Kreeek ....
Derit engsel kamar mandi terbuka, mungkin seumur hidup, baru kali ini aku dalam hidup suara pintu terdengar seram sekali. Mungkin ketegangan diri ini yang membuatku gemetar dan tak tahu harus bagaimana.
Ibu mertua terlihat memindai suasana kamar mandi dan terkejut melihat ada dua ember besar yang terisi penuh air di sana.
"Ember baru?"
"I-iya."
"Sejak kapan?"
"Semalam."
"Uang dari mana?"
"Dicicil, Bu, kata Kak Aidil, biarlah dia mencicil ember agar stok air di rumah tetap ada, jadi saya tidak perlu menimba dan pendarahan lagi."
Sebenarnya, jika hanya perkara ember tidak harus jadi pencetus emosi ibu mertua sampai terlihat benci sekali terhadap menantunya, sekali lagi itu hanya ember. Perkara remeh remeh air dan ember.
"Lancang sekali berani berhutang tanpa bertanya dulu, apa kalian hendak mempermalukanku?!" Wanita itu langsung meradang, diseretnya lenganku ke teras lalu dengan emosi yang amat membuncah wanita itu mencecarku dengan segala makian dan hujatan.
"Tidak tahu diri ya kamu, ... Tahu tidak? seumur hidup, aku tidak pernah mengajarkan anak untuk berhutang! baru kali ini, setelah mengenal dirimu, dia jadi lihai untuk mengambil kredit dan berani bertindak tanpa bicara pada ibunya!"
"Dia sudah menikah dengan saya Bu, jadi sedikit tidaknya, dia sudah harus bertanggung jawab. Bukankah menikahi seseorang artinya sudah berani menghidupi dan mensejahterakan?"
"Halah, gayamu ...! Mensejahterakan katamu? heh wanita ingusan, tahu apa kamu tentang filosofi pernikahan ...." Wanita itu melengos sambil tertawa sinis, dia nampak ingin mengejekku tapi tidak punya kata kata yang tepat.
"Lah, memang iya kan Bu, seorang lelaki yang berniat menikah artinya sudah yakin mengemban tanggung jawab."
"Tutup mulutmu, hari ini juga jika kau tidak melunasi ember itu, aku akan memecahkannya!" ibu mertua segera mendelik, menarik napas lalu menjauh dari rumahku.
Entah harus bagaimana menghadapi situasi hidupku yang menjadi serba salah. Jika aku mengikuti peraturan mertua untuk menggunakan hanya satu ember air sehari, maka aku yang tersiksa, tapi, jika aku menggunakan peraturan suamiku maka ibu mertua yang sakit hati. Sudah beli satu ember pun, masih aku yang tersiksa, malah kini ibunya Kak Aidil mengancamku akan memecahkan embernya.
Seharusnya tidak perlu perkara ember saja harus seperti drama India.
Seperti yang kuduga, wanita tua itu akan kembali ke rumahnya, marah dan berteriak menarik perhatian semua anak dan menantunya, lalu menjelekkan diriku.
Seperti biasa aku akan tersudut di antara Kaka iparku, aku akan malu, terkesan manja dan mengadu domba Kak Aidil dan ibunya, lalu semua orang benci, dan aku sedih.
Semua skenario itu terjadi, di ujung sana, di rumah utama suara ibu layang menyebut namaku dengan sebutan 'mantu s****n' anak anaknya datang dan mendengar ocehan emaknya. Kuintip mereka dari jendela dengan hati yang sudah hangus setengahnya oleh rasa kecewa.
Aku makin minder, sedih dan depresi. Stress menekan membuat asam lambungku naik, lalu diri ini mual dan darah yang tadinya mengalir normal kembali menderas.
Aku tahu betul kondisi tubuhku, harusnya aku tidak terpengaruh, tapi aku tidak bisa menghindarinya. Terlalu sakit untuk tetap bertahan, tapi aku tidak punya pilihan untuk pindah. Tidak punya uang, dan tidak tahu harus kemana. Semakin di pikir semakin hati ini terhimpit dan kepala ini mau pecah.
**
Sore harinya,
Suamiku pulang dari pekerjaan memetik dan mengupas kelapa, dia kembali dengan langkah tertatih dan lesu sekali, kadang iba menatapnya dari kejauhan yang jadi buruh di kebun orang tuanya yang perhitungan.
Andai orang lain, petani sukses dan mereka kaya, tentu akan mereka sekolahkan anak mereka sampai setinggi-tingginya lalu anak yang sukses itu akan membayar buruh untuk mengelola kebun, sehingga mereka semua hidup nyaman dan bahagia.
Sayangnya, kehidupan dan prinsip mertuaku sangat berbeda, dia punya pola pikir yang kolot dan perhitungan. Tidak mau rugi dan berspekulasi, dia hanya realistis, cenderung kaku. Menyuruh anaknya untuk fokus saja mengurus kebun dan tidak pergi ke dunia luar untuk merantau atau mencari pengalaman.
Payah sekali.
"Assalamualaikum," ucap Kak Aidil yang duduk di kursi teras melepas bootnya.
"Walaikum salam, Kak. Kamu kayaknya capek sekali ya, Kak."
"Iya, Dik, hari ini pesanan kelapa kupasnya banyak sekali."
Mungkin kalau wanita lain akan sangat bergembira mendengar bahwa pesanan hasil kebun suami yang sangat besar, tetapi berbeda denganku. Aku tahu yang didapatkan Kak Aidil hanya rasa lelah sementara uangnya tetap ada ditangan ibu mertua.
"Oh ya, Kak, maaf sebelumnya," ucapku sambil menyodorkan segelas air.
Pria lelah itu menatapku, aku pun membalas pandangannya, sesaat hati ini gundah untuk memberi tahu yang sebenarnya, tapi aku harus bagaimana lagi?
"Ada apa Dik? Apa beras habis?"
"Tidak, ada yang lebih dari itu," jawabku.
"Kenapa dik, apa kamu sakit, mau ke rumah sakit?" tanyanya segera meraba keningku dengan cemas.
"Tidak panas," gumamnya.
"Zahra gak sakit Kak, tapi ada yang lebih dari itu. Ibu sudah tahu tentang ember itu," jawabku lirih.
"Lalu kenapa kalau tahu, Dik, kurasa dia memang akan mengomel tapi setelahnya reda...."
"Iya kalo reda Kak, ibu minta kita lunasi embernya atau dia akan memecahkannya!"
"Sungguhkah!" Kaidah yang mungkin sangat lelah pulang kerja langsung berdiri dengan emosi yang memuncak.
"Tunggu kak, saya memberitahu kamu lakukan agar kamu marah pada ibu tapi agar kita sama-sama mencari solusi."
"Tidak, saya akan memberimu solusi yang tidak akan pernah jadi masalah untuk ke depannya lagi! Lihat saja!"
"Kakak mau kemana Saya khawatir bahwa Kakak akan bertengkar dengan Ibu tolong jangan lakukan itu demi saya saya akan makin tersudut dan malu ada di lingkungan ini," pintaku menangis, kugendong anakku yang entah kenapa juga ikut gelisah dan menangis.
"Tidak, Aku tidak akan bertengkar dengan siapapun kau cukup lihat saja!"
Tanpa banyak bicara lagi, suamiku segera pergi ke garasi lalu menggerek mesin air yang biasa di gunakan untuk membangkitkan air dari sungai ke dalam sawah, mesin Honda berukuran besar dengan pipa berwarna biru.
Dimasukkannya pipa tersebut ke dalam sumur lalu dia menghidupkan mesinnya. Seketika saja air mengalir dengan derasnya dan memenuhi pekarangan rumah orang tuanya. Entah untuk apakah kak Aidil melakukan itu, tapi yang jelas dia membuat halaman menjadi becek dan sikapnya seolah-olah ingin menguras air sumur.
"Aidil! apa yang kau lakukan!" Ibu mertua keluar dari rumahnya dengan teriakan yang sangat kencang.
"Apa yang aku lakukan? Sekarang aku ingin semua orang merasakan bagaimana hidup dalam keterbatasan air!"