Hyperthymesia

1389 Words
Bel baru saja meraung keras sebanyak tiga kali,itu adalah sebuah pertanda pelajaran di sekolah menengah atas itu telah usai. Suara riuh mulai terdengar kian ramai beberapa menit setelahnya. Jemari tangan dan kaki tak bisa lagi digunakan untuk menghitung siswa berseragam putih abu mulai yang menuju tempat parkir, kendaraan roda dua mereka terparkir di bagian depan sekolah dekat gerbang utama. Hanya boleh motor saja yang boleh diparkirkan di area sekolah, jika membawa mobil dipersilahkan untuk menggunakan area milik warga yang juga mengelola parkir. Beberapa dari mereka tergesa pulang setelah memberikan selembar uang dua ribuan kepada office boy sekolah yang merangkap menjadi penjaga parkir saat pulang sekolah. Beberapa lagi berjalan santai dengan teman-teman setongkrongannya dan ada pula yang asyik berjalan dengan menggenggam tangan kekasihnya. Terlihat seorang siswi berambut sebahu sedang berjalan dengan santai keluar dari kelasnya yang mulai berangsur sepi. Sebuah sweater berwarna kuning terang hampir menyembunyikan seluruh seragam putih abunya. Wajahnya yang putih kian berkilau karena pantulan warna mencolok pakaian luarnya itu. Seorang gadis dengan rambut berkuncir belakang berusaha menyusul langkah siswi ber-sweater kuning itu, daia tergopoh menyejajari lamgkahnya sesaat keluar ruang kelas. “Amanda, tunggu aku.” Amanda menghentikan langkahnya saat mendengar namanya disebut. Dia menoleh ke belakang untuk mengetahui siapa yang memanggilnya. “Hey, Natasya. Aku kira siapa. Enggak seperti biasanya kamu pulang belakangan?” ujar Amanda sambil menyematkan senyum di wajahnya. “Iya,” ujar Natasya seraya menarik napas panjang sesaat dia berada di samping Amanda. “Aku belum bisa move on dari soal ulangan matematika tadi, Man. Aku enggak menyangka akan sesusah itu pertanyaan yang diberikan, aku tadi menyempatkan melihat buku catatan dulu jadi tertinggal yang lain.” Natasya menggaruk-garuk kepalanya dengan tangan kanan sambil tersenyum getir. Amanda tersenyum melihat kelakuan teman sekelasnya itu, dia berani bertaruh gadis berkuncir kuda itu tidak gatal kepalanya. “Aku kadang iri dengan kamu yang sama sekali enggak pernah ambil pusing dengan pelajaran yang sulit sekalipun, Manda. Aku lihat kamu santai saja saat ada ulangan, enggak seperti aku yang harus membaca ulang pelajaran sampai berkali-kali. Beritahu aku dong tipsnya supaya bisa seperti kamu, enggak perlu belajar tapi selalu rangking satu.Enggak perlu belajar mati-matian tetapi juara umum di sekolah, itupun  dengan nilai paling tingga dari semua kelas,” ujar Natasya. Mata sipit gadis itu merambati sosok di depannya dengan sorot kagum bercampur dengan penasaran. “Aku belajar kok, Nat. Aku juga belajar seperti kamu dan yang lain. Jadi apa yang kamu katakan itu sama sekali enggak benar,” Amanda melengkapi kalimatnya dengan sebuah senyuman di ujung bibir. “Tapi enggak seperti aku dan yang lain lakukan ‘kan? Sekali atau dua kali aku memang pernah melihat kamu membaca buku pelajaran.” “Nah itu kamu tahu, Nat.” Sebuah senyum masih tersemat di bibir gadis itu. “Seharusnya untuk menjadi juara umum untuk semua kelas, gaya belajar kamu enggak seperti yang aku lihat, Manda. Ayolah beritahu aku tipsnya, aku sangat terpukul tadi saat ternyata aku enggak bisa menjawab soal ulangan yang biasanya mudah untukku.” Natasya mulai merajuk dengan memasang wajah memelas. “Sebenarnya aku tidak punya tips, Nat. Mungkin aku terlahir dari sebuah keluarga dengan otak pintar, jadi aku mewarisinya secara genetis.” Amanda terdiam sejenak, dia tidak yakin dengan kalimat yang baru saja diucapkannya tadi, Papanya bukanlah seorang yang pintar, malah sekarang terkena Alzheimer. Natasya terlihat menghela napas panjang, nampaknya dia menyesali dengan apa yang sudah terjadi dengan dirinya, tidak pintar secara genetis. “Kita sambil jalan yuk ngobrolnya, Nat,” ajak Manda. Natasya mengangguk setuju dengan ajakan siswi ber-sweater kuning itu, dia mengikuti Amanda yang mulai mengayunkan langkahnya. Gadis bermata sipit itu berjalan di sisi kanannya, sesekali matanya mencuri pandang sosok yang ada di sebelah kirinya. Sebenarnya dia mempunyai rasa iri yang sangat terhadap Amanda, dia tidak hanya mempunyai kecantikan yang membius, tetapi juga kapasitas otaknya juga membuat banyak orang mengacungkan jempol kepadanya. “Aku curiga kepindahan kamu ke sekolah ini karena di sekolah lama kamu dianggap terlalu pintar  dan tak ada guru yang bisa mengajar kamu,” guyon siswi berkuncir kuda itu, dia lalu melengkapi kalimatnya dengan tertawa kecil. “Jangan ngaco, Nat. Kamu terlalu jauh menyimpulkan.” Amanda ikut tertawa. “Ya habis bagaimana aku tidak menyimpulkan seperti itu, Manda? Kamu masuk setelah kita berbulan-bulan belajar dari rumah menggunakan handphone. Tiga bulan di sekolah ini pandangan semua guru bahkan Kepala Sekolah tertuju kepadamu. Mereka yang sebelumnya mendapat predikat sebagai siswa pintar, juara kelas dan juara umum tiba-tiba enggak ada apa-apanya dengan kehadiran Amanda Maharani Utama.” Tidak ada kalimat yang diucapkan oleh Amanda untuk menanggapi apa yang diucapkan oleh Natasya, ketua kelas 11 MIPA 1. Dia hanya menoleh sesaat dan tersenyum kecil. “Anggap saja aku mempunyai karunia yang diberikan oleh Sang Pencipta,” kata Amanda akhirnya. “Karunia? Pasti menyenangkan sekali mempunyai hal yang seperti itu. Jika boleh aku tahu karunia yang diberikan oleh Sang Pencipta untuk kamu itu apa? Aku ingin berdoa meminta hal yang sama kepada-Nya. Manda,” ujar Natasya dengan wajah serius. Amanda mengukir senyum di wajahnya mendengar pertanyaan gadis bermata sipit di depannya. “Begini, Nat,” kata Amanda sambil menghentikan langkahnya lalu menarik napas panjang. “Sebenarnya apa yang aku alami ini adalah sebuah bentuk keanomalian dari otak, malah beberapa ilmuwan menyebutkan apa yang aku alami adalah sebuah kecacatan otak. Tetapi aku menyebut apa yang aku alami ini sebagai sebuah karunia dari Sang Pencipta. Aku yakin setelah kamu mengetahui apa yang aku alami, kamu akan mempertimbangkan kembali hal yang akan kamu minta dalam doamu, Nat.” Natasya menatap dalam teman sekelasnya ini, dia merambati setiap sentimeter wajah gadis yang menjadi pujaan setiap siswa di SMA Pilar Bangsa. Seperti ada sebuah keraguan yang tiba-tiba terbit di wajahnya saat mendengar penuturan Amanda. “Jika kamu enggak keberatan, boleh aku tahu apa yang sedang kamu bicarakan, Manda?” “Hyperthymesia. Aku ini sebenarnya mengidap Hyperthymesia, Nat.” “Hyperthymesia? Apa itu?” “Itu adalah sebuah keanomalian fungsi otak, Nat. Agak susah menjelaskannya, tetapi kamu bisa cek di google atau youtube.  Aku juga pernah lihat drama Korea yang temanya adalah Hyperthemesia itu.” “Wow, Drakor ya? Sebuah kebetulan sekali karena aku ini adalah penyuka drama Korea, Manda. Coba judulnya apa? Nanti aku mau nonton.” “Remember, Nat. Judulnya ‘remember’. Coba kamu cari saja filmnya, itu film serial.” “Siapa yang main di film itu, Manda?” “Entahlah, aku enggak kenal bintang  Korea. Tapi filmnya bagus, keren dan menguras air mata.” Dua orang siswa berseragam menghampiri Amanda dan Natasya yang bincang-bincang sambil menyusuri selasar. Sepertinya mereka ini adalah sepasang kekasih karena sebelumnya terlihat sedang asyik bercengkerama di taman sekolah yang rimbun. “Halo, Kak Manda, Kak Natasya,” sapa sang siswa dengan percaya dirinya. “Halo, Leon, Savina. Ada yang bisa dibantu?” Natasya balas menyapa, Amanda hanya menyematkan sebuah senyum kepada mereka karena dia belum mengenalnya. Ketua kelas  11 MIPA 1 memang mengenal mereka karena sama-sama anggota Majelis Permusyawaratan Kelas. “Enggak, Kak Nat. Kami hanya ingin menyapa Kak Manda saja, sekalian ingin berkenalan dengan sosok yang menjadi gunjingan di setiap pelosok sekolah ini,” kata Leon seraya menatap takjub sosok di depannya. “Memang benar gosip yang beredar, Kak Manda ini adalah sosok yang maha perfect.” Savina menoleh ke arah pemuda yang ada di samping kanannya lalu menghadiahkan sebuah cubitan kepada kekasihnya itu, sorot matanya menandakan dia cemburu dengan kalimat yang diucapkan oleh Leon. “Maaf, maksud aku enggak kesana, Yang,” ujar Leon sambil mengusap-usap lengannya bekas cubitan. “Apa yang enggak, Say. Aku mendengarnya sendiri. Kak Manda ini adalah sosok yang maha perfect, jadi aku ini apa di hatimu? Sosok yang jauh dari sempurna?” Savina melengkapi kalimatnya dengan cemberut dan bersidekap. “Enggak, Yang. Ini adalah sesuatu yang beda. Aku hanya kagum kepada Kak Manda yang cantik dan pintar, sedangkan kepadamu aku telah jatuh cinta. Aku ini sudah nyaman berada di samping kamu, Sav. Sejak aku merasakan kenyamanan itu aku tidak ingin dinyamankan oleh yang lain lagi. Cukup ,kamu saja.” “So sweet,” ujar Savina dengan wajah tersipu. Amanda dan Natasya tersenyum melihat kelakuan kedua adik kelasnya. “Oh iya, Kak Manda. Perkenalkan aku Leon, kelas 10 IPS 2 dan ini tulang rusukku yang bernama Savina. kelas 10 MIPA 2.” Siswa berambut belah tengah itu mengulurkan tangannya yang disambut oleh Amanda tanpa ragu, Savina pun melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh kekasihnya itu.                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD