"Ngomong-ngomong, kenapa kita cium tangan Pak Wili?"
Soalnya, kan, biasanya tidak sampai cium tangan. Hanya mengangguk sopan atau menyapa saja tanda ramah. Lena baru kepikiran sekarang, selepas dia berhasil menangani debar jantungnya yang mendadak tidak normal habis disemangati oleh Pak Wili.
"Gak tau, tuh. Aku, sih, ngikut aja. Fio yang ngawalin, Len," sahut Hilda.
"Gue juga ngikut," seloroh Zeedan.
Fio kontan tertawa. "Ya, moduslah. Apa lagi? Haha!"
Semprul dasar.
Untungnya sudah berlalu.
Tak terasa, bahkan sudah tiba hari esok di mana Lena harus kembali menemui Pak Wili.
Lena menata rambutnya dengan dibuat agak menggelombang area bawah, lalu menggambar alis sebisa-bisa, kemudian dia sisir alisnya. Kalau cuma make up standar, sih, Lena sanggup. Memakai maskara dan eyeliner. Sedangkan, kulit wajahnya telah didempul dengan cushion terlebih dahulu tadi, ada powder dan blush on juga, pokoknya yang terakhir lipstik.
Nah, sudah.
Lena sudah cantik.
Dia tersenyum menatap cermin. Namun, seketika itu Lena tersentak sadari satu hal.
NGAPAIN DANDAN, SIS?!
Dandan yang tidak biasa, ini agak berlebihan.
Biar apa, Marlena?
Lena nyaris memupus riasan wajahnya, tetapi kemudian batinnya membantah ejekan itu. Ya, biar kelihatan cantik. Of course! Lena harus bersolek.
Namun, cantik untuk dilihat siapa?
Pak Wili?
Aduh, plis, ya. Lena dandan supaya cantik untuk dinikmati dirinya sendiri, kok. Tolong jangan ada lagi yang mengaitkan dandanannya sekarang karena biar terlihat cantik di mata Pak Wili, meski yang mengatainya begitu adalah sisi lain dari dirinya sendiri.
Lena perang batin.
"Len, motornya Abang pake--widih! Siapa, nih?" Bang Gilang membuka pintu kamar Lena tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
Spontan Lena menoleh protes.
Bang Gilang mendekat. Menatap pangling wajah sang adik.
"Tumben auranya girly." Yang demikian itu, biasanya sedang naksir laki-laki. Gilang menatap Lena dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi sambil senyum. "Mau nge-date, ya?"
Damn.
Lena berdiri. "Nge-date dari Hongkong! Pacar aja nggak punya. Udah, ah, orang mau ngampus juga. Dan lagi, pake motor sendiri sana, motor aku mau dipake!" Sambil buru-buru berlalu, menutupi rasa malu.
Lena ambil tote bag berisi lembar rumusan masalah, setelahnya benar-benar melenggang meninggalkan Bang Gilang.
"Buset ... semerbak amat, Len!"
Ini lagi satu. Bang Nandar yang Lena lewati berkomentar.
Auk, ah, gelap!
Lagi pula, kenapa di hari menjelang asar begini kedua abangnya yang itu ada di rumah, sih? Apa mereka shift malam? Atau bisa jadi izin pulang lebih awal dari kerjaan. Bodoh amat, sih!
Lena pun berangkat setelah dia memakai sarung tangan, helm, dan masker.
Tiba di kampus pas sekali azan asar, Lena mau ketemu Pak Wili dulu, toh pasti cuma sebentar, dan habis itu pulang. Salatnya di rumah saja.
Genap enam puluh menit menunggu, Lena melihat kemunculan notifikasi pesan masuk atas mama Bapak Wiliam.
[Len, maaf saya tidak bisa ke kampus. Kamu kirimkan saja rumusan masalahnya di chat, difoto. Nanti saya periksa.]
Rasanya Lena ingin berkata kasar.
Aku udah nunggu sejam di kampus, lho, Pak ...| (delete).
Harusnya Bapak ngabarin aku dari awal ...| (delete).
[Baik, Pak.]
Namun, itulah yang akhirnya Lena kirimkan sebagai balasan. Lanjut memfoto rumusan masalahnya untuk di-share kepada Pak Wili.
Saat hendak dikirim, bertepatan dengan munculnya notifikasi pesan baru di layar atas, tak sengaja Lena klik--yang seharusnya tadi mengklik nama kontak Pak Wili. Alhasil, dia baca sebab telanjur dibuka.
Dari Hilda.
Sebuah foto yang isinya membuat Lena tersenyum sebelah bibir. Rules of Dosen.
Ah, sudahlah. Segera dia masuki room chat-nya dengan Pak Wili, kirim foto, lalu pulang. Pengin cepat-cepat sampai di rumah kalau begini.
***
[Rules of Dosen:
Pasal 1 >> Dosen selalu benar.
Pasal 2 >> Mahasiswa selalu salah.
Pasal 3 >> Jika dosen salah, kembali ke pasal 1.]
Wiliam: [Niat skripsian, tidak?]
Yang dia slide kiriman foto dari Marlena, bahkan langsung Wili balas. Namun, ceklis satu bocahnya. Wiliam kontan mendengkus.
Sore itu.
Dia sedang ada kelas mengaji, pak ustaznya memajukan jadwal. Semula habis magrib sampai menjelang isya, kini malah jadi habis asar, tetapi diminta salat berjemaah. Ya, mau bagaimana lagi? Terpaksa janjinya dengan Lena, dia batalkan. Malah lupa pula kalau harus memberi kabar.
Pak ustaz amat mendadak, sedangkan Wili baru selesai mengajar, dia langsung pulang karena pasti sudah ditunggu. Azan di jalan malah. Alhasil, tidak sempat ikut asar berjemaah.
Beginilah rutinitas Wiliam yang lain di samping menjelma sebagai dosen plus pebisnis, dia merupakan murid pak ustaz di area perumahannya.
Maklum, mualaf.
Sudah hampir lima tahun, tetapi karena Wili banyak kesibukan, belajar ngajinya jadi suka bolong-bolong. Baru sekarang-sekarang ini dia rutinkan dan dijadikan prioritas. Tepatnya, setelah bercerai dengan istri pada pernikahan kedua. Wiliam fokus memperbaiki diri.
Belum terlambat, bukan?
Saat masa awal hijrah, fokus Wili bukan ke sini. Dia lebih kepada mengaji diri, istilahnya. Dan sambil mengenali agama Islam secara teori. Melekatkan dengan hatinya dulu agar lebih akrab. Barulah beranjak ke tahap belajar salat, hafalan doa-doanya bagi Wiliam tidak mudah. Dia perlu waktu yang cukup panjang untuk itu.
Sedikit demi sedikit, sekarang baru soal mengaji Al-Qur'an. Pelipis Wili sampai berkeringat, juga telapak tangan.
"Shadaqallahul adzim."
Akhirnya, selesai sudah.
Tepat pukul lima sore.
Wiliam cek lagi ponsel dan masih belum ada balasan dari Marlena.
Adik Genta itu ...!
"Halo, Wil. Kenapa?"
"Adikmu ada?"
"Ada banyak. Yang mana?"
Wili tergerak untuk menghubungi Genta.
"Maksud saya, Marlena. Dia ceklis satu."
Tanpa tahu di seberang telepon sana, Genta mulai overthinking.
"Kalau ada, bisa tolong beri tahu untuk segera buka pesan dari saya, Gen? Penting."
Kepentingan macam apa antara Wiliam dan Marlena? Kira-kira begitu isi otak Genta di sana. Sama sekali tak terpikir persoalan skripsi karena itu kasus 'langka' menurutnya. Lebih masuk akal kalau--oh, tidak! Jangan bilang mereka ....
"Udah sejauh mana kalian?"
Agaknya, kening Wili mengernyit mendengar itu. Sejauh mana kalian apanya? Pengerjaan skripsi Lena?
"Belum jauh, bahkan bisa dikata kami baru memulai."
Isi kepala Genta: Baru memulai sama dengan baru jadian, gitu?
Itu, sih, sudah sangat jauh!
"Tolong, ya, Gen. Sampaikan. Saya--"
"Harus banget Lena, Wil?"
Lho?
"Harus." Kan, memang Lena orangnya, mahasiswa yang sedang dia bimbing, juga yang ada kasus dengannya saat ini. Kok, Genta aneh betul responsnya? Wili sampai menatap layar ponsel, memastikan benar Genta sang kawan yang dia hubungi. "Sudah, ya? Saya tutup."
Demikian, di kediaman Marlena. Genta keluar kamar, lalu menghampiri adik bungsunya yang sedang asyik baca n****+ di sofa ruang tengah sambil tengkurap.
Buku fiksi itu Genta ambil dan Lena auto mendongak.
"Abang!"
"Di kampus kamu nggak ada bujangan ganteng, mapan, dan menjanjikan apa, Len?"
What?
Lena sampai henti meraih-raih novelnya di tangan Bang Genta.
"Nggak harus yang udah mapan, deh. Minimal yang menarik perhatian kamu aja gitu, apa gak ada?"
"Apa, sih?"
Ah, Genta berdecak sebal. Kesulitan mengatakan soal Wiliam. Dia pun kembalikan buku fiksi adiknya, membuat Lena semakin terheran-heran.
"Buka WA!" tukas Bang Genta kemudian sambil melenggang, setelah mengganggu Lena sampai kebingungan.
Sangat-sangat tidak jelas itu human.
***
Oh my God!
Lena melotot setibanya di kamar dan meraih ponsel yang sedang dia charger. Semula wifi-nya gangguan, makanya Lena memilih sibuk baca n****+. Eh, keasyikan.
Lena: [Astagfirullah.]
Lena: [Maaf, Pak. Aku salah kirim foto.]
Lena: [Itu bukan rumusan masalahnya, Pak. Maaf. Aku kirim ulang, ya?]
Dengan emotikon sungkem dan mata berkaca-kaca. Lena kirimkan foto yang benar. Bisa-bisanya dia salah kirim data.
Rumusan Masalah Lena:
1. Bagaimana pengaruh penulisan unsur dewasa 21+ dalam n****+ digital terhadap pembaca dari segi psikologis dan sosial?
2. Apa saja kode etik literasi yang relevan untuk penulisan unsur dewasa dalam n****+ digital, dan sejauh mana n****+-n****+ digital saat ini mematuhi kode etik tersebut?
3. Bagaimana tantangan dan solusi dalam menerapkan kode etik literasi pada n****+ digital yang mengandung unsur dewasa 21+?
4. Bagaimana respons dan tanggapan masyarakat, terutama pembaca muda, terhadap konten dewasa 21+ dalam n****+ digital dari sudut pandang kode etik literasi?
Lena: [Ada 4 yang aku ajuin, ya, Pak. Tapi maunya tiga aja yang diangkat. Menurut Bapak, mana yang tidak perlu?]
Pak Wili: [Nomor 4.]
Langsung dibalas!
Lena: [Baik, Pak.]
Lena: [Tapi ada rumusan yang pake kata tanya 'apa', itu boleh, Pak? Mengingat saran Bapak kemarin, kan, baiknya pakai 'bagaimana'. Terus ini juga ada bahas soal pengaruh.]
Pak Wili: [Boleh, yang penting topiknya tidak mencerminkan rumusan masalah untuk metode kuantitatif.]
Pak Wili: [Saya suruh pakai 'bagaimana' supaya arahnya ke metode kual, barangkali topik kamunya kuan. Nah, soal 'pengaruh' juga disandingkan dengan 'bagaimana' ini jadi lebih kualitatif.]
Pak Wili: [Sudah bagus. Bisa lanjut bab 1.]
Lena: [Baik. Alhamdulillah. Terima kasih, Pak.]
Pak Wili: [Kenapa tadi ceklis satu?]
Wait.
Apa ini wajar?
Isi chat Pak Wili yang barusan itu.
Lena: [Wifi di rumah gangguan, Pak.]
Dan cuma dibaca setelahnya.
Lena: [Bapak kenapa batalin janji ketemu?]
Wajar atau tidak ... biarlah Lena nikmati ketidakwajaran ini.
Pak Wili: [Saya ada urusan.]
Lena: [Boleh tau urusan apa?]
Pak Wili: [Tidak.]
Bibir Lena mencebik.
Pak Wili: [Kenapa memang?]
Dan Lena mesem-mesem, tak sadar dia sudah rebahan, guling kiri dan kanan.
Lena: [Aku nunggu sejam. Tega banget dibatalin. Udah gitu telat kasih kabar.]
Pak Wili: [Maaf.]
Oke, serius nanya. Kalaupun tidak wajar antara dosen dan mahasiswa bertukar pesan seperti ini, tetapi wajar kalau 'temannya kakak' dan 'adik dari sang teman' itu chatting-an demikian, kan?
Lena sedang menormalisasikannya. Begitu pun dengan Wiliam di seberang sana. Mereka sama-sama menatap ponsel, dalam ruang chat antara Wiliam dengan Marlena.
Pak Wili: [Lain kali saya ngabarin lebih awal.]
Lena tersenyum-senyum membaca balasan pesan itu. Berdebar-debar.
Lena: [Iya, Pak. Terima kasih.]
Ah, tidak, tidak!
Tidak mau berhenti di situ obrolannya.
Yang cuma dibalas emot jempol oleh Pak Wili.
Lena: [Bapak besok ke kampus?]
Arghshsjswh^@$%!!!
Tak keruan rasanya. Bingung untuk menjabarkan bagaimana perasaan Lena. Kok, kok, jadi begini, ya? Jempolnya berasa gerak sendiri mengikuti perintah hati. Entah di mana keberadaan logika.
Lena gigit telinga boneka.
Deg-deg-ser menunggu balasan Pak Wili, bahkan ketika centang abunya berganti biru dengan cepat, kaki Lena melonjak-lonjak.
Normalkah, Pemirsa?
Pak Wili: [Ya.]
Ah, singkat banget.
Rasanya Lena patah hati. Eh, lho ... sudah sampai hati?
Pak Wili: [Kenapa?]
No!
Lena semriwing lagi, alias semringah. Mengulum bibirnya. Aduh ... balas apa, nih?
Pak Wili: [Mau ketemu?]
E-eh?!