Mata Sendu perempuan yang mulai uzur itu menatap awas, pada dua sosok yang menjauh, Sagara dan Anggita. Meski diam, dia menyaksikan semua yang terjadi, di balik tirai jendela di dalam rumahnya. Dadanya bergemuruh dengan sejuta kecewa dan luka, menyaksikan Isrina yang ambruk di lantai sesat setelah menutup pintu.
Perempuan yang biasa dipanggil emak itu meraih pundak Isrina, yang terduduk di lantai dan menangis pilu.
Sinar senja keemasan yang menerobos lewat tirai jendela yang tersingkap semakin membuat Isrina merasa terluka.
Emak menghenyakkan tubuhnya dihadapan Isrina dengan hati-hati. Sebagai seorang perempuan, dia paham yang dirasakan Isrina saat ini. Emak mengusap kedua pipi basah Isrina, berharap bisa membalut luka hati anak perempuan satu-satunya.
"Jangan menangis, Rin. Hapus air matamu," ucapnya lrih.
"Emak sudah tahu semuanya."
Sunyi, tak ada suara lain Selain isak Isrina dan desir angin berpadu dengan suara daun bambu yang bergesek satu sama lainnya tertiup angin penghujung kemarau.
"Adakalanya kita mendapati hal yang sulit dan menyakitkan dalam pernikahan. Bersabarlah, karena sejatinya Tuhan menguji kita, agar kita menjadi orang yang lebih kuat," katanya membuat Isrina menahan sedunya.
Setelah sekian lama menyembunyikan wajahnya dengan menangkupkan kedua tangan di muka, akhirnya Isrina mengangkat kepalanya, menghembuskan napas sesaknya ke udara.
"Di khianati itu sakit, Emak juga mengerti, apalagi di khianati orang -orang yang kita percayai jauh lebih sakit. Jadilah engkau perempuan yang bersabar dan kuat, karena untuk alasan itulah engkau dilahirkan sebagai perempuan." Ema menyeka ujung matanya yang ikut menganak.
"Mak, aku tidak kuasa menahan Sagara berlalu dari hidupku, seharusnya aku menahannya... Melarangnya dia pergi," kata Isrina hampir tidak terdengar.
"Apa aku salah karena tidak berjuang, Mak?"
"Tidak, anakku. Biarkan suamimu mengeja rasa cinta padamu dengan benar, biarkan dia memahami kalau kehadiranmu bukan hanya sebuah keharusan saat dia dikhianati saja, tapi kehadiranmu di butuhkan karena dia memang mencintaimu."
Isrina menghela napas, ada sepoi yang perlahan mengusap hatinya yang perih. Emak memang selalu luar biasa, perempuan sederhana dan tidak berpendidikan yang ketika masih mudanya hanya merupakan seorang petani kecil bersama bapak, tapi perempuan tua itulah yang selalu mengajarkan padanya tentang hidup yang penuh makna.
Mata Perempuan senja yang sudah banyak makan asam garam kehidupan itu berkaca. Di ujung usianya, dia harus mendapati mahligai rumah tangga Isrina anak perempuannya di ujung tanduk.
"Rin, Menangislah di atas sajadah, mengadulah pada Gusti Allah tentang semuanya. Biarkan Gusti Allah yang memutuskan hal terbaik diantara kalian," ujar emak dengan lembut.
"Air mata bisa menghapus luka dan nestapa, air mata juga bisa menghapuskan jiwa yang murka. Jadikan air matamu menjadi penyerta doamu yang khusu, jangan pernah bersedih lagi, ada Gusti Allah bersamamu."
Isrina tersedu, dipeluknya tubuh ringkih yang sudah memberinnya air kehidupan dan cinta. Pada perempuan tua itulah, Isrina banyak belajar makna keiklasan.
"Mak, mungkin beberapawaktu kedepan aku akan mendapati surat panggilan pengadilan Agama, untuk proses percerainku," kata Isrina, suaranya pelan sekali nyaris tidak terdengar.
Emak mendengarkannya dengan seksama, sesekali suara desiran angin yang beradu dengan rimbunnya daun bambu meningkahi percakapan mereka.
"Sebentar lagi, aku akan menyandang gelar janda."
"Kamu malu, Rin?" tanya emak tiba-tiba.
Isrina diam, bibirnya tersenyum pahit.
"Jangan malu, Rin." lanjut emak lirih.
" Menjanda tapi berahlak mulia, lebih baik dari pada memiliki suami dari hasil merampas."
" Harga diri perempuan tidak terlatak pada status yang menjadi takdirnya, tapi pada tingkah laku dan budi pekertinya."
Isrina tersenyum lirih, mencoba mencerna apa yang fikatakan perempuan yang telah melahirkannya.
"Kalau memang Gusti Allah menggariskan pernikahanmu sampai disini, jangan bersedih. Kamu bisa memulai kembali hidupmu bersama Emak di sini, kamu bisa mulai mencari lowongan kerja di sekolah-sekolah, biar waktumu lebih bermanfaat."
"Baik, Mak. Aku akan kembali menguntai asaku menjadi seorang pendidik seperti harapan Bapak."
Emak tersenyum. Tangan keriputnya membelai kepala anak perempuan satu-satunya dengan lembut.
"Tak ada hidup yang sulit, Rin. Selama kita mau berjuang."
Isrina menatap bola mata perempuan yang sangat dikasihinya, perlahan mengangguk dan membuang napasnya yang dirasanya sesak.
"Ayo, sebentar lagi adzan maghrib berkumandang, segeralah ambil wudlu, tenangkan hatimu." Emak meraih tangan Isrina untuk bangkit.
"Percayalah seandainya penderitaanmu seluas hamparan laut, maka rahmat Allah lebih luas dari hamparan langit dan bumi."
Isrina sekali lagi
mengangguk, menyeka air matanya dengan ujung hijabnya.
****
Di ujung teras yang sepi di bawah langit kota Bogor yang bertabur ribuan bintang, aku berdiri mematung dengan sebatang rokok dan gawai yang tergenggam di tangan.
Di bawah cahaya rembulan yang sinarnya penuh, samar aku merasakan hatiku gundah gulana, sesekali helaan napasku terdengar berat memberi tanda pada benda di sekitarku yang diam membisu, kalau aku tidak bahagia.
"Ajarkan aku hidup tanpamu."
"Katakan padaku cara menghapus bayanganmu dalam hatiku."
"Rin, aku merindukanmu."
Tulisku pada layar
gawai, aku tak kuasa menahan gelombang rasa pada perempuan yang ku tinggalkan senja itu dengan tatapan penuh luka.
Klik, pesan terkirim.
Aku tersenyum getir, mengutuk jiwa yang tidak mampu menghentikan kenakalan jariku yang gatal ingin menyapa Isrina walau hanya lewat pesan.
Aku menatap deretan pesan yang terkirim. Entahlah, apa harus menunggu jawaban atau tidak, aku merasa tidak pantas mengirim pesan seperti itu pada perempuan yang sebentar lagi akan menjadi seorang mantan.
Maafkan aku Isrina, tidak kuasa berperang melawan deburan jiwa yang memanggil namamu. Bisikku dalam hati.
Tring, pesan berbalas.
"Mas jangan rindu, karena rindu itu berat. Cukup aku yang memeluk bayanganmu dalam sepi dan doa, karena bagiku merindu tak harus bersama."
Dalam keremangan cahaya bulan, Aku mengeja kata demi kata.
Isrinaaaaa..... manis kata-katamu membuat ku diabetes karena semakin rindu.