BAB 1. JAMINAN SYURGA BAGI WANITA YANG RELA DI POLIGAMI

1020 Words
. Aisyah mengembuskan nafasnya sedikit kasar. Kegusaran terlihat jelas dari raut wajahnya. Matanya nanar membaca beberapa komentar yang terus berdatangan di artikel yang baru saja diunggah di blog yang sudah dua tahun ini dikelolanya. 'Jaminan Syurga bagi wanita yang rela dipoligami' Begitu ulasan yang ditulisnya. Dia menulis juga penuh dengan pertimbangan. Ternyata banyak netizen yang kurang bisa menerima tulisannya. Beberapa nyinyiran yang membuatnya menjadi mulas tiba-tiba. @Ummilatifah, Maaf ukhti, saya nggak ridho dunia akhirat kalau suami saya berpoligami. Masuk syurga masih banyak cara lain ukhti. @Santicantik, Hei Mbak aku doa-in situ dipoligami. Biar tahu rasanya dibohongi suami. Heran hari gini kok menghalalkan poligami. Situ waras?!!! Dan masih banyak cacian dan makian serta do’a yang jahat tertuju padanya. Seketika bayangan perselingkuhan sang suami mulai membayangi pikiran Aisyah. Yah, do'a wanita tadi sudah sejak setahun ini dialaminya. Betapa perih dan nelangsa hatinya. Aisyah kembali menghela nafas panjang menghalau rasa sesak yang mulai memenuhi rongga dadanya. Aisyah sudah tamat akan luka yang ditorehkan suaminya. Dia membuat artikel itu sebenarnya demi membesarkan dan menghibur hatinya. Luka sudah tergores dalam, kini yang bisa dilakukan Aisyah hanyalah berbesar hati. Ikhlas, suatu kata yang sangat ringan diucapkan, namun sangat berat dalam prakteknya. Kenapa tidak bercerai saja? Apa karena Aisyah terlalu bergantung kepada Mas Ahmad, suaminya? Tentu bukan. Aisyah bukanlah wanita yang manja, dia wanita yang mandiri dan bisa menghasilkan uang. Bahkan sejak suaminya menikah lagi Aisyah enggan memakai uang suaminya. Dia menyimpan-nya dengan sangat baik. Seringkali Aisyah bertanya, apa kekurangannya saat sang suami memilih membagi hati? Lelaki itu tak mampu menjawab. Hanya mampu berdiam diri dan berlalu meninggalkan Aisyah dalam kebingungan dan luka mendalam. Ting. Bunyi notifikasi dari ponselnya berbunyi, Mas Ahmad. Ternyata pesan dari sang suami. Aisyah mengernyit bingung. Tumben sekali suaminya mengirim pesan. Karena sejak suaminya menikah lagi, hanya uang bulanannya saja yang diterimanya. Dek, hapus artikel kamu!!! Singkat, padat, tanpa salam apalagi bertanya kabar. Kenapa? Balasan dari Aisyah tak kalah singkat. Hatinya nyeri tak terperi, sang suami yang katanya seorang muslim sejati namun tak bisa menerapkan agama dalam kehidupannya. Bukannya dalam Islam, syarat yang harus dilakukan suami yang berani melakukan poligami ya harus bisa berlaku adil kepada semua istrinya. Baik adil dalam hal pembagian waktu dan kasih sayang serta adil dalam hal materi. Namun sejak setahun yang lalu, suaminya hanya berkirim pesan singkat dan juga uang bulanan yang entah kenapa semakin hari semakin banyak disunat. Adil dari mananya? Wanita yang Aisyah tak kenal dan tak berniat ingin mengenalnya itu seolah ingin menguasai Mas Ahmad seorang diri, seakan dia tak merasa bersalah sudah mencuri suami orang. Ting. Kau ingin mengatakan pada dunia kalau suamimu berpoligami? Kau membuatku malu! Hapus! Ya Robb. Apalagi ini? batin Aisyah masyghul. Dasar suami bahlul! Kalau malu kenapa pake acara kawin lagi. Kan yang bikin malu itu dirinya sendiri yang tidak mampu menahan godaan iblis wanita yang menyamar menjadi wanita sexy yang berlabelkan mahasiswinya sendiri, gerutu Aisyah dalam hati. Oh ya, kalian belum tahu kan pekerjaan suami Aisyah? Suami Aisyah itu di luaran sana begitu dihormati orang karena predikatnya sebagai pendidik. Dia itu dosen di salah satu Universitas negri di Jakarta. Ahmad mengajar Ekonomi Mikro di jurusan Managemen Bisnis. Kapandaian suaminya itulah yang membuat seorang Aisyah dulu jatuh hati dan langsung menerima pinangan seorang Ahmad yang dulunya hanya bermodalkan dengkul saat melamar Aisyah. Tiga tahun pernikahan mereka, tak ada riak berarti dalam bahtera rumah tangga mereka. Aisyah adalah istri sholehah. Dia bahkan merawat ibu mertua yang ikut tinggal dengan mereka karena sang ibu mertua menderita stroke sejak kepergian almarhum ayah mertuanya setahun setelah pernikahan mereka. Aisyah tak pernah keberatan atau mengeluh. Dia jadikan pengabdian kepada suami dan mertuanya sebagai bagian dari ibadahnya untuk mengharap ridho-Nya. Setidaknya dia berharap pengabdiannya membuat hubungan antara suami istri menjadi lebih hangat dan harmonis. Sebisa mungkin dia menjaga lidahnya supaya tidak menyakiti ibu mertua dan juga suaminya. Aisyah bersyukur memiliki suami yang paham tentang agama. Harapannya dengan menerapkan agama dalam kehidupan berumah tangga maka rumah tangganya penuh dengan berkah dari Allah. Namun badai itu mulai menerpa biduk rumah tangga mereka setelah sang suami mendapat tawaran mengajar di Jakarta sebagai dosen. Ahmad sebelumnya juga pendidik, dia mengajar di SMAN di Bandung. Dan tawaran menjadi dosen begitu menggiurkannya. Dia meyakinkan Aisyah bahwa semuanya akan baik-baik saja dan segera memboyongnya ke Jakarta kalau sudah mendapat tempat tinggal yang layak. Aisyah mempercayai ucapan suaminya itu. Tak pernah terpikir dalam benaknya akan mengalami hal ini. Setia tak lagi bisa dilakukan suaminya yang sudah mendua. Janji tinggal janji, rumah yang dia beli akhirnya ditempati Ahmad dengan istri mudanya. Ingin rasanya Aisyah berteriak memaki dan menagih janji palsu sang suami. Tapi harga diri menahannya melakukan itu. Biarlah Tuhan yang nanti akan menagih janji yang pernah terucap. Karena janji adalah hutang. Kalau kalian tidak bisa menepati janji lebih baik tak perlu membuat janji. Nasi sudah jadi bubur, begitu kira-kira perandaian dalam takdir hidupnya. Aisyah tak bisa menghapus satu takdir yang kini harus dilaluinya. Apa karena dia belum mampu memberikan keturunan pada suaminya hingga sang suami berpindah hati? Ting. Bunyi notifikasi menyadarkannya dari masa lalu kelam yang kalau bisa Aisyah harap hanyalah sebuah mimpi. Dengan malas dibukanya pesan yang diyakininya dari sang suami bahlul. Nesya marah sekali. Cepat hapus! Kalau tidak maka surat cerai akan segera datang padamu. Aisyah tersenyum miris. Cerai??? Kenapa tidak? Lakukan saja! batinnya tak perduli. Segera dimatikannya kembali ponsel tanpa membalas pesan suaminya. Aisyah memejamkan matanya. Setetes air mata membasahi pipinya. "Astaghfirullahal’adzim," desah Aisyah lirih menghalau bara yang sedetik lalu membakar akal sehatnya. Sebenarnya dirinya sudah teramat lelah. Akan tetapi harga dirinya melarangnya untuk menyerah. Menyerah artinya dia kalah. Namun, jika lelaki yang berlabel suaminya itu yang ingin mengakhiri semuanya dia bisa apa? Sebagai wanita bukannya dia hanya bisa pasrah bukan? "Ya Allah, kuatkanlah hamba jika memang ini yang harus hamba jalani. Ikhlaskanlah Hamba Ya Robb!" ucap Aisyah sambil membasuh mukanya. "Jika jodoh antara kami sudah habis, tolong beri Hamba kekuatan dalam menjalaninya. Sesungguhnya Engkau yang lebih tahu apa yang terbaik buat Hamba. Hamba pasrahkan semuanya hanya kepada-Mu ya Allah. Engkaulah tempat terbaik untuk bersandar," do'a Aisyah penuh kekhusyu'an. Klontaaang. Aisyah terpaku, matanya melebar saat menyadari apa yang kini ada di depannya. Hatinya kembali meragu untuk berpisah. Bukan karena dirinya. >>Bersambung>>
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD