TWO

1011 Words
Kahfi memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu Resto sang mamah. Gedung lantai satu itu begitu besar, dengan lapangan parkir mumpuni yang dapat memuat puluhan mobil berbody besar. Senyum Kahfi mengembang waktu melihat Zahra memuaskan lip balm kesukaan gadis itu. Memiringkan tubuh, Kahfi mencuri kecupan di sana. "Ih! Apa sih cium-cium!" kesal, Zahra. Ia paling tak suka kebiasaan Kahfi yang mencuri ciuman dibibirnya. "Buat suami gue tauk!" omelnya membuat Kahfi terkekeh lalu mengacak rambut Zahra. "Suami lo udah dapet bekasan gue.. Kan gue udah sering rasain strawbery dibibir lo.." ledek Kahfi mengingat ia memang sering menikmati rasa buah dari bibir ranum Zahra. Anak itu memang selalu saja mencuri kecupan, tak perduli sahabatnya akan uring-uringan. Ia selalu beranggapan, bahwa semua yang ia lakukan adalah bentuk rasa sayangnya pada Zahra. "Gue kepang yah Fi tuh bibir ntar. Nggak boleh tauk! Bibir itu cuman boleh dicium sama suami doang.." Kahfi tak menggubris ceramahan Zahra. Ia menekan tombol lock otomatis disisi kanan pintu mobil, lalu keluar dan membukakan Zahra. "Ayo keluar Tuan Putri.. Nyonya sudah menunggu di dalam." kelakar Kahfi yang langsung saja mendapat pukulan di dadanya oleh Zahra. Kahfi dan Zahra berjalan beriringan. Ke duanya saling menautkan jemari. Tentu hal itu menjadi pemandangan paling biasa saja bagi pegawai restoran Damayanti. Mereka justru akan sangat tertarik mengulik berita jika keduanya berjalan berjauhan. Siapa sangka, di dalam Damayanti telah menunggu di salah satu meja. Wanita yang masih awet muda di usianya yang menginjak hampir setengah abad itu justru berdecak. "Mamah kirain nggak bawa Zahra, loh." Ucapan Damayanti menyentak Zahra. Baru kali ini, seumur hidupnya mengenal Kahfi dan keluarga lelaki itu, baru kali ini Zahra seolah tak diinginkan. "Mana pernah tanpa Zahra. Kahfi mana bisa Mah." Jawab Kahfi sambil meremas jemari Zahra yang ia tahu sempat menegang. Damayanti hanya menggelengkan kepala. Sebagai ibu, ia bukan tak suka keberadaan Zahra. Pernah suatu hari ia bermimpi Zahra akan menjadi menantunya. Kedua anak itu sangat sulit dipisahkan. Bahkan kerap kali terdengar aduan Kahfi begitu murka hanya karena ada lelaki lain mendekati anak tetangganya itu. Contohnya kemarin. Keluarga mereka harus menggelontorkan banyak daya untuk menyuap Dalton Marangi. Miris! Begitu dewi dihati Damayanti menilai sang putra. Kahfi seolah kecanduan Zahra. Sekian banyak waktu dalam satu hari, anaknya habiskan bersama Zahra. Tak ada satu detik pun terpisah meski itu hanya untuk tidur sendiri. Jika begini, Damayanti takut Kahfi akan gila jika Zahra menemukan tambatan hatinya. Di mata Damayanti, ia hanya melihat gelora cinta dalam diri Kahfi. Tidak pada Zahra. "Mamah bercanda.. Mumpung ada Zahra. Dia juga bisa ikutan nilai calon kamu Fi. Bentar, anaknya lagi di toilet." tak pernah ada waktu untuk berbicara. Kahfi selalu bersama Zahra. Kedua anak itu bahkan memutuskan hidup di apartemen. Hampir tak ada celah untuk berdiskusi. "Calon apa?! Mamah nggak ada ngomong sebelumnya sama Fi?!" kaget Kahfi. Ia pikir, mamahnya hanya mengundang makan. "Fi, kamu mana pernah ada waktu ke rumah. Mamah sama papah mau jodohin kamu sama anak temen papah." Rahang di wajah Kahfi mengerang. Entah berapa kali mamahnya berniat membuat perjodohan sepihak, Kahfi jelas tak suka. Ia merasa masih terlalu muda untuk mengerti apa itu pernikahan. Meski mereka selalu berkata, jika keduanya hanya menginginkan penjajakan terlebih dulu. "Aku sama Zahra mau les.. Seminggu lagi ujian. Mamah aja sana makan sama dia. Aku nggak berminat." "Fi..." Kahfi tak menghiraukan panggilan lirih Damayanti. Ia menyeret Zahra keluar dari restoran sang mamah. Membukakan pintu Zahra, lalu mendorong gadis yang hanya diam itu duduk ke atas jok. Brak!!! "Fi..." panggil Zahra yang akhirnya mau membuka bibir. "Diem!" peringat Kahfi. Ia sedang tak ingin mendengarkan apapun. Termasuk suara Zahra yang pasti akan membela sang mamah. "Fi tante..." "Diem Ra! Gue bilang lo diem!" bentak Kahfi membuat Zahra terperanjat ditempatnya. Zahra menggelengkan kepala. Ia tak akan diam. Zahra tahu maksud mamah Kahfi baik. Dia hanya tak ingin anaknya selalu sendiri mengingat Kahfi adalah anak satu-satunya mereka. "Fi, tante cuman pengen yang terbaik buat lo.." "Yang terbaik buat gue itu lo! Nggak ada wanita lain yang bener! Cuman lo! Lo Zahra! Lo!" teriak Kahfi sambil memukul stir mobil. "Sampe kapan?! Keluarga lo butuh penerus. Gue.. Gue..." gagap Zahra tak bisa meneruskan kata-katanya. Zahra terdiam beberapa saat sebelum jemarinya menarik tangan Kahfi. "Dengerin gue, Fi.. Suatu hari lo emang harus nikah.. Lo harus punya penerus buat nerusin bisnis orang tua.." "Gue nggak butuh nikah.. Selagi ada lo semuanya aman. Gue nggak butuh istri, gue butuh lo!" tegas Kahfi. Tiga tahun hidup satu atap. Membuka mata hanya melihat Zahra dan begitupun ketika ia akan terlelap. Kahfi tak pernah membayangkan ada wanita lain yang akan menggantikan Zahra dihidupnya. Ia tak mau menggantikan wajah Zahra dengan perempuan manapun meski itu pilihan orang tuanya. "Lo butuh anak dodol!" kelakar Zahra mencoba mencairkan suasana. "Yaudah tinggal bikin!" sahut Kahfi enteng. Ia melepaskan jemari Zahra. "Nikah kan makanya biar bisa bikin." "Ngapain! Bikin sama lo beres. Ayo balik, bikin anak!" Zahra langsung melotot tajam. Tangannya tak tinggal diam. Ia gunakan untuk menarik rambut Kahfi. "Gila lo ya! Kita nggak muhrim, g****k! Asal bikin anak aja!" maki Zahra kesal dengan bibir enteng Kahfi. "Gue udah putusin! Gue nggak mau punya anak kalau itu bukan dari lo!" Semakin horor saja kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Kahfi. "Nyebut lo, Tong! Nyebut!" Zahra saja bahkan sampai mengelus dadanya sendiri. Tak habis pikir dengan ucapan Kahfi yang kelewat nggak mutu. Zahra kira, Kahfi hanya bercanda saking emosinya pada sang mamah yang menjodohkan anak itu. Siapa sangka, ucapan terakhir Kahfi mampu membuat Zahra mengambil jarak bahkan sampai loncat ke jok belakang mobil. "Balik Apart! Kita nyicil anak dulu biar keluarga gue ada penerus." Sepanjang perjalanan, Zahra tak henti-hentinya merapal doa. Pasalnya, Kahfi kalau sudah membuat keputusan akan sulit diganggu gugat. Ini bukan masalah sepele. Masalah anak! Anak! Mereka saja masih bau kencur! Ciuman bibir saja Zahra uring-uringan, malah diajak skidipapap tanpa logo halal dari MUI. "Fi..." Zahra menoel punggung Kahfi dari belakang. "Apa ibu dari anak-anaknya Kahfi." "Gue... Gue mens Fi.. Nggak bisa nyicil." dusta Zahra yang malah membuat Kahfi tertawa terbahak-bahak. Sumpah, Zahra memang selalu bisa membuat cacing-cacing diperut Kahfi berdendang. "Yaudah! Nanti gue cek di kamar mandi. Beneran dapet apa enggak." "Kahfiiiiiiii!" jerit Zahra frustasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD