Kesepakatan Dalam Pernikahan

2689 Words
“Apa maksudnya Mama ingin menjodohkan aku dengan wanita pilihan Mama?” tanya Ardo, memastikan sekali lagi maksud perkataan ibunya yang sangat mengejutkan itu. Lidya mengangguk disertai senyuman yang terulas di bibirnya. “Ya, ini permintaan terakhir Mama sama kamu. Mama ingin melihat kamu menikah sebelum Mama pergi menyusul papa.” Ardo memutar bola mata. “Yang benar saja, Ma. Mama ingin menjodohkan aku? Memangnya masih ada perjodohan di zaman yang sudah modern ini? Ayolah, Ma, jangan membuatku tertawa.” Ardo pun tertawa, benar-benar mencemooh perkataan ibunya. Namun, Lidya tetap memasang raut serius karena dia memang tak main-main dengan ucapannya. “Mama serius, Do. Kamu jangan tertawa. Mama tidak sedang bercanda apalagi main-main!” Ardo berhenti tertawa ketika mendengar sang ibu sedikit membentaknya. Dia lalu berjongkok di depan ibunya itu, memegang kedua tangan wanita yang melahirkannya tersebut. “Maaf kalau aku menertawakan Mama, ini karena yang Mama katakan itu tidak masuk akal. Bagaimana bisa Mama ingin menjodohkan aku dengan wanita pilihan Mama? Tidak bisa, Ma. Aku tidak mau.” “Mama terpaksa melakukan ini karena kamu yang tidak kunjung menikah.” Ardo pun diam seribu bahasa. “Mama sudah lama menunggu kamu akan mengenalkan wanita pilihanmu, tapi sampai sekarang tidak ada satu pun wanita yang kamu kenalkan sama mama akan menjadi istrimu. Usiamu sudah cocok untuk menikah, Do. Untuk apa ditunda lagi?” Ardo menggelengkan kepala dengan tegas. “Sepertinya kalau aku tidak salah mengingat, aku sudah pernah memberitahu Mama kalau aku tidak mau menikah dengan wanita mana pun.” Lidya meringis mendengarnya karena memang benar Ardo pernah berkata demikian. “Kenapa kamu tidak mau menikah, Do? Padahal Tuhan menciptakan manusia secara berpasang-pasangan, itu karena manusia harus menikah dan memiliki keturunan.” “Karena aku tidak percaya dengan pernikahan,” jawab Ardo dan detik itu juga Lidya mengatupkan mulutnya. “Untuk apa menikah? Jika hanya untuk memiliki keturunan, aku bisa mendapatkannya dari wanita mana pun tanpa harus terikat dengan pernikahan.” Lidya kembali meringis mendengar pemikiran putranya tersebut. “Pemikiran kamu salah, Do. Tentu saja kamu harus menikah. Mana mungkin kamu bisa memiliki keturunan dengan wanita sembarangan. Lalu bagaimana dengan status anak itu? Kamu tidak kasihan nanti anakmu dihina sebagai anak haram karena terlahir di luar nikah?” Ardo mendengus. “Mungkin di zaman Mama dulu seperti itu, tapi sekarang berbeda, Ma. Apalagi di luar negeri, banyak pasangan pria dan wanita yang memiliki anak tanpa menikah. Semua baik-baik saja, mereka bisa hidup bahagia walau tanpa ada ikatan pernikahan.” “Ardo, jangan samakan kehidupan di luar negeri dengan di Indonesia. Di Indonesia memiliki anak tanpa menikah itu masih tabu dan dianggap sebagai aib. Kamu jangan melakukan tindakan bodoh seperti itu, Do. Jangan mencoreng nama baik keluarga kita.” Ardo mengusap wajahnya kali ini, benar-benar muak dengan pembahasan mereka. Jika bisa, dia ingin pergi sekarang juga. Namun, dia tak bisa melakukan itu terutama karena dia tahu kondisi kesehatan sang ibu sedang memburuk. “Mama tetap meminta kamu menikah, Do.” Ardo mengembuskan napas pelan. “Aku tidak mau, Ma. Tolong jangan paksa aku menikahi wanita yang tidak aku kenal.” “Kalau begitu kamu menikah dengan wanita pilihanmu, Mama tidak akan meminta kamu menikah dengan wanita pilihan Mama asalkan kamu mengenalkan sekarang juga wanita yang kamu pilih untuk menjadi istrimu itu.” Ardo berdecak, mulai kehilangan kesabaran. “Ma, aku tidak memiliki wanita mana pun yang bisa aku kenalkan pada Mama. Intinya aku tidak ingin menikah, Ma. Dengan wanita mana pun, aku tidak akan pernah menikah seumur hidupku.” Ardo bangkit berdiri, berniat untuk pergi agar pembicaraan mereka berakhir sampai di sini, Ardo tertegun ketika merasakan salah satu tangannya digenggam dari belakang. Tentu saja pelakunya adalah sang ibu yang melarangnya untuk pergi. Ardo pun menoleh dan mendapati kedua mata ibunya sedang berkaca-kaca, nyaris menumpahkan air mata. “Ma, jangan menangis,” pinta Ardo, dia kembali berjongkok di hadapan ibu yang sangat disayanginya itu. “Bagaimana mungkin Mama tidak menangis kalau jawaban kamu seperti itu, Do. Mama sedih sekali jika kamu tidak menikah. Mama ingin sebelum menyusul papa, Mama sudah melihat kamu menikah, bahkan memberikan cucu untuk Mama.” Kini air mata Lidya yang menggenang di pelupuk mata, benar-benar berjatuhan. Dengan cepat Ardo menyeka air mata itu dengan jari-jari tangannya yang besar. “Ma, jangan berpikir begitu. Usia mama masih panjang kok, aku sangat yakin.” Lidya mendengus. “Kamu bicara begitu seperti kamu ini Tuhan yang tahu kapan manusia ciptaan-Nya akan mati. Kita tidak ada yang tahu, Do, mungkin saja dalam waktu dekat ini Mama sudah tidak ada lagi di dunia ini.” Detik itu juga Ardo memeluk sang ibu, dia tak sanggup jika harus membayangkan tak ada lagi ibunya di dunia ini. “Ma, aku mohon jangan bicara begitu. Cukup papa yang pergi secara mendadak, Mama jangan.” Lidya pun membalas pelukan Ardo. “Mama juga tidak ingin pergi secepat itu, Do. Tapi melihat hasil test lab di rumah sakit tadi, sepertinya usia Mama memang sudah tidak lama lagi. Do, kamu sayang sama Mama, kan?” Ardo tak menjawab, dia memejamkan mata karena tahu arah pembicaraan sang ibu setelah ini. “Do, kok diam? Kamu sayang Mama, kan?” Ardo mengusap wajahnya dengan gerakan kasar. “Tentu saja aku sayang Mama.” Akhirnya jawaban itu yang diberikannya. “Kalau begitu jangan membuat Mama sedih. Biarkan Mama mendapat ketenangan di sisa hidup Mama yang tinggal sebentar ini. Tolong kabulkan permintaan terakhir Mama. Mama ingin kamu menikah, Do. Hanya ini permintaan Mama sama kamu.” Lama Ardo terdiam, menimbang-nimbang keputusan apa yang harus diambilnya. Namun, karena tangisan ibu terdengar semakin memilukan, tentu saja Ardo tak sampai hati. Dia tak tega setiap kali ibunya menangis seperti ini. “Hah, baiklah, Ma. Aku akan mencoba mengabulkan permintaan Mama ini.” Detik itu juga Lidya terlihat sumringah, dia melepaskan pelukannya dengan sang putra dan menatap lekat wajah Ardo. “Benar, Do? Serius kamu mau menikah dengan wanita pilihan Mama?” “Untuk masalah ini aku tidak bisa memberikan keputusan sekarang. Aku ingin bertemu dulu dengan wanita pilihan Mama itu.” “Kamu ingin bertemu dengan wanita itu dulu?” Ardo mengangguk. “Ya, karena aku tidak mau menikah dengan wanita yang wajahnya saja aku tidak tahu. Mama tolong beritahu dia dan atur waktu untuk kami bertemu, setelah itu baru aku akan memutuskan bersedia atau tidak menikah dengan wanita pilihan Mama itu.” Hanya mendengar ucapan Ardo ini, Lidya sudah senang bukan main. Dia pun mengangguk-anggukan kepala penuh semangat. “Baik, Do. Mama akan mengatur waktu untuk pertemuan kalian.” Dan Ardo hanya bisa pasrah. Sekarang benaknya penuh dengan tanda tanya … wanita seperti apa yang dipilihkan sang ibu untuknya? *** Tatapan Silla begitu lekat tertuju pada bangunan di depannya. Itu sebuah restoran yang cukup tersohor di Jakarta karena kelezatan makanan yang dijual di sana. Juga jangan lupakan harga semua menu makanan yang fantastis sehingga tidak sembarangan orang bisa memesan makanan di sana. Bukan tanpa alasan Silla datang ke restoran tersebut di sore hari seperti ini, melainkan karena atas permintaan Lidya yang meneleponnya semalam. Silla tak pernah bisa menolak permintaan wanita baik hati itu sehingga di sinilah dirinya berada saat ini, siap bertemu dengan pria yang mungkin akan menjadi calon suaminya. Silla menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan sebelum kedua kakinya akhirnya melangkah memasuki restoran elit nan mewah tersebut. “Silakan, Nona. Apa Anda sudah memesan meja?” tanya seorang pelayan pria begitu Silla menginjakan kaki di dalam restoran. Silla mengangguk. “Ya, saya sudah ada janji dengan seseorang di sini.” “Bisa tolong Anda sebutkan siapa nama orang yang berjanji bertemu dengan Anda? Saya akan mengantar Anda ke mejanya.” Silla menggelengkan kepala, menolak niat baik sang pelayan. “Tidak perlu. Saya akan mencarinya sendiri.” Setelah mengulas senyum ramah pada sang pelayan dan mengucapkan terima kasih, Silla pun melanjutkan langkahnya yang tertunda. Silla menggulirkan bola mata ke sekeliling, mencari seseorang yang harus dia temui. Namun, orang itu tak kunjung terlihat padahal tak banyak pengunjung yang sedang berada di restoran tersebut. “Duh, di mana Kak Ardo? Harusnya aku menerima tawaran pelayan tadi untuk mengantarku ke meja yang sudah dipesan Kak Ardo. Sekarang aku harus bagaimana? Aku tidak melihat Kak Ardo di sini, atau jangan-jangan dia belum datang.” Silla terus bergumam sendirian, merutuki kebodohannya karena menolak tawaran pelayan tadi untuk mengantarkannya ke meja Ardo. Namun, bukan tanpa alasan Silla tadi menolak tawaran itu. Wanita itu terlalu percaya diri masih mengingat wajah Ardo dengan jelas meski sudah lama mereka tak bertemu. Wajah pria yang jadi cinta pertamanya di masa lalu itu masih melekat kuat dalam ingatannya. Dia sangat yakin akan dengan mudah menemukan pria itu. Sayangnya, kenyataan tak sebanding dengan pemikirannya karena ternyata begitu sulit menemukan meja yang dipesan Ardo. “Huh, aku kembali saja ke pelayan tadi dan meminta dia mengantarku ke meja yang dipesan Kak Ardo.” Silla sudah mengambil keputusan seperti itu. Dia berbalik badan siap untuk menghampiri si pelayan tadi yang sedang berdiri di dekat pintu, bertugas menyambut pengunjung yang datang. Akan tetapi … “Aduh.” Silla meringis kesakitan ketika tanpa sengaja begitu berbalik badan, dia bertabrakan dengan seseorang yang muncul di belakangnya. “Ah, maafkan aku. Aku tidak sengaja,” ucap Silla, merasa bersalah. “Ya, aku juga minta maaf.” Sedetik kemudian, Silla merasa jantungnya berdetak dengan sangat cepat karena sangat yakin suara yang didengarnya barusan sangat familiar untuknya. Dia sangat mengenal suara itu. Silla yang menunduk itu pun bergegas mengangkat kepala dan terbelalak sempurna tatkala menemukan orang yang sejak tadi dia cari, kini berdiri di hadapannya. Silla ingat Ardo memang memiliki paras yang tampan, mempesona dan berkharisma bahkan ketika dia masih remaja. Namun, kini ketampanan pria itu semakin berlipat, Silla gugup bukan main hanya dengan menatap wajah Ardo yang juga sedang menatapnya. “Permisi.” Ardo yang mengatakannya karena berbeda dengan Silla yang langsung mengenali Ardo walau waktu sudah berlalu sangat lama sejak pertemuan terakhir mereka dulu, Ardo tampaknya tak mengenali Silla sedikit pun. “Kak Ardo.” Ardo yang berniat melangkah pergi itu seketika mengurungkan niat begitu mendengar Silla yang memanggilnya. “Ah, kamu pasti wanita yang ingin dikenalkan Mama padaku. Benar?” Silla mengangguk-anggukan kepala. “Benar, Kak. Aku …” “Ayo ikut denganku. Kita harus bicara masalah penting.” Tanpa menunggu Silla menyelesaikan ucapannya, atau tanpa menunggu respons Silla atas ajakannya, Ardo melangkah cepat meninggalkan wanita itu menuju meja yang sudah dia pesan. Silla mengikuti dalam diam, tak merasa tersinggung dengan sikap Ardo yang bisa dikatakan tak sopan itu. Kini mereka duduk saling berhadapan begitu tiba di meja yang sudah dipesan Ardo. Silla tampak tersipu malu, sejak tadi dia hanya menundukan kepala, tak berani menatap wajah Ardo. Sebenarnya dia terlalu gugup karena tengah berhadapan dengan cinta pertamanya yang hingga kini masih belum bisa dia lupakan. “Apa kamu sudah datang sejak tadi?” tanya Silla, memberanikan diri memulai pembicaraan. “Aku minta maaf datang terlambat, tadi ada meeting di kantor.” “Aku tidak ingin berbasa-basi, aku akan bertanya langsung pada intinya.” Silla yang sejak tadi menunduk pun kini mengangkat kepala, keningnya mengernyit mendengar suara Ardo yang tegas itu. “Aku ingin bertanya kenapa kamu bersedia menikah denganku padahal kita tidak saling mengenal?” Silla melongo, mendengar pertanyaan Ardo ini, dia semakin yakin pria itu memang tidak mengingatnya. “Tidak saling mengenal? Itu tidak benar, Kak. Kita …” “Aku dengar ibuku dan orang tuamu adalah teman dekat karena itu ibu ingin menjodohkan kita berdua. Benar?” Lagi dan lagi Ardo menyela sehingga Silla kembali tak melanjutkan ucapannya yang masih menggantung. “Ya, benar. Orang tua kita teman baik.” “Huh, menyebalkan. Hanya karena hubungan pertemanan, ibu seenaknya memaksa kita untuk menikah. Jika kamu ingin menolak, katakan saja. Jangan memaksakan diri karena aku yakin kamu juga tidak mau menikah dengan pria yang tidak kamu kenal, bukan?” Silla terdiam, ucapan Ardo ini menyiratkan bahwa dia tak menyetujui perjodohan mereka ini. “Katakan saja terus terang kalau kamu ingin menolak perjodohan ini.” “Aku tidak akan menolak,” sahut Silla yang sukses membuat Ardo mengatupkan mulutnya rapat. “Aku bersedia menikah denganmu.” Ardo mendengus. “Huh, walau kamu harus menikah dengan pria yang tidak kamu kenal?” Silla mengangguk “Dengar, ya. Jangan sembarangan mengambil keputusan. Sebelum kamu memutuskan untuk menikah denganku, ada beberapa hal yang harus aku beritahukan padamu. Ah, lebih tepatnya aku ingin membuat kesepakatan denganmu dulu.” “Kesepakatan?” Satu alis Silla terangkat naik. “Ya,” sahut Ardo tanpa ragu. “Jujur aku tidak ingin menikah. Aku juga tidak percaya pada pernikahan, tapi karena ini permintaan ibuku, aku tidak bisa menolak. Hanya saja aku akan memberitahumu dari sekarang akan bagaimana kehidupanmu nanti setelah menjadi istriku.” Silla masih tak memahami perkataan Ardo, dia membutuhkan penjelasan. “Memangnya apa yang akan terjadi jika kita menikah nanti?” Ardo mengangkat jari telunjuknya membentuk angka satu. “Pertama, aku tidak suka diatur atau ada orang yang ikut campur dengan kehidupan pribadiku. Aku juga tidak tertarik ikut campur atau melibatkan diri dengan urusan orang lain. Dengan kata lain, jika kita menikah nanti kita tetap akan menjalani hidup masing-masing. Aku akan memberikanmu kebebasan dan kamu pun harus begitu. Jangan melarangku melakukan apa pun yang aku suka. Jangan banyak bertanya karena aku tidak suka orang yang cerewet. Intinya kita hidup bebas dan masing-masing sama seperti sebelum menikah.” Silla meneguk ludah mendengar penuturan Ardo tersebut, tapi dia tak mengeluarkan suaranya barang sepatah kata pun. “Kadua,” tambah Ardo sembari mengangkat jari tengah membentuk angka dua. “Jangan pernah menuntut hakmu sebagai istri padaku karena aku tidak akan pernah menyentuhmu. Kehidupan rumah tangga kita tidak akan sama dengan pasangan lain. Tidak ada hubungan intim atau apa pun itu yang selalu dilakukan pasangan suami istri. Tentu saja jangan mengharapkan cinta juga dariku karena aku tidak akan pernah memberikannya padamu.” Kali ini Silla menahan napas, tapi mulutnya tetap terkatup rapat. “Meski begitu kamu jangan khawatir karena aku tidak akan menyakitimu.” “Tidak akan menyakiti apa ini artinya kamu tidak akan berselingkuh di belakangku?” tanya Silla, meminta penjelasan lebih untuk perkataan Ardo yang masih terasa ambigu di telinga wanita itu. Ardo menggelengkan kepala. “Maksudnya aku tidak akan menyakitimu karena aku tidak akan melakukan kekerasan secara fisik padamu. Kamu jangan khawatir karena pantang bagiku memukul seorang wanita.” “Apa ini artinya kamu akan berselingkuh di belakangku?” Ardo tak langsung menjawab, dia tertegun sejenak sebelum mengangkat kedua bahu. “Sudah kukatakan walau kita sudah menikah, kita akan tetap hidup bebas dan jangan ikut campur urusan masing-masing. Aku harap kamu bisa mengartikan sendiri maksud ucapanku ini.” Silla mengepalkan tangan di bawah meja. Jawaban Ardo ini menjelaskan segalanya. Pernikahannya dengan pria itu tak akan berjalan lancar seperti yang dia idamkan. “Jadi, apa jawabanmu? Apa kamu tetap bersedia menikah denganku setelah mendengar kesepakatan yang aku tawarkan padamu ini?” Silla masih diam seribu bahasa, kepalanya tertunduk dalam. “Jika kamu keberatan dan ingin menolak, katakan saja selagi kita masih belum menikah dan perjodohan bodoh ini masih bisa dibatalkan.” “Aku bersedia.” Detik itu juga Ardo melongo. “Apa kamu bilang barusan?” “Aku bersedia menikah denganmu meski harus menjalani hidup seperti yang kamu katakan barusan.” Ardo mendengus. “Kamu yakin? Coba pikirkan baik-baik sekali lagi, jangan terlalu cepat mengambil keputusan.” “Aku sudah yakin dengan keputusanku ini. Aku akan tetap menikah denganmu.” Ardo pun memejamkan mata sesaat sebelum dia bangkit berdiri dari duduknya. “Aku sudah mendengar jawabanmu. Baiklah jika itu yang kamu inginkan.” Ardo berniat melangkah pergi, tapi urung dia lakukan karena sepertinya dia baru mengingat sesuatu yang nyaris lupa dia sampaikan pada Silla. “Oh, ya. Aku sudah memesan beberapa menu makanan tadi. Kamu makan, ya. Kalau bisa habiskan agar aku tidak sia-sia sudah mengeluarkan uang banyak.” “Mau ke mana kamu? Tidak makan dulu?” Ardo menggeleng. “Bukan untuk makan aku datang ke sini, tapi aku hanya ingin mencaritahu orang seperti apa wanita yang akan menjadi istriku. Dan ternyata kamu orang yang terlalu nekat.” Ardo benar-benar melangkah pergi, saat melewati Silla yang masih duduk di kursinya, pria itu berbisik pelan, “Aku harap kelak kamu tidak akan menyesali keputusanmu ini.” Setelah itu, Ardo pun melangkah cepat meninggalkan Silla yang tertegun di kursinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD