Bab 6. Sebelum Datangnya orang ketiga

1165 Words
"Dek. kamu nggak papa kan tinggal di rumah mas. Ada ibu juga, aku nggak bisa ninggalin ibu gitu aja. Hanya dia yang aku punya," ucap Ahmad kala pertama kali memboyong Aisyah setelah pernikahan sederhana mereka. "Nggak papa mas. aku juga rela kok ngerawat ibu kamu. Bukankah ibu kamu juga ibu aku juga, mas," sahut Aisyah tulus. "Alhamdulillah kalau begitu," ungkap Ahmad penuh rasa syukur. Tak salah dia memilih Aisyah menjadi pendamping hidupnya. Perjuangannya untuk bisa bersama dengan Aisyah sungguh berbuah manis. Kini dialah pemenang hati seorang Aisyah. Kembang di kampus mereka. "Dek, doakan kali ini lamaran mas diterima ya," ucap Ahmad saat bersiap pergi mencati kerja di salah satu yayasan di dekat rumahnya. Kemarin dia mendapat info kalau ada guru yang pensiun dari sana. Tentu saja tak mudah. Karena saingannya pasti banyak. "Pasti mas. Jangan lupa minta doa ibu juga. Doa ibu itu mustajabah lo mas," ucap Aisyah mengingatkan sang suami yang hampir saja keluar rumah tanpa meminta restu ibunya sendiri. "Astaghfirullah. untung kamu ingatkan ya dek," ucap Ahmad gegas menuju kamar ibunya. Ibunya terkena strok sejak satu tahun lalu. Hanya bisa bergumam kalau menginginkan sesuatu. "Aku pergi dulu ya dek," ucap Ahmad begitu keluat dari kamar ibunya. Aisyah mengulurkan tangannya untuk mencium tangan sang suami. Ahmad mengecup kening istrinya dengan lembut. "Semoga nanti mas pulang dengan membawa berita bagus," ucap Aisyah mendoakan yang terbaik bagi suaminya. "Aamiin dek," ucap Ahmad sembari menaiki sepeda motor lamanya. Dengan membaca basmalah dia berlalu menuju yayasan. Aisyah menatap kepergian suaminya dengan senyum di wajahnya yang cantik. Dia menyempatkan melihat kondisi ibu mertuanya sebelum membersihkan rumah. *** "Alhamdulillah dek, mas diterima ngajar di sana. Tapi masih uji coba sih." "Alhamdulillah mas, semoga nanti mas jadi guru tetap di sana," ucap Aisyah penuh syukur. "Aamiin." "Mas, Ais dapat tawaran ngajar di Al iklas jadi guru bahasa arab dan ekonomi. mas kasih ijin nggak?" tanya Aisyah lembut. Ahmad menatap istrinya lembut. "Mas nggak masalah kalau sekiranya kamu bisa ngatur waktu," sahut Ahmad lembut. Dia tak mau Aisyah salah paham. "Ais janji akan tetap memprioritaskan mas dan ibu," sahut Aisyah penuh tekad. Dia niatkan mengajar sebagai jalan dia bisa berbagi ilmu. "Ya sudah mas ijinkan. Semoga niat baik kamu berbuah pahala. Mas yakin niat kamu mengajar bukan semata mencari rupiah, kamu pasti hanya ingin berbagi ilmu," sahut Ahmad akhirnya. "Iya mas benar sekali," ujar Aisyah senang karena suaminya sangat mengerti dirinya. "Aaaaaiiiissshhh," gumam ibu mertua Aisyaj dari arah kamar memanggil nama Aisyah. Gegas Aisyah masuk ke dalam kamar ibu mertuanya. Mencari tau apa yang diinginkan ibu mertuanya itu. "Ibu butuh apa? Minum?" tanya Aisyah penuh perhatian. Wanita paruh baya itu mengangguk mengiyakan. Gegas, Aisyah mengambil gelas berisi air putih yang memang trsedia di meja dekat tempat tidur ibu mertuanya. Dengan lembut Aisyah membantu ibu mertuanya untuk minum tanpa memburu-buru. Ahmad yang melihat interaksi itu ikut terharu akan perlakuan istrinya kepada ibunya. Sejak menikah semua kebutuhan ibu kandungnya Aisyah yang urus. Ahmad merasa bersyukur karena Aisyah tak pernah mengeluh. **** Tak terasa usia pernikahan mereka berdua genap tiga tahun tapi Aisyah tak kunjung hamil. Hal itu sedikit membuat sikap Ahmad berubah. Sindiran dari teman sejawatnya membuat Ahmad ikut terpengaruh. "Apa Aisyah mandul ya?" pikir Ahmad saat termangu di meja kerjanya. Semua guru sudah pulang karena tadi ada rapat wali murid. Dia dipercaya sebagai wali kelas hingga terpaksa pulang terlambat. Rasa malas untuk pulang kian lama menderanya. Tak dia sadari ada Pak Rahim kepala sekola memasuki ruang guru. "Lo pak Ahmad kok belum pulang?" tanya Pak Rahim memulai menyapa Ahmad. "Eh iya pak. Habis selesai rapat barusan." "Emm pak, saya kemarin ada tawaran dari Universitas Negri. Mereka mencari dosen Ekonomi Mikro. Bapak kayaknya memenuhi syarat untuk itu. Tapi bapak harus ke kota Jakarta kalau bersedia," ucap pak Rahim membuat wajah kuyu Ahmad berubah menjadi ceria. "Bapak beneran? Saya mau pak," sahut Ahmad tanpa meminta ijin dari istrinya dahulu. Dia kini tak begitu memikirkan apa pendapat Aisyah. Hubungan mereka memang kian renggang. Hanya karena perkara belum adanya buah hati di tengah keluarga mereka. Ahmad tidak menyadari perkara anak mutlak adalah hak prerogatif Allah sebagai pencipta alam semesta. Bukan maunya Aisyah atau dirinya. "Kalau begitu bapak siapkan dulu semua persyaratan dan berkas-berkasnya," sahut Pak Rahim tersenyum. "Baik pak. Bapak infokan ke saya, apa saja yang harus saya siapkan," sahut Ahmad antusias. Ahmad begitu bersemangat. Sudah lama dia ingin menjadi dosen. Makanya sebelum menikah dia melanjutkan kuliah S2 hingga usianya siap menikah. Hingga di sanalah dia bertemu dengan Aisyah dan melamar wanita yang sudah membuatnya jatuh cinta itu. Kini harapannya sedikit lagi akan terwujud. Dia sungguh sangat bahagia. Lupa sudah dia akan beban pikiran yang sejak beberapa hari lalu memenuhi isi kepalanya. "Saya tanyakan dulu ke pihak universitas ya pak. Nanti akan saya infokan ke bapak. Yang penting bapak bersedia dulu," ucap Pak Rahim bijak. "Terima kasih banyak pak. Tapi saya masih boleh ngajar di sini kan pak sebelum ada jawaban dari sana?" tanya Ahmad ingin tau. Karena dia juga tidak mau menganggur saat menunggu lamarannya diterima. "Tentu pak. Nanti begitu pihak sana menyetujui baru saya akan buka loker," sahut pak Rahim membuat Ahmad lega luar biasa. "Sekali lagi, terima kasih banyak pak," sahut Ahmad riang. *** "Dek. Abi dapat tawaran jadi dosen di kota Jakarta. Belum pasti sih. Abi cuma ngasih tau kamu," ucap Ahmad dingin. Aisyah menatap Ahmad yang masih asik dengan makanan yang dia hidangkan malam ini. Panggilan mas kini berubah menjadi Abi karena Ahmad pikir setelah menikah dia akan segera menjadi seorang ayah hingga dia membiasakan Aisyah untuk memanggilnya dengan panggilan Abi. Sayang harapan tinggal harapan. 3 tahun dia menunggu kabar gembira ini. Tapi tak jua terwujud. Bukannya tidak menyadari perubahan Ahmad, tapi Aisyah masih berpikiran positif bahwa suaminya mungkin sedang banyak pikiran. Selama ini memang Ahmad tak pernah mengeluh tentang kondisi rumah mereka yang sepi dari tangisan anak di sana. Hingga Aisyah tak pernah berpikir kalau berubahnya suaminya karena belum adanya buah hati. Aisyah berpikir kalau suaminya hanya sedang banyak pikiran. "Kota Jakarta? Jauh itu Abi? Emang abi sanggup pulang pergi ke sana?" tanya Aisyah lembut. Apapun sikap Ahmad, Aisyah selalu berusaha bertutur kata lembut. "Ya nggak mungkin juga dek kalau Abi pulang pergi dari sini ke kota Jakarta. Bisa kurus kering Abi nanti kalau kayak gitu," sahut Ahmad sinis. Dia tak mengerti kenapa hal simpel begini saja istrinya tidak paham. "Makanya aku nanya abi. Karena aku pikir juga nggak mungkin kalau abi pulang pergi dari sini ke sana," sahut Aisyah berusaha menahan kesal. "Itu tau. kalau beneran abi diterima abi ngekos dulu dek," sahut Ahmad santai. Seakan ngekos di kota Jakarta bukanlah suatu masalah buat mereka. "Apa? Ngekos? Kenapa nggak ngontrak rumah sekalian Bi. Nanti aku dan ibu tinggal dimana kalau abi cuma ngekos?" tanya Aisyah tak paham.dengan maunya sang suami. "Ngapain kalian ikut juga. Yang ada nanti biaya hidup kita makin besar. Kamu juga kan ngajar. Rumah ini juga sayang kalau ditinggal gitu aja," sahut Ahmad ketus. Aisyah banyak-banyak beristighfar dalam hati demi mendengar ucapan suaminya yang entah kenapa kian ketus padanya. Padahal Aisyah merasa tak melakukan kesalahan apapun. >>BERSAMBUNG>>
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD