Baru saja tangannya hendak mengambil roti di atas meja, tapi tak jadi karena keburu ditepis oleh Mami yang langsung melotot. Anak bujangnya ini, baru saja bangun tidur dari sofa di ruang tamu dan tanpa mencuci muka atau mencuci tangannya, hendak mencomot roti yang beliau siap kan untuk sarapan.
“Cuci muka dulu atau minimal cuci tangan dulu lah! Ini roti yang makan bukan cuma kamu saja, Lan!”
Diomelin begitu, ia malah terkekeh. Senang banget. Karena sudah lama tak mendengar omelan Mami. Sudah hampir setahun ini ia tak pulang ke Jakarta. Sibuk dengan rumah sakitnya yang ia baru dibuka di Surabaya. Padahal jarak Jakarta-Surabaya tak seberapa jauh. Apalagi jika menggunakan pesawat. Namun sebenarnya, jarak bukan lah alasan untuk tak pulang. Ia punya alasan lain yang siapa pun pasti tahu ketika seorang lelaki sepertinya, menginjak usia 30 tahun dan masih sendiri. Bahasa gaulnya sih, jomblo ditambah patah hati.
“Heran deh Mami. Sudah jadi dokter, punya rumah sakit sendiri tapi kelakuannya masih kayak anak kecil! Apa-apa mesti dikasih tahu sama orang tua!”
Airin—adik bungsunya—yang baru menuruni tangga sambil mem-bawa tas kuliah, terkikik mendengar omelan itu. Sudah lama ia tak men-dengar kericuhan itu di rumah ini. Terlebih dengan ketidakpulangan kakaknya yang satu ini. Rumah terasa sepi karena tak ada yang menjadi 'bahan bully-an'.
“Mami kayak tak tahu saja! Kak Fadlan kan suka caper! Jomblo sih!”
Papi terkekeh. Tangannya sampai bergetar memegang koran. Anak gadisnya ini suka sekali memulai topik sensitif yang kini sukses membuat muka Fadlan agak jengkel.
“Tau tuh kakakmu! Yang ada di pikirannya rumah sakit melulu!”
Airin mengangguk kuat-kuat sambil menahan tawa. Sementara Fadlan baru bergabung lagi di meja makan, usai mencuci muka dan tangannya. Ia menarik bangku usai menjitak kepala adiknya itu. Kemudian duduk setelah berhasil menghindar dari cubitan dan tamparan yang dikeluarkan Airin namun berakhir sia-sia. Karena Fadlan malah duduk dengan cool-nya lalu mengambil selembar roti. “Anaknya Fadli sudah dua bulan. Kamu tak jenguk, Lan?”
Papi mengangkat topik lain. Bagaimana pun, Papi memahami perasaan lelaki. Fadlan hanya menoleh tanpa memberikan tanggapan. Sampai detik ini, ia masih tak menyangka kalau akan dilangkahi saudara kembar tersablengnya itu. Siapa yang sangka, kalau lelaki yang tak pernah setia pada satu perempuan itu pada akhirnya menikah duluan? Tak heran kalau Fadlan memilih mengasingkan diri selama setahun ini. Karena yaaaah tahu lah. Teman-teman terdekatnya pasti bakalan ikut mem-bully. Terlebih mereka semua telah menikah kecuali ia dan Regan. Atas inisiatif Regan lah, pada akhir-nya ia ke Surabaya dengan alasan membangun rumah sakit. Karena terkadang, sesama rasa, sesama jomblo itu tahu bagaimana perihnya ketika melihat yang lain sudah berdua sementara ia masih sendiri.
“Bulan depan, jadwalnya Aisha lagiran. Kamu harus datang. Kalau tidak, ia pasti ngamuk. Tahu sendiri betapa sayangnya dia sama kamu,” tambah Mami yang membuat Fadlan menghela nafas. Sebenarnya ia sudah punya niat untuk melihat ponakan barunya yang katanya perempuan. Ia juga ingin bertemu dengan Aisha, ia rindu sekali dengan adiknya yang sableng itu.
Rasanya berat sekali sekedar untuk melangkah masuk ke dalam mobil. Walau tak urung, ia mengendarai mobilnya juga menuju rumah sakit. Di pertengahan perjalanan, ia termenung melihat jalan yang sempat menjadi kenangan. Kenangan manis hampir tiga tahun lalu.
Ia menekan pedal gasnya dengan kencang. Berupaya mengalihkan ingatannya pada kenangan yang dulu manis kini menjadi pahit. Sakit karena hingga sekarang ia sulit melupakan kejadian manis itu. Kejadian yang tak pernah ia duga saat akhirnya ia jatuh cinta untuk pertama kalinya pada seorang perempuan.
Hari pertama puasa. Anak-anak kos dengan gembira mencari makanan untuk berbuka puasa. Termasuk gadis cantik yang baru saja tiba di kosnya. Ia bahkan baru akan membuka sepatu dan meletakan tasnya di lantai sampai akhirnya ditarik Ghina, sahabatnya, untuk balik badan dan keluar dari kos mereka.
“Belum juga gue masuk, Ghin,” keluhnya yang disambut tawa Ghina. Ghina merangkulnya lantas berjalan menuju pinggiran jalan raya dimana banyak pedagang menjsajakan makanan berbuka puasa, baik takjil, lauk-pauk hingga aneka macam minuman dingin.
“Puasa kali ini tuh bakal jadi puasa terakhir kita bareng-bareng coy! Kapan lagi coba jalan-jalan begini?”
Icha, iya gadis yang dirangkul Ghina itu, menggelengkan kepala. Walau omongan Ghina ada benarnya juga mengingat mereka sudah berada di tahun terakhir. Bahkan mereka baru memulai semester tujuh. Selama libur dua bulan kemarin, mereka sibuk KKN alias Kuliah Kerja Nyata di daerah pelosok Bogor lalu dan tak pulang kampung karena hanya tersisa satu minggu sebelum masuk sajaran baru. Semester awal sudah dimulai walau hanya tiga minggu karena setelah itu akan libur lagi untuk menyambut lebaran.
Dua gadis itu berhenti di meja pedagang kolak, kue basah dan gorengan. Ghina yang memang doyan jsajanan seperti itu tentu saja yang membeli. Kalau Icha sih tak terlalu suka gorengan. Makanya ia lebih memilih kolak dan kue basah. Sayangnya, jenis kue basah yang dijual tak sebanyak di kampung halamannya. Di sepanjang jalan raya kampung halamannya, berjsajaran pedagang kue dengan puluhan ragam kue basah hingga kue kering. Sementara dari jalanan ujung sana, Fadlan baru saja keluar dari rumah makan Padang. Berhubung Mami dan Papinya masih di Amerika untuk mengunjungi kakak tertuanya, Feri, ia terpaksa membeli lauk dari rumah makan Padang. Padahal Airin sudah berpesan minta dibelikan sushi tapi yang namanya Fadlan mana mau mengabulkan sih? Ia kan memang jahil pada adiknya yang satu itu. Paling juga dibuat me-nangis dulu baru dikabulkan.
Ia masuk ke dalam mobil sembari membawa beberapa bungkus lauk-pauk dan nasinya. Ia sengaja membeli nasi karena agak was-was dengan nasi buatan Airin. Terakhir ia mencoba saat sahur tadi, nasi itu sudah menjadi bubur. Ia jadi kehilangan nafsu makannya. Airin sih cuma ketawa saja. Ia tak bermaksud mengerjai kakaknya tapi ya, gadis yang baru masuk SMA dan terlampau manja ini memang luar biasa sekali kalau soal masak-memasak. Jangan ditanya kelanjutannya. Fadlan melajukan mobilnya ketika lampu merah berganti hijau. Dari kejauhan sana ia sudah melihat keramaian di pinggiran jalan raya karena walau hari ini tak begitu macet namun banyaknya pejalan kaki yang berada di pinggiran jalan raya membuatnya tak bisa cepat tiba di rumah. Ia melirik ponselnya yang berbunyi. Ada panggilan dari Aisha. Ia mendengus. Baru saja akan mengangkatnya, tiba-tiba seorang ibu berlari ke tengah jalan. Hal yang membuat banyak pejalan kaki berteriak. Sementara ia terkaget, membanting setir ke kiri berupaya menghindar agar tak menabrak ibu itu tapi malah menabrak gadis berkerudung yang sedang berjalan hendak menyusul temannya yang sudah berjalan lebih dulu.
Fadlan kaget. Jantungnya nyaris jatuh. Ia langsung keluar dari mobil sebelum diminta keluar oleh orang-orang yang kini mengepung mobilnya. Ia meminta maaf lantas segera berlari menuju korban yang sudah ditabraknya. Bahkan gadis itu tergeletak pingsan dengan kaki berlumuran darah. Fadlan langsung melakukan pertolongan pertama, khawatir ada luka lain atau kaki gadis itu patah. Tapi sepertinya aman. Ia langsung mengangkat gadis itu. Membawanya masuk seraya berkata pada orang-orang di sekitarnya kalau ia akan bertanggung jawab.
Sore itu, sore yang paling menegangkan bagi Fadlan ketika menabrak seseorang. Ia menyetir dengan kalut walau berupaya menenangkan diri. Ia putar balik ke rumah sakit miliknya, membunyikan klakson yang kencang ketika tiba di sana. Berteriak pada petugas untuk mengambil brankart sedangkan ia mem-bawa gadis itu keluar. Saat itu lah, entah harus bersyukur atau berduka atas kejadian tabrakan hari itu. Ia terpaku sesaat ketika melihat wajah pucat milik perempuan yang berada di gendongannya.
Fadlan nyaris berteriak, andai ia tak sadar kalau ia sudah tiba di ruangan-nya sendiri. Bahkan sekretarisnya muncul di ambang pintu, hendak menyerah-kan seperangkat dokumen yang sudah menunggu tanda tangannya. Ia ber-deham lantas memperbaiki duduknya kemudian me-nyilahkan Raya, sekretarisnya, untuk masuk. Perempuan itu mengangguk dan berjalan takut-takut. Maklum, sudah hampir dua tahun ini, mood Fadlan gampang berubah. Walau amarahnya tak ditunjukan tapi Fadlan tak pernah bisa menyembunyi-kannya amarah diwajahnya. Sebenarnya, Fadlan kesal karena ia harus mengingat kejadian s****n itu. Kenapa ia masih terus mengingat gadis itu? Kenapa ia tidak bisa melupakannya? Padahal toh, gadis itu pun tak meng-ingatnya. Ia yakin itu. Padahal ah tidak sama sekali. Gadis itu sama dengannya. Terus gelisah di setiap hari. Terlebih esok adalah hari pertama puasa.
“Kau tak balik kampong? Sikit lagi lah nak raye!”
Icha terkekeh. Ia sih mau pulang, tapi ia masih sibuk dengan kegitannya bersama PPI (Persatuan Pelsajar Indonesia) Malaysia untuk kegiatan ramadhan kali ini. Ini akan menjadi ramadhan pertamanya setelah sukses melewati dua semester penuh liku. “Kau lah dulu! Saye ni ade planning with kawan-kawan PPI," jawabnya dengan logat melayu tulen. Bahkan saking persisnya, banyak yang tak menyangka kalau ia bukan orang sini. Hoho. Sebenarnya, ia asli orang melayu juga tapi bukan dari Malaysia jadi wajar kalau tahu sedikit.
“Okay!”
Nisa pamit. Dia tetangganya di apartemen yang sama. Kadang suka pergi ke kampus bersama. Ia dan Nisa satu kampus tapi beda jurusan. Hari ini Nisa akan pulang ke kampung halamannya di Merlimau, Melaka. Dari Kuala Lumpur sekitar satu setengah jam. Icha pernah ke sana beberapa kali karena diajak Nisa. Suasananya enak sekali karena jalan raya tidak begitu ramai. Meskipun panas tapi tak ada jalanan yang macet itu yang enak. Beda dengan Depok kan!
Icha termenung sesaat lantas segera membalas pesan ibunya. Ia me-ngabari kalau ia akan pulang lebaran ini. Rasanya ia tak kuat kalau harus lebaran sendirian di sini. Apalagi harga tiket Malaysia-Indonesia masih standar dan terjangkau. Tak ada alasan untuk tak mudik lebaran.
Usai membalas pesan ibunya, ia berjalan menuju balkon. Berdiri di sana dan membiarkan angin menerbangkan kerudungnya. Mengenang sejenak apa yang pernah terjadi di masa lalu.
Sorot-sorot mata cemas menatapnya. Terlebih lelaki yang baru saja menabraknya. Walau ia tak tahu karena sudah keburu pingsan. Icha bahkan kaget melihat darah dikakinya yang kini sudah diperban. Ia hanya lecet. Tapi rasanya tetap saja sakit.
“Kamu sudah sadar?” tanya lelaki itu.
Icha mengernyit. Matanya begitu silau usai membuka mata gegara lampu kamar rawatnya. Ia lama sekali menyadari keberadaannya. Ia baru sadar ketika melihat lelaki berjas putih itu. Sepertinya dokter. Begitu pikirnya. Ia melihat ke depan, kiri, kanan dan atas. Sementara Fadlan menghela nafas lega. Ia me-nunggu gadis ini sadar hingga dua jam. Ia bahkan berbuka puasa di kamar rawat ini. Kemudian merusuhi Fahri agar mengantar makanan yang ia beli pada Airin. Ia khawatir adiknya tak makan karenanya. Sementara ia menjaga perempuan yang menjadi korban mobilnya.
“Kamu lapar?”
Fadlan menawari sebungkus nasi Padang yang sempat ia titip pada satpam-nya agar dibelikan. Gadis itu hendak duduk lalu meringis karena merasakan sakit dikakinya. Fadlan hendak membantu tapi secepat kilat gadis itu mengubah posisinya. Icha bahkan bertanya-tanya kenapa lelaki ini masih di sini dan kenapa tak satu pun sahabatnya datang. Fadlan langsung menggaruk tengkuknya karena malu. Tadi kan ia ingin membantu tapi ternyata gadis ini bisa duduk sendiri. Akhirnya kini Fadlan membuka bungkusan nasi itu.
“Sa-ya sua-pi atau bagaimana?” tanya Fadlan dengan kikuk.
Si gadis langsung mengambil alih nasi dan piring dari tangannya. “Bisa sendiri, yang sakit kaki bukan tangan,” katanya dengan agak judes.
Diam-diam Fadlan menghela nafas lantas terkekeh kecil. Tiba-tiba merasa lucu melihat pipi gadis itu memerah dan caranya makan yang serampangan serta memunggungi Fadlan. Gadis itu malu kalau harus makan dengan ditemani tatapan Fadlan dan senyumnya yang ganteng itu. Ia bersikap agak jutek agar tak dikira cewek gampangan. Ia memang tidak suka basa-basi dengan lelaki asing. Tidak perduli dengan parasnya yang tampan sekalipun.
“Kamu ingat nomor ponsel orang tuamu? Biar aku telepon dan mengabari kondisimu? Tadi aku tak lihat ada tas yang kamu bawa.”
Icha mengeluh dalam hati. Ia memang meninggalkannya di kos saat hendak membuka sepatu. Ia hanya ingat membawa uang untuk membeli makan. Itu saja. Selebihnya?
Lihat lah kondisinya sekarang. Ia tak mungkin memberitahu orang tuanya. Takut mereka khawatir. Akhirnya Icha meminta Fadlan agar menelepon sahabat-nya saja, Ghina.