Area Parkir Sepulang Sekolah

1041 Words
Amanda dan Ayisha keluar dari kelas dengan berjalan bersisian, mereka langsung menuju ke lapangan parkir di mana gadis bertubuh gempal itu memarkirkan kendaraannya dan tempat di mana biasanya siswi berambut pirang itu dijemput. “Ay, Ayisha!” Terdengar suara memanggil gadis berambut pirang itu, Ayisha menoleh ke belakang mencari tahu siapakah yang memanggilnya. Dalam hatinya gadis pindahan berambut pirang itu berdoa semoga itu bukan Ferdian yang memanggilnya. Ayisha mendengkus kecewa karena doanya tidak terkabul, ternyata yang memanggilnya adalah Ferdian, Kakak kelasnya yang tadi waktu istirahat bertenu di Warung Ibu. Amanda melihat raut kecewa di wajah teman sebangkunya itu. “Ada apa? Kamu enggak senang dengan Kak Ferdian, Ay?” “Bukan enggak senang, aku hanya bete ngobrol dengan dia. Dia itu tipe cowo yang enggak nyambung kalau ngobrol, Manda,” kata siswi berambut pirang itu. Amanda tersenyum mendengar apa yang diucapkan oleh teman sebangkunya itu. “Dih, malah diketawain.” Ayisha tersungut melihat gadis bertubuh gempal itu malah tersenyum mendengar curhat-nya. “Ya habis mau bagaimana? Nangis?” kata Amanda diikuti dengan tertawanya. “Ya jangan juga, Manda.” Siswa berambut gondrong itu akhirnya bisa menyusul kedua siswi kelas 11 MIPA 1 itu, napasnya sedikit tersengal dan ada bulir keringat di dahinya. Mungkin Ferdian berlari dari kejauhan saat melihat Ayisha pulang, dugaan Amanda dalam hatinya. “Ada apa, Kak?” tanya gadis berambut pirang itu. “Sebentar ... aku masih mengatur napasku dulu,” kata siswa berambut gondrong itu dengan suara terbata. “Kurang olahraga ni kayaknya si Kakak,” kata Amanda yang disambut senyum Ayisha. “Bisa jadi salah satu faktor yang menyebabkannya itu, Manda.” Tangan siswi berambut pirang itu menjaga sinar matahari yang jatuh mengenai wajahnya, Amanda melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh teman sebangkunya. Mengapa juga sih harus berhenti di tempat panas seperti ini? Bisa tambah eksotik ni kulit gua, kata gadis bertubuh gempal itu dalam hatinya. “Kita ke sana saja yuk, Ay? Kak Ferdian?” kata gadis bertubuh gempal itu sambil menunjuk area parkir yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. “Yuk, Manda,” kata Ayisha sambil melangkah menuju tempat yang ditunjukan oleh Amanda. Gadis bertubuh gempal itu mengikutinya. Mau tidak mau Ferdian mengikuti langkah kedua siswi 11 MIPA 1 itu, sebenarnya jika harus memilih dia pun ingin tempat yang teduh untuk bincang-bincang dengan Aisya bukan ditempat panas itu. Kendaraan roda dua yang berada di lapangan parkir hanya tersisa beberapa buah saja, biasanya kendaraan yang belum pulang itu adalah milik siswa atau siswi yang mendapatkan jatah piket di kelas. Banyak pohon besar di area parkir itu bukan hanya untuk membuat lahan hijau sekolah dan oksigen yang baik tetapi juga untuk menaungi kendaraan di sana dari sengat surya yang kadang seperti neraka bocor panasnya. Kedua gadis itu memilih duduk di sebuah anak tangga yang kerap dilewati siswi saat menuju lapangan parkir.   “Ada apa, Kak?” tanya gadis berambut pirang itu sesaat dia melihat Ferdian sudah bisa menguasai sengalnya. “Enggak ada apa-apa sebenarnya, Ayish. Aku hanya berusaha menepati janjiku untuk menemuimu sepulang sekolah,” kata Ferdian sambil berusaha merapikan rambutnya yang terlihat berantakan. “Oh, aku pikir ada apa, Kak.” “Aku harap enggak menganggu, Ayish.” “Mengganggu sih enggak, Kak. Hanya saja aku biasanya pulang dijemput jadi enggak bisa lama-lama di sekolah.” “Oh, aku baru tahu. Maaf,” kata siswa berambut gondrong itu. “Enggak usah meminta maaf, Kak. itu bukan sebuah kesalahan, kok.” Sebuah senyum tersemat di wajah Ayisha. Ferdian sekilas melihat senyum gadis berambut pirang itu dan dia terlihat takjub melihatnya. “Next time mungkin boleh aku yang mengantarmu pulang, Ayish,” kata siswa itu menawarkan diri. “Mungkin, itu sebuah perjalanan panjang, Kak.” “Maksudnya?” “Never mind, forget it,” kata Ayisha dengan sebuah senyum lagi melengkapi kalimatnya.  Ferdian menghela napas, dia tahu ada hal yang disembunyikan gadis berambut pirang itu darinya. Mungkinkah dia enggak suka dengan hadirku di hidupnya? Enggak apa-apa aku akan memperjuangkannya sampai bidadari berambut emas itu menjadi milikku Ferdian Jaya Negara, gumam siswa berambut gondrong itu dalam hatinya. “Oh iya, aku tadi minta nomor kamu kan ya di Warung Ibu,” kata Ferdian berusaha mencari celah lain untuk mendekati Ayisha. “Iya, Kak. aku keberatan kan memberikannya, aku khawatir nomorku enggak terpakai gara-gara satu digit angkanya aku berikan ke Kakak.” Ayisha melengkapi kalimatnya dengan sebuah tawa kecil, dia menyempatkan melihat reaksi dari siswa berambut gondrong yang duduk di sampingnya. Tidak ada reaksi apapun di wajah Ferdian, entah apa yang menyebabkannya? Mungkinkah joke-nya tadi tidak lucu atau otak Kakak kelasnya yang tidak sampai dengan jenis guyon seperti itu atau kemungkinan terakhir, Ferdian Amnesia, dia tidak mengingat kalimat jawaban itu sudah digunakan sebagai jawaban tadi saat di Warung Ibu. “Bolehkah?” tanya siswa berambut gondrong itu. Ayisha menghela napas karena joke-nya tidak berhasil mengingatkan Ferdian dengan apa yang terjadi saat istirahat. “Boleh, Kak,” jawab siswi berambut pirang itu akhirnya. “Pinjam teleponnya, Kak.” Ayisha mengukurkan tangannya meminta ponsel Kakak kelasnya itu. Ferdian meraba saku celana dan saku kemeja seragamnya. Ke mana ponsel gua? Dia lalu membuka tas yang ada di punggungnya dan mencari di mana telepon genggamnya yang tadi sempat digunakan. Mengapa gua jadi pelupa kayak begini, kata siswa berambut gondrong itu sambil mendengkus kesal. “Ternyata di sini,” kata siswa berambut gondrong itu seraya memberikan ponselnya ke Ayisha. Siswi berambut pirang itu menerima telepon genggam yang diberikan oleh Ferdian itu, dia lalu mengetikkan 12 digit nomor telepon genggamnya. Siswi kelas 11 MIPA 1 itu lalu memberikan kembali ponsel Ferdian. “Tinggal di-save, Kak. Terserah mau disimpan dengan nama apa,” kata Ayisha dan menggenapkan kalimatnya dengan sebuah senyum yang kembali membuat pemuda di sampingnya takjub. “Tapi aku orangnya slow respons ya, Kak, jadi enggak bisa langsung balas kalau di-chat. Apalagi kalau di rumah aku jarang sekali pegang ponsel.” “Oke, no problem for me.” Terdengar suara dering berbunyi, Ayisha meraih ponselnya yang tadi disimpannya di tas. Siswi berambut pirang itu melihat siapakah yang meneleponnya, ternyata itu dari driver yang biasanya menjemputnya. “Well, I have to go now, driver-ku sudah menjemput, Manda,” kata gadis berambut pirang itu  ke teman sebangkunya seraya bangkit dari duduknya. “Kak Ferdian aku pamit pulang duluan ya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD