Suara desir angin yang menerobos masuk celah jendela rumahku membuat suasana rasanya begitu romantis bagiku, hanya bagiku, entahlah bagi Isrina. Dari tadi tak sekalipun dia mencuri tatap padaku, entah masih adakah rindu di hatinya? Atau aku yang merindu seorang diri.
Kupandangi diam-diam wajah teduh Isrina. Wajah yang selalu menyejukan dan menghangatkan jiwaku akhir-akhir ini. Wajah yang selalu membuat deburan hatiku bergemuruh. Aku menikmati setiap gerakan bibirnya, binar matanya bahkan hanya riap hijab yang membalut tubuhnya.
Begitu dalamkah luka yang telah kutorehkan pada bidadari yang tengah menjelajah setiap sudut rumahku, agar tidak ada barangnya yang tertinggal. Sehingga begitu enggan walau hanya sekedar duduk di sisiku?
Isrina lebih sibuk mencari benda-benda yang sekiranya menjadi kenangan tentang dirinya.
"Aku tidak mau ada pertengkaran di rumah ini, karena ada jejakku yang tertinggal. Aku tidak ingin hadir diantara kehidupan barumu yang menyisakan kesalah pahaman. Aku datang ke rumah ini baik-baik, aku berharap saat meninggalkan rumah inipun baik-baik pula.
Aku ingin setelah aku pergi, Mas bahagia."
Ah, kau selalu luar biasa, meski aku tahu matamu tidak mampu menyembunyikan duka.
Sebait lantunan lagu religi mengambang di udara membuat malam makin terasa syahdu di pojok hatiku, rupanya itu adalah nada panggilan masuk milik gawai Isrina.
Isrina meminta izin keluar untuk bercakap sejenak dengan si pemanggil teleponnya, lama pergi dari kehidupanku sepertinya membuat Isrina canggung berada di hadapanku, bahkan hanya untuk menjawab telepon dia merasa perlu menyingkir.
Aku diam-diam menguping, pembicaraan telephon Isrina.
"Apa, Mang?" tanyanya terdengar jelas meski agak samar, dari suaranya terdengar tidak suka. Aku makin menajamkan pendengaranku, rasa kepoku mengalir lagi dengan kuatnya.
Beruntung suasana malam yang hening membantu hasrat ingin tahuku, sehingga aku bisa dengan jelas menangkap obrolan Isrina.
"Tidak bisa menjemputku? yang benar saja. Biarkan Bibi beli gamis sendiri, lagipula beli gamisnya kan bisa besok, Mang...."
Apa?
Ayolah, jemput aku atau aku tidak bisa tidur sampai pagi.
Memang kami belum bercerai, tapi aku ingin pulang.
Jangan tertawa, kami sebentar lagi bercerai."
Deg, dadaku seperti ada yang menyikut.
"Jemput aku, Mang. Atau aku pulang naik taksi online."
Sejenak hening, Isrina sepertinya tengah mendengarkan seseorang yang kuyakini bukan pemanggil pertama terlihat sekarang sikapnya takzim.
"Oh iya, baik Bi, waalaikum salam" Isrima menutup teleponnya dan siap berbalik menghampiriku. Aku segera pura-pura mengutak-ngatik layar gawaiku, mau ditaruh di mana harga diriku, laki-laki kok nguping.
"Mas."
Isrina sudah berdiri lagi di hadapanku. Aku tersenyum, senang sekali mempelototi wajah itu rasanya.
"Mas, Mamang Habibi tidak bisa menjemputku. Bolehkah aku tidur di sini?" Tanyanya terbata-bata ekspresinya mengingatkanku pada kenangan bertahun lalu saat aku sering menggodanya di kosannya waktu itu.
Gadis polos itu membuatku selalu ingin berbicara panjang, lebar dan lama. Meski kuyakini saat itu bukan cinta, tapi meskipun hanya sekedar ngobrol tanpa ada judulpun sudah membuat jiwaku nyaman. Intuisiku sebagai laki-laki sejati mengatakan meski wajahnya sederhana tapi Isrina luar biasa.
"Kenapa, Rin?"
"Aku tidak bisa pulang, aku tidur di sini saja."
Tuhan, aku seperti mendengar nyanyian para pujangga, merdu sekali.
"Mas, kok malah diam? Kalau tidak boleh, aku pulang naik taksi online saja."
"Oh iya, tentu saja kamu boleh tidur di sini. Ini rumahmu, kenapa juga kamu minta izin."
Jawabku agak gelagapan. Isrina terlihat menghembuskan napas, membetulkan hijabnya dengan gelisah.
"Kenapa, Rin?" Tanyaku melihat sikapnya yang seperti tidak nyaman.
"Kamu bisa tidur bersamaku, kita kan masih suami istri." Lanjutku membuat pipi Isrina memerah.
"Aku tidur di kamar lain saja," jawabnya beringsut ke arah kamar yang berseberangan dengan kamar tidur yang selama ini biasa digunakan olehku dan Isrina.
"Rin, jangan di sana AC nya mati," jawabku mencegah.
Aku bangkit, berusaha meraih tangan Isrina.
Ups.
Aku berhasil memegang tangan Isrina, darahku rasanya mengalir lebih cepat. Aku rindu kelembutan kulit Isrina, sehingga memegang jemari saja sudah membuat jiwa laki-lakiku berdebar.
Isrina menggeleng, berusaha menarik tangannya dari genggamanku.
Mukaku memerah, mirip adegan drama perkawinan tanpa cinta. Sang pria mengemis tidur bersama dalam satu kamar. Pahit.
"Kenapa, Mas? Aku sudah terbiasa tidur sendiri, dan harus membiasakan tidur seorang diri."
Aaaa, lidah ini langsung kelu melihat penolakan Isrina.
Rin, tidurlah bersamaku.
Aku ingin mendekapmu, dan menghabiskan malam ini bersamamu.
Sayang, aku rinduuuuu.
Debaran hatiku hanya penuh dalam d**a, entah kenapa bibirku terkunci rapat. Dengan pasrah kubiarkan Isrina berlalu memasuki kamar di seberang kamarku.
Blup, suara pintu yang ditutup perlahan meninggalkan jejak sepi di sudut hatiku. Bodohnya kamu Sagara, yang hanya sanggup melihat bayangan tubuh Isrina yang menghilang di balik pintu, aku memaki diri sendiri.
*****
Sudah hampir satu jam aku hanya terpaku menatap pintu kamar Isrina yang tertutup, berharap Isrina kembali menemuiku, duduk disisiku atau hanya keluar sejenak memandangku dan mengucapkan selamat malam.
Bodohnya aku, kenapa hanya diam termangu mengharap keajaiban?
Cinta bukan hanya diam dan mendamba, cinta adalah ucapan dan harapan. Cinta adalah keajaiban yang diperjuangkan dengan tindakan dan pernyataan. Camkan itu, Sagara. Hatiku terus berbisik.
Berdebar tanganku mengetuk pintu, berdiri resah menanti jawaban.
"Masuk, Mas."
Suara Isrina terdengar seperti guyuran air es ditengah sahara. Dengan d**a berdebar, perlahan kubuka daun pintu kamar dan mendapati Isrina masih duduk termenung di pinggiran ranjang dengan mata menganak. Isrina mengerjap, saat menatap kehadiranku, wajah lembutnya berusaha melukis senyum.
"Boleh aku duduk di sisimu?"
Isrina mengangguk, menggeser sedikit tubuhnya agar aku bisa duduk di sisinya.
"Rin,"
"Ya, Mas,"
"Boleh Mas mengatakan sesuatu? "
Tanyaku memecah sunyi. Isrima melirikku sejenak, kemudian tertunduk.
"Apa yang akan kau katakan, Mas? Tentang perpisahan ini, tentang hari-hari kita setelah bercerai?" Tanyanya lirih.
"Perceraian meskipun itu halal, tapi tetap meninggalkan luka. Aku butuh waktu untuk menghapus jejakmu dalam hidupku."
"Maafkan aku, Rin." Suaraku tercekat di kerongkongan.
"Kesalahan terbesar dalam hidupku karena aku... terlambat menyadari perasaanku padamu."
Aku mengusap kasar rambutku, berharap rasa, penyesalan itu sirna seiring hembusan napas yang kukeluarkan dengan keras.
"Maksudmu, Mas? "
Isrina menatapku.
"Aku mencintaimu di saat sidang perceraian dan hari pernikahanku tinggal menghitung hari."
Hening.
"Aku mencintaimu, Rin. Dengan seluruh jiwaku, dengan segenap perasaanku."
Mulutku bergetar saat mengucapkan semua kalimat yang selama ini kupendam, ada rasa yang luar biasa, meski aku tahu semua itu hanya semakin membuat Isrina terluka.
Isrina menggeleng, suara isaknya terdengar lebih keras.
"Apa itu penting bagiku, Mas? Kau mencintaiku atau tidak sidang perceraian itu akan terjadi begitu juga dengan pesta perkawinanmu. Aku bisa saja memohon padamu untuk membatalkan semuanya, tapi... " Suara Isrina tenggelam dalam tangisan.
"Katakan Rin, aku akan membatalkan semuanya jika engkau mau."
"Ayolah Rin, katakan apa yang harus kulakukan."
Rubuh sudah keangkuhanku.
Isrina menggeleng, menghapus air matanya.
"Kamu bisa melukai hatiku, Mas.Tapi kamu tidak bisa, melukai hati perempuan yang telah melahirkanmu."
"Maksudmu, Rin? "
"Mama akan sangat kecewa dan malu jika kamu membatalkan semua impiannya, bisa-bisa Mama jatuh sakit."
Aku menghela napas, Isrina tahu persis Mama punya riwayat sakit jantung.
"Mama adalah syurgamu, jangan buat dia kecewa Mas, "
Aku tercenung, merasakan sesuatu yang berat menekan dadaku.
"Aku ikhlas mencintaimu, aku iklas kehilanganmu."
Air mataku luruh sudah, kuraih tubuh Isrina. Kudekap tubuhnya dalam tangis penyesalan, ada sejuta luka yang mendera di dadaku.
Satu-satunya yang akan kusesali seumur hidupku, melepas perempuan terbaik yang pernah aku miliki.
.