Mobil mewah Limosin dari keluarga Admaja baru saja berhenti tepat di lobby hotel, sang supir yang baru saja keluar dengan terburu langsung membukakan pintu penumpang dibelakangnya. Tidak lain adalah Tuan, Nyonya dan putri semata wayang dari keluarga Admaja.
Kemudian keluarlah Pak Baron terlebih dahulu, dengan menggunakan texudo berwarna hitam dan kemeja berwarna putih. Tidak lupa dasi kupu-kupu, menjadi pelengkap penampilan Pak Baron malam ini.
Lalu di susul sang istri, tidak lain Bu Silia bersama sang putri Yasmi Naura Admaja. Pewaris tunggal dari semua kekayaan keluarga Admaja.
Bu Silia menggunakan gaun indah, berwarna putih begitu pula dengan gaun yang dikenakan Yasmin. Terlihat Bu Silia begitu anggun, meskipun bagian depannya terbuka tapi tidak vulgar bila di pandang mata.
Yasmin pun terlihat sangat cantik saat menggunakan dress berwarna putih seperti Mamanya, dan juga mahkota kini tersemat indah di kepala Yasmin. Malam ini ia tampil seperti layaknya seorang putri dari negeri dongeng, apalagi rambutnya yang panjang ia biarkan tergerai indah.
Pak Baron dan Bu Silia malam ini tampil begitu menawan, terlihat keduanya memang telah benar-benar menyiapkan semuanya demi hari bahagia mereka malam ini.
Mereka bertiga telah masuk ke dalam ballroom hotel, dimana pesta ulang pernikahan akan berlangsung. Tidak hanya mereka bertiga, tapi para tamu undangan baik rekan bisnis Pak Baron, teman atau sahabat keduanya juga telah banyak yang hadir. Salah satunya Pak Daniel dan Bu Laura adalah sahabat keduanya.
Pak Daniel, beserta istrinya yang melihat pemilik pesta malam ini seketika menghampiri dengan senyuman bahagia dalam bibir mereka.
Jarangnya intensitas bertemu membuat kedua pasangan serasi itu begitu bahagia, sekarang ketika bisa bertemu membuat mereka bisa bercengkrama serta bertanya kabar.
"Hai, Teman. Selamat ulang tahun pernikahan untukmu, dan istrimu Baron," ucap Pak Daniel tulus dengan menjabat tangan Pak Baron, setelah itu Pak Daniel memeluk sang sahabat ala pria.
"Terima kasih banyak, Teman," jawab Pak Baron tulus dengan membalas pelukan Pak Daniel, setelah itu keduanya melepaskan pelukan ala pria mereka.
Bu Laura juga mengucapkan kalimat sama, seperti yang dilakukan suaminya pada sahabatnya.
"Selamat ulang tahun pernikahanmu, Silia. Semoga kamu dan keluarga kecilmu, senantiasa dilimpahi kebahagiaan oleh Yang Maha Kuasa," doa tulus Bu Laura, dengan memeluk Bu Silia.
"Terima kasih untuk ucapannya, terima kasih juga karena kamu telah menyempatkan datang ke acara kami malam ini. Aku sangat bahagia kalian hadir di ulang tahun pernikahan kami," sahut Bu Silia setelah melepaskan pelukannya.
Setelah pelukan Bu Silia dan Bu Laura terlepas, Bu Laura teringat akan kado yang sempat ia bawa.
"Oh, iya, aku lupa memberikan sesuatu untukmu. Sebentar aku ambil dulu," pamit Bu Laura, kemudian berlari kecil ke arah meja di mana ia dan Pak Daniel duduk tadi.
Pak Daniel memandang istrinya, dengan tatapan tanya. Begitu pula dengan yang dilakukan Pak Baron, mengerti kedua pria di samping Bu Silia bingung akan kepergian Bu Laura. Maka Bu Silia menjelaskan, tanpa diminta Pak Baron serta Pak Daniel.
"Laura hanya pergi mengambil kado, katanya dia lupa," terang Bu Silia, seraya memandang sang suami dan Pak Daniel.
Pak Daniel, dan Pak Baron langsung menganggukkan kepala mereka mengerti.
Tidak sampai lima menit Bu Laura kembali, dengan membawa kotak kado berukuran lumayan besar. Kemudian ia memberikan kado itu pada Bu Silia.
"Ini hadiah kecil dari kami berdua, semoga kamu dan suami kamu suka dengan isinya," ucap Bu Laura, setelah memberikan kado di tangannya ke Bu Silia. Kemudian ia berdiri di samping suaminya, Pak Daniel.
Saat keempat orang dewasa itu berbicara serius, baik tentang kehidupan pribadi dan masalah kantor. Tiba-tiba Yasmin datang, dengan ditemani Bik Minah menghampiri Bu Silia serta Pak Baron.
"Mama! Yasmin bawa es krim, Mama mau?" tanya Yasmin polos dengan memperlihatkan es krim di tangannya, serta wajahnya sedikit terkena es krim.
Bu Silia seketika menoleh, dan sedikit terkejut ketika putri kesayangannya makan es krim.
"Sayang, kenapa makan es krim malam-malam begini? Nanti kamu pilek, Sayang," tanya Bu Silia dengan sedikit menunduk.
"Yasmin ingin makan ini, Ma. Sekali ini saja, lain kali Yasmin tidak akan mengulanginya," jawab Yasmin sedikit takut pada Bu Silia.
Tidak ingin putrinya ketakutan, ataupun sedih Pak Baron yang berdiri tidak jauh dari Bu Silia seketika menengahi perdebatan antara anak dan Ibunya.
"Sudahlah, Sayang. Biarkan untuk malam ini Yasmin makan es krim, bukankah tadi dia bilang lain kali dia tidak akan mengulanginya." Pak Baron menyentuh bahu sang istri, sesaat kedua pasangan suami-istri itu saling menatap dan terselip arti dalam pandangan keduanya.
Bu Silia hanya bisa menghela nafas, tidak lama terlihat Pak Baron berjongkok di hadapan sang putri. Kalau Yasmin diperbolehkan makan es krim malam ini.
"Apa es krim ini enak, Sayang?" tanya Pak Baron lembut, seraya menunjuk es krim di tangan Yasmin.
"Iya, Papa mau ini?" sahut Yasmin polos, dengan berniat menyuapkan es krim ke mulut Pak Baron.
"Tidak, Sayang. Buat Yasmin saja, tapi, Yasmin harus berjanji sama Papa. Kalau Yasmin tidak akan mengulangi makan es krim di malam hari, nanti Yasmin bisa sakit," nasehat Pak Baron penuh kelembutan.
"Iya, Yasmin janji tidak akan makan es krim malam hari." Janji Yasmin.
Setelah ketegangan mereda, Pak Daniel dan Bu Laura yang melihat kecantikan alami serta senang melihat kepolosan Yasmin langsung mendekati gadis mungil itu.
''Wah ... ini yang Yasmin yang sering kamu ceritakan pada kami, ya, Baron?" tanya Pak Daniel seraya berjongkok di hadapan Yasmin.
Yasmin hanya terdiam, ia langsung menatap kedua orang tuanya seolah meminta bantuan, sekaligus bertanya siapa orang-orang di depannya. Sedangkan Bu Laura sedikit menunduk, ketika berbicara dengan Yasmin.
"Kamu gadis yang sangat cantik, Sayang. Seandainya saja kamu bisa lebih cepat besar, dan sepantaran dengan Putra Tante. Maka Tante ingin kamu menjodohkan Putra Tante sama kamu, Sayang," ucap Bu Silia dengan meneol pipi Yasmin.
Yasmin yang tidak mengerti ucapan orang dewasa, langsung mengikuti ucapan Bu Laura. Karena sikap polos Yasmin, keempat orang dewasa itu seketika tertawa
"Menjodohkan. Apa itu, Tante?" Yasmin dengan polosnya bertanya pada Bu Laura, membuat semua orang di sekitar Yasmin tersenyum geli mendengar pertanyaan polos itu.
"Hehehe ... kamu benar-benar lucu, dan manis Sayang. Siapa nama kamu, hem?" Bu Laura tidak menjawab pertanyaan Yasmin, ia malah bertanya tentang nama Yasmin.
"Yasmin."
"Nama yang indah, dan cantik. Secantik wajah kamu, Sayang. Tante yakin, jika kelak kamu dewasa nanti pasti kamu akan menjadi incaran pria-pria tampan. Mungkin salah satunya, Putra Tante," gurau Bu Laura, tanpa ia sadari jika ucapannya saat ini bisa menjadi kenyataan suatu saat nanti.
Yasmin adalah seorang putri yang baik, dan selalu bersikap sopan pada siapapun. Karena kedua orang tuanya, telah menanamkan bertata krama pada orang lebih tua.
"Terima kasih atas pujiannya, Tante. Tante juga sangat cantik, seperti Mama," puji Yasmin tersenyum manis, seraya menatap Bu Laura.
"Sama-sama, Sayang."
Bu Silia mendekati sang putri, kemudian memberikan pengertian pada putrinya untuk menunggunya dan suaminya sebentar.
"Sayang, apa Yasmin tidak apa-apa kalau dalam beberapa menit sebelum pemotongan kue ulang tahun. Yasmin bersama Bik Minah dulu, ya. Karena Mama ingin menemui teman-teman Mama sama Papa sebentar," ujar Bu Silia lembut, dan langsung dianggukki Yasmin.
"Iya, Ma."
Bu Laura yang masih dalam posisi di depan Yasmin, langsung menawarkan diri untuk menjaganya.
"Biarkan aku yang menjaganya, Silia, kamu pergilah. Karena malam semakin larut, dan teman-teman kamu serta Baron belum kamu temui," saran Bu Laura seraya merangkul Yasmin.
"Wah ... terima kasih, Laura. Baiklah, aku pergi ke sana dulu," pamit Bu Silia, kemudian menghampiri suaminya.
"Sama-sama, lagian aku senang melakukannya. Bukan begitu, Sayang?" ucap Bu Laura dengan menoleh ke arah Pak Daniel.
"Iya, kamu benar Sayang."
***
"Sekarang ayo lihat kita bersama-sama, bagaimana bahagianya untuk kedua pasangan yang berbahagia malam ini dalam merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Dengan ditemani putri tercinta, kedua pasangan akan meniup lilin," ujar pembawa acara.
Pak Baron langsung merangkul kedua wanita berharga dalam hidupnya, kemudian mereka bertiga meniup lilin dengan ekspresi bahagia di wajah mereka.
Setelah kue ulang tahun telah ditiup, kemudian acara berganti dengan pesta dansa. Semua yang hadir dalam pesta, dan kebetulan membawa pasangan. Mereka tanpa malu lagi berdansa bersama pasangan masing-masing.
Yasmin duduk di kursi, di temani Bik Minah. Di depan, tepatnya di atas meja telah tersusun rapi banyak makanan serta minuman yang boleh di makan Yasmin.
Gadis kecil itu, asyik makan makanannya. Seraya memperhatikan Papa dan Mamanya yang tengah berdansa, tidak jauh darinya.
Sesaat Yasmin berkhayal, jika seandainya ia bisa berdansa bersama Kak Will remaja tampan yang sering ia panggil menggunakan nama kecil Damian.
'Andai saja Kak Will ada di sini, pasti akan lebih menyenangkan. Aku jadi bisa berdansa dengannya, seperti Mama dan Papa yang berdansa romantis,' batin Yasmin berandai ketika membayangkan Damian bersamanya.
Tidak jauh berbeda dengan Pak Baron dan Bu Silia, Pak Daniel bersama sang istri juga turut berdansa. Terlihat keduanya sangat bahagia, serta meresapi momen indah mereka seperti saat masih remaja.
"Sayang, kalau kita berdansa seperti ini. Rasanya kita seperti baru saja saling mengenal, ya, aku masih ingat ketika aku baru menembakmu dan kamu menerima ungkapan cintaku. Aku langsung mengajakmu berdansa, apalagi saat itu kita berada dalam acara pesta di sekolah kita." Pak Daniel seketika mengingat momentum pertama kali jadian sama Bu Laura.
"Iya, aku mengingatnya. Kamu yang tidak bisa berdansa selalu saja menginjak kakiku, aku hanya bisa tersenyum dan menahan sakit di kakiku."
"Ingin rasanya mengadu, kalau kakiku sakit. Tapi, aku terlalu malu saat akan mengatakannya." Bu Laura tertawa kecil, jika mengingat kenangan indah itu.
Pak Daniel wajahnya langsung memerah menahan malu, meskipun telah berlalu selama bertahun-tahun. Tapi, tetap saja rasa malu itu masih menghinggapi dirinya. Apalagi saat ia menatap sang istri, yang begitu ia cintai.
"Ah ... jangan ingatkan aku lagi kenangan buruk itu, Sayang, aku malu," ujar Pak Daniel sedikit menoleh ke arah samping, tapi tidak menghentikan gerakan dansa keduanya.
Bu Laura mengerti, tapi suaminya selalu ingin membahagiakan dirinya. Akhirnya Pak Daniel mau belajar dansa, karena pria dewasa itu tidak ingin menyakiti kaki wanita tercintanya.
"Kenapa mesti malu. Bukankah kamu telah berusaha keras dengan belajar dansa, Sayang. Aku mengapresiasi apa yang kamu lakukan, dan aku sangat menyukainya. Buktinya sekarang kita bisa lancar berdansa, tanpa menginjak kakiku lagi," terang Bu Laura mengingatkan, seraya menarik dagu suaminya agar ia bisa menatap wajah pria yang sangat ia cintai.
Pak Daniel, dan Bu Laura saling memandang terlihat binar cinta di dalamnya yang tidak pernah padam. Cinta itu semakin besar, dan menguat hingga di usia mereka semakin dewasa.
"Terima kasih telah menjadi bagian dalam hidupku, Sayang. Aku ingin menua, bahkan mati bersamamu," ucap Pak Daniel penuh perasaan.
"Sama-sama, aku pun begitu Daniel. Kamu adalah pria terhebat yang pernah kukenal, aku berharap kita bisa bersama selamanya, dan mati bersama-sama," jawab Bu Laura tulus, dan memiliki perasaan sama dengan suaminya.
"I Love You."
"I Love You Too."
Pak Daniel, dan Bu Laura saling menguntungkan perasaan mereka. Setelah itu, keduanya berciuman sesaat untuk menyalurkan perasaan dalam hati mereka. Tanpa, mereka sadari jika ucapan mereka tadi memiliki arti dalam hidup mereka.
Ya, takdir tidak akan ada yang tahu. Begitu pula dirasakan Pak Daniel dan Bu Laura apa yang terjadi dalam kehidupan mereka selanjutnya.
***
Ketika Pak Baron, dan Bu Silia tengah asyik berdansa. Tiba-tiba keduanya di ganggu dengan kedatangan adik dari Pak Baron, keduanya meminta maaf karena terlambat hadir ke pesta.
"Kak Baron!" Herman menepuk pundak sang kakak, agar mau menatapnya. Karena musik dansa yang lumayan kencang, membuat suara sapaan yang keluar tidak terdengar.
Merasa ada yang menyentuh pundaknya, Pak Baron kira itu tangan sang istri. Bu Silia akhirnya menunjuk ke arah belakang, dan membuat Pak Baron mengikuti arah tangan istrinya.
"Eh, kamu, Herman? Kenapa baru datang, apa kamu melupakan undangan Kakakmu ini?" Pak Baron dengan gurauannya, menyapa sang adik. Ia pun berbicara sedikit keras, agar Herman bisa mendengar apa yang ia ucapkan.
Herman dan istrinya sesaat saling berpandangan, karena kedua orang ini memiliki niat jahat pada saudaranya sendiri.
''Maaf, Kak Baron. Tadi Monica badannya panas, jadi kami berdua membawanya ke Dokter terlebih dahulu. Baru setelah mengantar dia kembali ke rumah, kami baru bisa ke mari," bohong Herman, dengan diiyakan sang istri.
"Benar, Kak, yang dikatakan Mas Herman. Kalau Monica sedang sakit, tapi kami berdua meninggalkan dia. Karena kami tidak ingin Kak Baron serta Kak Silia sedih, karena kami tidak datang," sambung Bu Ria dengan kebohongannya.
Pak Baron, dan Bu Silia bukannya senang dengan kehadiran sang adik. Malah Pak Baron marah, karena lebih memilih datang ke pesta dan meninggalkan putrinya yang sedang sakit.
"Kamu ini, Herman! Bagaimana bisa kamu dan istrimu lebih memilih datang ke pesta Kakak, sedangkan anak kamu, keponakanku sedang sakit di rumah. Kalau ada apa-apa, kamu pasti tidak akan tahu keadaannya nanti."
"Lebih baik kamu dengan istrimu pulang saja sekarang. Lihat, dan temani Monica. Aku takut dia kenapa-napa saat kalian tidak ada di rumah," kesal Pak Baron, terselip rasa khawatir pada Monica ponakannya.
Bu Silia sedari tadi diam, langsung turut bicara. Karena ia sering mengalami peristiwa itu, bila putrinya sakit. Maka ia sendiri, dan suaminya selalu ingin menjadi orang pertama tahu bagaimana keadaan putrinya bila sakit, atau pun memastikan Yasmin selalu dalam kondisi baik-baik saja.
"Benar apa yang dikatakan Mas Baron, kalian cepat pulang. Lihat bagaimana keadaan Monica, sebagai seorang Ibu aku sering mengalami perasaan tidak tenang ketika aku berada di luar disaat Yasmin sakit. Pastikan keadaan Monica baik-baik saja dulu, jadi, bila kalian berada di luar tidak akan khawatir dan was-was lagi," sambung Bu Silia menasehati Herman dan Ria.
Herman, dan Ria berpandangan. Kemudian keduanya tidak memiliki pilihan lain kecuali kembali ke rumah mereka, apalagi Pak Baron sebagai kakak telah meminta.
"Baik, kami akan pulang. Maafkan kami, yang tidak bisa menemani Kak Baron dan Kak Silia di hari bahagia kalian." Herman dengan kata-kata manisnya, seolah menyesal. Tapi, dalam hati ia begitu senang. Karena ia lebih leluasa merencanakan sesuatu, bersama Jason demi mencelakai kedua pasangan Pak Baron dan Pak Daniel.
"Tidak apa-apa. Pesta akan selalu ada, Herman. Aku sering membuatnya, dan kamu bisa hadir di pesta kami berikutnya. Sekarang kamu pulanglah, lihat bagaimana keadaan putrimu," ujar Pak Baron mengerti.
Setelah berpamitan Herman, Ria pun pergi. Sepeninggal mereka, Bik Minah tiba-tiba telah berada di sisi kanan Pak Baron dan Bu Silia dengan menggendong Yasmin.
Meskipun kini umur Yasmin telah memasuki 8 tahun, Bik Minah kuat menggendong gadis kecil itu ala Koala. Mengingat badan Yasmin yang mungil, membuat berat badannya terasa ringan bila di gendong.
"Tuan, Nyonya! Non Yasmin telah tidur, mungkin dia kecapaian. Apa lebih baik saya bawa pulang Non Yasmin dulu, atau menunggu sampai acara ini selesai," ucap Bik Minah cepat.
"Ya kesayangan Mama, kok, sudah tidur saja, Sayang?" Padahal pesta masih berlangsung," gumam Bu Silia di samping Bik Minah dengan mengecup puncak kepala putrinya, tangannya yang lembut tidak berhenti mengelus puncak kepala Yasmin penuh sayang.
Pak Baron pun tidak kalah mendekat ke arah Bik Minah, kemudian pria dewasa itu memberikan kecupan lembut di pipi kanan putri kecilnya.
"Selamat tidur, My Princess. Mimpi yang indah, ya, Sayang," bisik Pak Baron lembut, kemudian ia memerintahkan Bik Minah untuk pulang lebih dulu.
"Bibik pulang saja dulu, bersama Yasmin biar diantar Supir. Nanti kami pulang di antar Yudi saja, karena ini sudah malam dan Yasmin sudah tidur. Kalau dia dalam posisi begini, nanti tubuhnya akan sakit semua," perintah Pak Baron, setelah itu menghubungi supirnya.
Tidak sampai lima menit, supir yang stand bay di dalam mobil begitu menerima telepon langsung berlari ke dalam ballroom hotel di mana pesta tengah berlangsung.
"Iya, Tuan, ada yang bisa saya kerjakan?" tanya sang supir begitu berada tepat di hadapan Pak Baron, dan Bu Silia.
"Antar mereka pulang, jangan membawa mobil terlalu kencang. Pastikan hati-hati saat kamu membawa mobil," pinta Bu Silia, masih dengan posisi membelai puncak kepala putrinya. Kemudian ia memberikan kecupan sedikit lama di dahi Yasmin.
"Benar apa yang dikatakan Istriku, kamu harus hati-hati saat mengendarai mobil. Apalagi saat ini Putriku sedang tidur, jangan kasar atau pun ngebut," sambung Pak Baron dengan nada tegas.
"Baik, Tua. Baik, Nyonya." Supir dengan patuh, sopan saat menjawab perintah Pak Baron dan Bu Silia.
Ketika di dalam ballroom Pak Baron, dan Bu Silia tengah memberikan perintah pada sang supir. Kemudian Pak Baron memerintahkan supir lainnya, untuk mengirimkan mobil ke hotel.
Di luar, tepatnya di parkiran mobil terlihat Herman dan Ria istrinya tengah berbicara serius. Terlihat dari ekspresi keduanya.
"Sayang, kamu lebih baik pulang dulu. Karena aku harus bertemu dengan Jason dan seseorang yang akan membantu melancarkan rencana kita." Herman dengan memegang kedua lengan istrinya, agar pulang terlebih dahulu.
"Baiklah, aku berharap rencana kita berhasil. Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus berhasil mencelakai Baron dan Silia agar kita bisa menguasai semua harta mereka," setuju Ria, dengan syarat impiannya bisa diwujudkan oleh Herman.
"Tentu saja, Sayang. Aku pastikan rencana kita pasti berhasil, hanya tinggal soal waktu saja." Herman dengan percaya dirinya, kalau rencananya pasti akan berhasil.
Cup!
"Kamu suami paling pintar, sekarang aku pergi dulu. Sampai bertemu di rumah, Sayang," pamit Ria, setelah mengecup bibir suaminya.
"Sampai bertemu di rumah, dan siapkan dirimu. Aku ingin merayakan keberhasilan kita dengan malam panas, ah bukan, lebih tepatnya pagi yang panas untuk kita." Herman dengan mengerlingkan mata penuh arti.
"Tentu, saja, aku akan menunggumu dengan pakaian seksiku. Akan kubuat kamu melayang, dan meminta lebih sebagai hadiah kamu berhasil menghancurkan Baron dan Silia," desah Ria, kemudian memberikan lumatan di bibir Herman.
Herman pun membalas ciuman Ria tidak kalah panas, bersyukur situasi parkiran cukup sepi. Hanya satu atau dua orang lewat, kemudian pergi begitu saja.
"Hah ...hah!"
Begitu ciuman panas mereka terlepas, Herman dan Ria terburu mengambil napas. Ada rasa kehilangan saat ciuman panas itu terlepas, tapi keduanya sadar kalau ada hal penting yang harus lebih dulu diutamakan.
"Aku sebenarnya sudah tidak tahan menyerangmu, Sayang. Tapi, rencana kita jauh lebih penting. Kita bisa melakukan nanti, setelah aku berhasil mencelakai mereka," bisik Herman seraya terengah.
"Iya, kamu benar. Aku sebenarnya sudah menginginkan dirimu di dalamku, tapi rencana kita itu jauh lebih penting dari pada kepentingan syahwat kita."
"Jika kamu berhasil membunuh mereka, aku akan menjadi wanita yang paling bahagia di dunia ini. Karena kita bisa sering berlibur ke luar negeri, dan berbulan madu di sana." Ria memberikan pengertian, hampir sama dengan yang diucapkan Herman.
Herman memeluk Ria sesaat, dengan ucapan meyakinkan Herman pasti berhasil mengambil semua harta Baron Admaja.
"Impianmu itu tidak lama lagi akan terwujud, akan kupastikan itu malam ini. Ini janjiku padamu, Sayang," janji Herman.
"Aku tidak butuh janji, Sayang. Aku butuh hal nyata, dan aku akan melihatnya setelah kamu berhasil mengambil alih seluruh harta Baron Kakakmu itu." Ria tanpa sadar, ia telah menekan suaminya sendiri untuk menjadi pria jahat yang tega mencelakai saudaranya sendiri demi sebuah ambisi agar menjadi kaya raya.
"Iya, aku mengerti. Sekarang pergilah, mungkin sedikit lagi temanku akan datang," pinta Herman dengan meminta Ria masuk ke dalam mobil.
"Baiklah, aku pergi dulu."
Ria pun masuk ke dalam mobil, dengan duduk di balik kursi kemudi. Tidak lama Ria pergi, dengan mengendarai mobil menuju rumahnya.
Sepeninggal Ria istrinya, Herman mulai menghubungi Jason dan kedua orang suruhannya. Dengan harapan, kalau semua rencana yang telah di susun rapi akan berhasil.
'Aku tidak sabar melihat mereka mati, agar aku bisa menguasai harta Kak Baron,' gumam Herman dengan senyum jahatnya.