Penantian Yang Berakhir Sia-sia

1360 Words
Silla pulang ke apartemen dengan berbagai pemikiran yang berkecamuk di dalam kepalanya. Semua yang diceritakan Anetta benar-benar berpengaruh padanya, membuat Silla berubah pikiran dan memutuskan untuk mengabulkan permintaan adik iparnya itu. Silla mengurungkan niatnya untuk menggugat cerai Ardo dan akan berusaha membuat pria itu jatuh cinta padanya. Namun, walau Anetta mengatakan akan dengan senang hati membantunya meluluhkan hati Ardo, Silla masih belum menemukan cara untuk membuat pria cinta pertama sekaligus suaminya itu bisa jatuh cinta padanya. “Nyonya sudah pulang?” Itu Bi Imah yang bertanya begitu Silla masuk ke dalam apartemen. “Iya, Bi,” sahut Silla seraya berjalan dengan lunglai menuju sofa lalu dia mendudukan diri di sana. “Anda kelihatan tidak sehat, Nyonya?” Ditanya seperti itu oleh sang asisten rumah tangga, Silla menggelengkan kepala. “Tidak kok, Bi. Saya baik-baik saja. Hanya saja ada banyak hal yang sedang saya pikirkan.” “Anda sedang ada masalah, ya? Jangan terlalu dipikirkan, Nyonya. Setiap masalah nanti juga pasti ada solusi dan jalan keluarnya. Anda hanya perlu menenangkan diri dan berpikir jernih.” Silla tersenyum tipis, merasa bosan karena seharian ini dia terus mendengar nasihat orang lain seolah raut wajahnya menyiratkan kesedihan sehingga semua orang bisa menebak dirinya sedang tertimpa masalah. “Bukan Bibi ingin ikut campur urusan Nyonya, tapi jika ada yang ingin Anda ceritakan karena membutuhkan tempat berbagi cerita, Bibi siap mendengarkannya, Nyonya.” Silla menggelengkan kepala disertai senyuman ramah, walau bosan semua orang terus menasihatinya, tapi tak dia pungkiri hatinya terharu karena banyak orang yang peduli padanya. “Terima kasih, Bi. Tapi saya tidak sedang memiliki masalah apa pun.” Hingga akhirnya Silla menjawab demikian karena tak ingin melibatkan wanita paruh baya itu dalam masalahnya dengan Ardo. “Hm, baiklah kalau begitu, Nyonya. Oh, ya. Anda tidak pulang bersama Tuan Ardo?” Silla menggelengkan kepala. “Tidak, Bi. Hari ini saya bahkan belum bertemu dengan Kak Ardo.” “Oh, begitu. Tadi Tuan Ardo menelepon, minta dibuatkan makanan kesukaannya untuk makan malam nanti, saya pikir kalian sedang merayakan sesuatu karena tumben sekali Tuan Ardo meminta demikian.” Silla tertegun, tak berkata-kata untuk menanggapi perkataan Bi Imah. Sebenarnya sebuah ide baru saja terlintas di pikirannya begitu mendengar ucapan sang asisten rumah tangga. “Ya sudah kalau begitu, saya permisi dulu. Mau ke dapur untuk memasak.” Bi Imah pun melangkah pergi hendak menuju dapur. Namun … “Tunggu sebentar, Bi.” Suara Silla membuatnya kembali menghentikan langkah lalu berbalik badan menghadap Silla yang ternyata sudah bangkit berdiri dari duduknya dan sedang berjalan menghampirinya. “Kenapa Nyonya?” “Bibi bilang akan membuat makanan kesukaan Kak Ardo. Memangnya apa makanan kesukaannya, Bi?” “Lasagna ayam,” sahut Bi Imah. “Oh, begitu. Jadi itu makanan kesukaan Kak Ardo.” Bi Imah mengangguk disertai senyum. “Benar, Nyonya. Sejak kecil Tuan Ardo suka sekali dengan lasagna. Dulu sewaktu Tuan Ardo masih kecil, mendiang tuan besar selalu membawakan lasagna setiap kali bepergian. Mungkin Tuan Ardo sedang mengingat mendiang ayahnya makanya tiba-tiba meminta dibuatkan lasagna atau bisa jadi dia sedang senang karena itu ingin memakan lasagna sebagai perayaan.” “Begitu ya, Bi?” “Ya, itu kebiasaan Tuan Ardo sejak dulu, Nyonya.” Silla kini tak meragukan lagi bahwa Bi Imah memang sangat dekat dengan Ardo dan sudah mengenal dengan baik pria itu. “Sudah ya, Nyonya. Saya permisi dulu.” “Tolong ajari saya cara membuat lasagna, Bi. Biar saya yang membuatkan lasagna untuk Kak Ardo.” Bi Imah melebarkan mata, terlihat terkejut mendengar ucapan Silla yang tiba-tiba itu. “Serius Nyonya Silla ingin belajar membuat lasagna?” Silla mengangguk cepat karena dia memang serius ingin belajar, berharap dengan cara ini dia bisa membuat Ardo terkesan. “Iya, Bi. Tentu saja saya serius. Tolong ajari saya.” “Memangnya Anda tidak lelah? Anda kan baru pulang, Nyonya?” Kali ini Silla menggelengkan kepalanya. “Tidak masalah, Bi. Saya ganti pakaian sebentar setelah itu saya akan menyusul Bi Imah ke dapur.” “Baik Nyonya.” Setelah itu Silla pun melangkah dengan penuh semangat ke kamarnya, seperti yang dikatakannya, dia akan berganti pakaian. Tak membutuhkan waktu yang lama bagi Silla untuk mengganti pakaiannya menjadi pakaian santai ala rumahan. Kini dia pergi ke dapur dan mendapati Bi Imah sudah menyiapkan semua perlengkapan dan bahan untuk membuat lasagna. “Anda sudah siap, Nyonya?” “Ya,” sahut Silla semangat. “Ayo kita mulai memasak, Bi.” Setelah itu, Silla pun mulai belajar membuat lasagna yang menjadi makanan favorit Ardo. Dengan seksama dia mendengarkan setiap arahan dari Bi Imah karena dia serius membuatkan lasagna untuk Ardo dengan tangannya sendiri. Silla yang tak pernah memasak itu bahkan tak keberatan meskipun tangannya terluka dalam proses memasak itu. Butuh perjuangan keras hingga akhirnya sebuah lasagna ayam yang terlihat menggiurkan berhasil dibuat oleh wanita itu. “Hah, akhirnya selesai,” ucap Silla sambil menyeka keringat yang bercucuran di pelipisnya. “Menurut Bibi, apa ini sukses? Aku berhasil kan membuat lasagna kesukaan Kak Ardo?” Bi Imah mengangguk pelan. “Ya, dari tampilannya ini tidak buruk. Tapi lasagna ini baru dikatakan berhasil kalau rasanya lezat.” “Berarti aku harus mencicipinya ya?” Bi Imah terkekeh pelan. “Tentu saja Anda harus mencicipinya, jangan sampai rasanya tidak enak ketika dimakan Tuan Ardo.” Jantung Silla berdetak cepat ketika mencicipi lasagna buatannya itu, tapi sedetik kemudian dia memekik girang. “Rasanya enak, Bi. Ini luar biasa. Aku yakin Kak Ardo pasti suka,” ujarnya seraya mengangkat kedua ibu jari dengan ceria. Bi Imah ikut tersenyum merasa lega karena sang majikan berhasil mencerna dengan baik semua arahan yang dia berikan. “Anda memang hebat. Dalam sekali percobaan langsung berhasil. Kelak Anda pasti akan menjadi istri yang baik karena pandai memasak. Tuan Ardo pasti semakin mencintai Anda dan betah tinggal bersama Anda.” Mendengar ucapan Bi Imah, Silla terdiam, merasa tertampar keras karena kenyataannya dia rela belajar memasak seperti ini untuk membuat Ardo jatuh cinta padanya, pria itu sampai detik ini belum memiliki perasaan apa pun padanya. “Karena lasagnanya sudah jadi, saya pamit pulang dulu ya, Nyonya.” “Iya, Bi. Terima kasih sudah mengajari saya.” “Semoga nanti malam berjalan lancar ya, Nyonya. Tuan Ardo akan menyukai lasagna itu.” Silla pun berharap demikian dalam hatinya, rasanya sudah tidak sabar menunggu Ardo pulang ke apartemen dan mencicipi lasagna itu. Dia ingin tahu pendapat sang suami tentang rasanya. Silla sudah menyiapkan acara makan malam bersamanya dengan Ardo semaksimal mungkin. Meja makan sudah dia hias sedemikian rupa, bahkan agar suasananya terkesan romantis, Silla sudah menyiapkan beberapa lilin untuk diletakan di atas meja. Tidak hanya itu, dia juga sudah menyiapkan lagu romantis yang rencananya akan dia putar saat dia dan Ardo menyantap makanan. Berharap suasana romantis yang akan tercipta itu bisa membuat sesuatu yang bagus terjadi di antara mereka berdua. Namun, sayangnya meski berjam-jam waktu telah berlalu, sosok Ardo tak kunjung menampakan batang hidung. Silla rasanya sudah hilang kesabarannya, apalagi waktu sudah menunjukan tengah malam tapi Ardo tak kunjung pulang ke apartemen. “Kak Ardo ke mana sih? Aku telepon saja.” Silla sudah memutuskan demikian. Dia mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas dalam kamarnya. Lalu dia pun mencoba menghubungi Ardo. Sayangnya berapa kali pun dia menelepon Ardo, pria itu tak juga mengangkat teleponnya. “Ya ampun, Kak Ardo ke mana sih? Ini kan sudah tengah malam. Jangan bilang dia sedang di kelab malam lagi.” Silla terus menggerutu kesal, membayangkan mungkin Ardo pergi lagi ke kelab dan sedang minum-minum di sana. Ah, jangan lupa mungkin pria itu juga sedang bersenang-senang dengan wanita panggilan yang dia bayar untuk melayaninya malam ini. Kendati pemikiran buruk tentang Ardo terus terngiang di pikirannya, Silla masih tak menyerah. Ponselnya masih menempel di depan telinga karena dia masih mencoba menelepon Ardo, berharap kali ini pria itu akan mengangkatnya. Dan tiba-tiba … “Hallo.” Harapan Silla terkabul, panggilan teleponnya akhirnya diangkat. Namun, lagi-lagi bukan suara Ardo yang terdengar mengalun menyapanya di seberang sana, melainkan suara seorang wanita. Sepertinya apa yang dipikirkan Silla memang benar adanya. Ardo tengah bersenang-senang dengan wanita lain di luar sana, tanpa dia ketahui istrinya di rumah sudah susah payah membuatkan makanan kesukaannya dan menunggunya selama berjam-jam. Penantian Silla berakhir sia-sia karena Ardo sepertinya tak akan pulang ke apartemen malam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD