4 - ADELL - Failed Mission

1116 Words
Rambut yang basah di balik wig, membuatku sangat tidak nyaman. Apalagi, keringat terus mengalir sebagai konsekuensi setelah berlarian tadi. Kaki juga sedikit gatal. Belum lagi, gaun ini membatasi gerakku. Walau modelnya simple, tapi tetap saja kainnya yang menjuntai, tersangkut di sana sini saat berjalan. Duuhh, tersiksa rasanya! Rombongan kelas menggambarku tadi kumpul di mana ya? Sudah sampai di pelataran atas pun, mereka belum juga kelihatan. Sepertinya, aku harus menggunakan jalan utama, karena mengenakan pakaian seperti ini, tidak memungkinkan untuk lewat jalan setapak. Tidak lama berjalan, mataku menangkap deretan kereta kuda yang sedang terparkir di kejauhan. Ah, akhirnya mereka bisa kutemukan. Bergegas aku mendekati satu kereta kuda dengan simbol ukiran milik keluarga Leverton. "Miss Watson? Apa yang terjadi padamu?" tanya Paman Kusir, yang tiba-tiba muncul di belakangku. "Eh, anu. Aku ingin melihat daerah sana ... dan ... aku ... tersesat." "Ya, Tuhan! Bagaimana itu bisa terjadi? Mr. Avindale bisa membunuhku kalau sampai tahu. Ayo, ke mari!" ajaknya menuju kereta kuda yang tadi kutumpangi bersama Tatiana. "Benahi dulu penampilanmu di dalam. Baru kemudian, kau bisa muncul ke hadapan Mr. Avindale. Tolonglah, ini demi kebaikan kita." Paman Kusir membukakan pintu kereta untukku. "Baik, Paman. Terima kasih, banyak," ujarku sembari masuk. Setelah menutup kelambu kereta, aku mengeringkan badan dan menukar pakaian. Buru-buru melepas wig, kukeringkan rambut. Setelah itu baru melilitnya dengan handuk di atas kepala. Kuoleskan pelembab pada wajah dan body lotion. Lantas mengoleskan lipstik, sebagai sentuhan terakhir. Namun mendadak ingatanku melayang pada saat bibir pria tadi mendarat di sana. Aku tertegun sejenak dan menggeleng cepat-cepat untuk mengusir bayangan itu. Baru saja aku meletakkan peralatan make up dan mengemas kembali semua barang, mendadak pintu kereta diketuk. "Miss Watson, are you alright?" Suara Paman Kusir terdengar. "Iya, aku baik-baik saja masih perlu mengeringkan rambut," jawabku setengah berteriak. "Oh, baiklah. Para siswa sepertinya akan segera kembali, Miss Tatiana sudah terlihat berjalan kemari," jelas Paman Kusir. "Iya, biarkan dia masuk." Setelah mengatakan itu, aku kembali membuka lilitan handuk di rambut dan menggosoknya dengan cepat. Sekarang sudah setengah kering, tapi lumayanlah daripada tadi—cukup basah dan terasa gatal. Sesampainya di rumah nanti aku harus keramas ulang. Ketukan di pintu kereta cukup membuatku kaget. "Adel? Kata paman kamu di dalam?" teriak Tatiana. "Iya, sebentar!" Kubuka kunci pintu. Sedetik kemudian, si Tatiana merangsek masuk. "Tell me the whole stories, Miss Watson! Kenapa kau kembali? Bukanya kau bilang ingin melarikan diri?" cerocosnya menginterogasi. "Tenanglah Miss Leverton. Aku hanya sedikit tidak beruntung. Tempat pertama yang kunjungi, ternyata sudah jadi properti orang. Padahal aku sangat yakin, waktu kami ke sana, Mama bilang kalau tanah itu miliknya." Aku menghentikan gerakan mengeringkan rambut, lantas mengambil sisir. "Sepertinya hak milik tanah itu berpindah dengan cepat." Tatiana mengangkat bahu. "By the way, bagaimana kau bisa tahu jika hak milik tanah itu sudah berpindah? Apa kau bertemu seseorang?" "Yah, itulah, Dear. Orang itu sedikit mengintimidasi pula. Jenis-jenis Tuan Tanah yang arogan dan sok kuasa." Mendadak bayangan pria tadi kembali melintas. "Hemm, kelihatannya ada yang belum kau ceritakan padaku, Adel?" tanya Tatiana dengan nada menyelidik. "Satu kesialan tidak harus merusak harimu bukan?" tanyaku beretorika. "Sudahlah, tidak penting." Dua ketukan di jendela, terdengar tiba-tiba. Sebagai tanda jika kereta akan segera berangkat. "Kita mau kemana?" tanyaku, seraya membuka lilitan handuk di kepala. "Mr. Avindale dapat undangan jamuan makan siang dari temannya. Tempatnya tak jauh dari sini. Jadi kita semua akan dapat makan siang gratis," jelas Tatiana. "Bagus! Aku sudah lapar," timpalku. Setelah rambutku hampir kering, segera kusisir dan mengikatnya. Kemudian, kupasang kembali Wig rambut hitam. Tatiana cukup lihai melakukan hairdo, sehingga wig rambut hitamku tidak terlalu berantakan. "Nah, beres. Gadis hutan," kata Tatiana jenaka. "Thank you milady," balasku. "Wow, wow." Aku segera berpegangan. Mendadak kami berdua sedikit oleng, saat kereta berbelok. Spontan aku melihat keluar jendela. Rupanya kami sudah memasuki gerbang Manor. "Sepertinya kita sudah sampai," kata Tatiana. Empat kereta kuda di depan sudah terparkir di halaman yang sangat luas. Ada beberapa pohon besar, yang memiliki daun rimbun, sehingga terkesan asri dan teduh. Kereta kami adalah urutan ke lima yang sampai. Di belakang masih ada satu kereta lagi. Jadi total enam kereta, termasuk milik guru lukisku, Mr. Avindale. "Ayok, turun," kata Tatiana penuh antusias. Aku mengangguk mengiyakan, masih berusaha untuk mengingat. Benar saja, saat sudah berada di luar kereta, sepertinya aku yakin pernah tinggal di sini. Maksudku ini bukan seperti deja vu, tapi benar-benar ke sini secara fisik. "Nice place," celetuk Tatiana. Kami berdua berjalan ke arah teman-teman lain berkumpul. Sepuluh orang siswa dan satu orang guru lukis, terpesona oleh keindahan halaman depan Manor. "Oke, Ladies. Kita hadir di sini adalah untuk memenuhi undangan dari seorang sahabat. Beliau adalah pemilik tanah daerah sini , termasuk juga di dekat kita melukis tadi. Selain itu, dia juga suka melukis dan memiliki galery khusus di rumahnya. Mungkin jika beruntung, kita diperkenankan untuk melihat-lihat beberapa koleksinya," jelas Mr. Avindale. "Pasti Tuan Tanah itu sudah tua dan bungkuk," celetuk Tatiana, sedikit lirih. "Dan punya selera berpakaian yang aneh seperti Avindale," tambahku, membuat kami cekikikan. "Lady Watson, Lady Leverton, adakah sesuatu yang lucu?" tanya Mr. Avindale. "No, Sir!" jawab kami sembari menahan tawa. "Oke, jaga attitude kalian," ujarnya memperingatkan. "Baik, Mr. Avindale," jawab Tatiana seraya menekuk lutut memberi hormat. Ah, iya, aku buru-buru mengikuti gerakannya. Sungguh, Tatiana adalah Lady sejati. Saat kembali pada posisi tegak, seorang pria yang tidak asing tampak berjalan mendekat. Serta merta tubuhku membeku saat wajahnya jelas terlihat. Menyadari kedatangan pria tersebut dari belakang, Mr. Avindale segera berbalik. "Sir Lucas!" sambutnya. "Mr. Avindale," balas pria itu. Mereka bersalaman lantas berpelukan singkat. Khas seperti pertemuan teman lama. Aku beringsut ke belakang Tatiana, berusaha menyembunyikan diri. Gawat ini, gawat! "Gorgeous," puji Tatiana, sebelum menyadari aku sudah tidak berada di sampingnya, "kamu lihat dia, Adel?" "Iya, aku lihat," jawabku dari belakang. Tatiana berbalik, lantas memandangku dengan tatapan aneh,"Sedang apa kamu di belakangku?" "Nothing, mengagumi patung taman," jawabku asal, menunjuk dua patung bangau yang berada di tengah kolam. Pose leher mereka membentuk formasi love. "Dasar aneh! Ada pria tampan di depan, dan kau malah mengagumi patung taman?" Tatiana kembali berbalik. "Oke, Ladies. Perkenalkan sahabatku Sir Lucas Kingstone. Dia pemilik Manor yang indah ini," kata Mr. Avindale memperkenalkan sahabatnya. "Good afternoon, Mr. Kingston," jawab kami semua hampir bersamaan. "Selamat datang, Ladies. Sebuah kehormatan bagiku, menerima seorang pelukis kenamaan dan murid-muridnya, di sini. Semoga kalian menikmati jamuan yang sudah disiapkan. Mari, Mr. Avindale," kata Lucas. Pria yang mengenakan setelan formal itu bernama Lucas ternyata. Orang yang sama, yang membuatku tercebur di danau Secret Garden tadi pagi. Dia terlihat berbeda saat tubuhnya tertutup sempurna. Tidak liar dan terlalu mengintimidasi seperti saat hanya mengenakan jeans belel basah. Namun begitu aku harus tetap waspada. Semoga saja dia tidak mengenaliku. Masuk properti privat tanpa izin adalah sebuah pelanggaran yang cukup berat. Fiuh!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD