, kamu benar." Saskia menggeser ponselnya di atas meja dan memberikannya pada Sonya. Sebuah foto dengan wajah Saskia dan Maxime di kasur yang sama, berbalut selimut yang sama pula. Tanpa busana. Sonya tampak tersenyum seringai melihat foto Saskia bersama anak lelakinya. Ia mengangkat ponsel Saskia, dan menghapus foto itu kemudian mengembalikan kembali ponsel Saskia. "Apakah ada foto yang lain? Saya tidak ingin kamu menyimpannya dan berujung pada hal yang tidak diinginkan dikemudian hari." "Tidak ada. Saya hanya mengambil satu foto itu saja, Bu Sonya. Karena saya juga tidak ingin membangunkan anak laki-laki Bu Sonya waktu itu, dan membuatnya curiga karena saya mengambil gambar." "Selain bukti foto ini, apakah kamu benar-benar yakin jika anakku tidak mengalami penyimpangan orientasi seksual pada lawan jenis?" "Saya seratus persen yakin." "Apa yang membuatmu yakin?" "Maxime ternyata memang sudah sering menghabiskan malam berdua dengan wanita. Dan ia sangat pintar menyembunyikannya dari media. Pintar menyembunyikannya dari anda juga, saya rasa." "Apakah Edward tahu?" "Saya kurang tahu soal itu. Bisa jadi Maxime juga merahasiakan hubungan asmaranya dari Edward. " "Hahahaa," kekeh Sonya. "Itu sepertinya mustahil." Sonya merasa jika selama ini Edward telah menipunya. Tidak mungkin seorang manager tidak mengenal kepribadian artisnya. Edward pasti membantu Maxime menyembunyikan urusan pribadinya. "Bagaimana? Perjanjian kita masih berlaku bukan?" tanya Saskia memastikan. "Tentu saja." Saskia tersenyum. "Tapi, ada satu hal lagi yang perlu dipastikan disini," lanjut Sonya. "Satu hal lagi?" "Ya, aku ingin kamu menandatangi perjanjian 2 rangkap. Hanya antara aku dan kamu." "Perjanjian seperti apa yang Bu Sonya maksudkan?" "Bahwa, apa yang terjadi antara dirimu dan Maxime tidak akan bisa berkelanjutan. Segala hal yang timbul setelahnya, aku dan Maxime tidak memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab dalam bentuk apa pun. Dan aku memintamu untuk mengundurkan diri dari sinetron itu untuk mengambil jarak dari Maxime. Jika ada pelanggaran di dalam hal-hal tersebut, kamu bersedia mengganti rugi 10 kali lipat dari jumlah yang kamu terima. Sebagai gantinya, aku sudah mempersiapkan beberapa job pemotretan dan iklan. Dan peran utama di film yang kau impikan. Serta uang 1 miliar yang aku janjikan, tentu saja. Bagaimana? Apakah kita masih bisa memiliki kesepakatan?" tantang Sonya. "Ya, kita memiliki kesepakatan," jawab Saskia dengan mantap. Bukan karena ia tidak memiliki ketakutan atas resiko yang bisa saja timbul. Hanya saja, untuk saat ini, Saskia benar-benar tidak memiliki pilihan. "Bagus." Sonya menyerahkan berkas itu untuk ditandatangai Saskia. Tanpa membaca kontrak itu dengan seksama, Saskia langsung saja menandatanganinya. Sangat percuma ia membaca kontrak itu atau tidak. Toh, jika ia menolak, itu berarti ia akan kehilangan uang 1 Milyard. Dan uang itu bisa ia gunakan untuk memenuhi semua yang ia mau. Jika belakang hari ia hamil, itu juga bukan masalah. Ada Steven yang bisa ia minta untuk bertanggung jawab. Sebuah cek, dengan nominal 1 miliar sudah disiapkan Sonya sebelumnya. Ia menyerahkannya pada Saskia, setelah memastikan Saskia menandatangi kontrak itu. "Terima kasih," ucap Saskia menerima cek itu. "Terima kasih kembali. Ingatlah, urusan ini hanyalah bisnis yang tidak berkelanjutan. Kamu paham maksudku, kan?" "Ya, saya sangat paham. Saya akan menjaga jarak dari Bu Sonya ataupun Maxime. Tapi ...," "Tapi, apa?" "Tapi, izinkan saya untuk mengetahui alasan mengapa saya harus memastikan jika Maxime tidak mengalami penyimpangan orientasi terhadap lawan jenis." Sonya menghela napas lesu. "Sebenarnya ini hanya masalah keluarga. Aku ingin anak laki-lakiku satu-satunya itu, menikah. Seperti yang aku katakan padamu waktu itu. Ini hanya tentang melanjutkan keturunan. Aku tidak ingin menua dan mati sebelum aku melihat anakku menikah. Dan itu sangat mustahil untuk dilakukan jika Maxime ternyata mengalami penyimpangan orientasi terhadap lawan jenis. Bukan keinginan yang muluk, kan?" "Ya, benar. Bu Sonya pasti sudah memiliki calon yang pas untuk Maxime." "Tentu saja aku punya. Aku ingin Maxime menikah dengan wanita dari keluarga terpandang. Untuk menjaga reputasi keluarga dan popularitasnya." "Hm, begitu. Saya sangat memahaminya." "Latar belakang keluarga sangat penting bagiku. Aku tidak bisa membiarkan anakku salah memilih pasangan. Terutama pasangan dengan latar belakang orang tua yang broken home ..., hm, maaf aku tidak bermaksud menyinggungmu. Ya aku tau kalau ayahmu meski seorang pengusaha juga punya kehidupan di masa lalu yang kurang begitu baik. Maaf-" Saskia tersenyum. "Tidak masalah. Itu hal yang sangat wajar dilakukan oleh seorang ibu. Selalu ingin yang terbaik untuk anaknya." "Terima kasih sudah mengerti." Saskia mengangguk sembari tersenyum. Dalam hatinya ia tahu, kalimat ketidaksetujuan akan menantu dari keluarga broken home itu memberikan penekanan pada dirinya. Sesingkat apapun hubungan cinta satu malam, tetap akan berkemungkinan untuk menumbuhkan sesuatu yang tidak terduga. Ketertarikan misalnya. Dan Sonya, sepertinya sudah mengantasipasi hal semacam itu. Entah siapa wanita yang akan ditunjuk Sonya untuk mendampingi Maxime, Saskia tidak peduli. Baginya, yang terpenting adalah biaya untuk pengobatan ibunya. Dan Maxime bukanlah hal penting baginya. Maxime hanyalah laki-laki yang selengekan dan kurang memiliki tanggung jawab atas hidupnya sendiri. Dan serupawan apapun Maxime, itu tidak akan mengubah persepsinya tentang laki-laki itu. Bagi Saskia tidak peduli siapa Maxime dan keluarganya kedudukan Steven saat ini tidak bisa tergantikan. Tak peduli juga jika posisinya sekarang adalah adik ipar Steven. Saskia tidak sudi dikalahkan oleh Dania. *** Pukul 6 pagi. Setibanya di lokasi syuting Maxime langsung disambut dengan make up artist dan tim wardrobe. Kali ini ia syuting di rumah mewah yang memang menjadi salah satu properti milik production house. Matanya melirik berkeliling ke sekitaran lokasi syuting. "Cari siapa sih, Mas Maxime?" tanya make up artis bernama Selli itu dengan gaya kemayu, sambil menyapukan bedak ke wajah Maxime. "Ah enggak. Gue laper, belum sarapan udah diseret kesini," kilah Maxime. Tiba-tiba seseorang mengulurkan sekotak bubur ayam pada Maxime. "Nih sarapan dulu biar nggak mati." Maxime menghela napas panjang. "Hhhh, mimpi apa gue bisa punya manager yang kayak gini," ujar Maxime sebal, tapi ia juga menerima bubur ayam yang diberikan oleh Edward. Edward mengibaskan tangannya pada Selli. Menyuruhnya pergi setelah ia selesai dengan pekerjaannya. "Sambil lu makan, gue bacain jadwal lu hari ini. Adegan memasak sarapan pagi, adegan bermesraan dengan Alicia di taman belakang dan adegan bertengkar. Serta adegan lamaran nanti siang. Harus selesai dengan baik sebelum jam 3 sore. Karena lu masih ada jadwal pemotretan untuk sampul majalah. Dan malam hari, ada undangan ke anniversary salah satu channel televisi. Jadi jangan banyak bercanda saat syuting. Paham?" jelas Edward meskipun Maxime tampak tidak antusias mendengarkan kalimatnya. Maxime bahkan belum membuka bubur ayam pemberian Edward. "Aku benci hidupku." Maxime menghela napas panjang mendengar penjelasan Edward. Ia sangat bosan dengan rutinitasnya. "Dengar! Kontrak lu dengan sinetron ini hingga 800 episode. Dan masih ada 300 episode lagi yang belum terselesaikan. Setelah kontrak selesai, kontrak untuk sinetron selanjutnya sudah menanti jadi jangan mengulur-ngulur waktu." "Aku benci hidupku," ulang Maxime. Wajah semakin lemas. "Woy! Lu tahu kan alasan utama lu harus menghasilkan uang sebanyak-banyaknya? Dan penderitaan lu berakhir jika saja lu bisa mengalah dan ..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD