=LUCAS=
Sembari mengancingkan lengan kemeja, aku mematut diri di cermin. Kemeja yang kukenakan pagi ini memang tidak terlalu formal. Lagi pula, diskusi pagi ini bukan tentang bisnis seperti biasa. Hanya tentang berbagi peran dan saling menguntungkan.
Usai mengenakan jas, kuambil sisir untuk merapikan rambut. Aku sedikit terkejut menemukan beberapa helai yang telah memutih. Hmm, apakah ini artinya aku benar-benar telah menua?
Entahlah.
Tanpa membuang waktu lagi, segera aku keluar kamar menuju ruang makan. Acara minum teh sore bersama Miss Leverton kemarin benar-benar gagal. Bahkan dia pun tidak muncul saat makan malam. Akhirnya kuperintahkan Ines untuk mengirimkan makan malam ke kamarnya. Entah dia makan atau tidak, aku tidak tahu, karena aku langsung kamar usai makan malam.
Sebaiknya dia muncul saat sarapan pagi ini. Ines pun sudah kuwanti-wanti untuk memperlakukan Miss Leverton dengan baik, sehingga tidak ada alasan lagi baginya untuk menolak.
Masuk ke ruang makan, sudah terhidang berbagai makanan. Biasanya aku tidak terlalu ribet untuk sarapan, cukup telur mata sapi, roti bakar dan olesan madu serta secangkir kopi. Namun, tentu tidak elok jika hanya hidangan sederhana yang disuguhkan jika ada tamu. Paling tidak, setelah ini Miss Leverton bisa memesan sendiri sarapan sesuai keinginannya.
"Pagi, Tuan," sapa Richard yang selalu siap sedia menungguku.
"Pagi, Richard."
"Koran," ujarnya seraya mengulurkan koran padaku.
"Thank you," ujarku, lanjut menyesap kopi yang masih mengepulkan asap. Usai meletakkan cangkir itu kembali, aku membaca rubrik headline.
Hmm, rupanya kesepakatan damai antar negara di daerah Eropa timur telah tercapai. Kondisi dunia yang bergolak memang cukup mempengaruhi perekonomian, terutama di bidang perdagangan. Kabar terakhir, suplai rempah dari Asia sempat terhenti akibat blokade.
Jika keadaan terus membaik, kemungkinan besar hasil perkebunan dari daerah kami bisa merambah pasar global yang lebih luas. Setelah konflik yang berlarut-larut, kesepakatan damai itu seperti angin segar.
"Good morning, Sir?"
Sapaan itu mampu membuatku untuk menurunkan koran. Gaun hijau botol yang dikenakan Miss Leverton, membuatnya terlihat segar pagi ini.
"Ehem," dehamku, "selamat pagi, Miss. Silakan duduk."
"Thank you," ucapnya, lantas duduk setelah Ines menyeret kan kursi untuknya.
Kuletakkan koran di meja, begitu pelayan datang membawa sarapanku. Dua potong roti bakar dengan olesan madu serta dua butirtelur mata sapi yang diberi taburan daun parsley dan bawang putih.
"Silakan, Miss," ujarku padanya.
Gadis di sebelahku ini terlihat kebingungan, melihat menu sarapanku.
"Anda hanya makan itu?" tanyanya.
"Ya, tentu saja. Memang kenapa?"
"Lalu semua makan ini, pancake, salad ...."
"Sengaja pelayan kuperintahkan untuk memasak berbagai jenis agar Anda bisa memilih," jelasku.
"Oh, I see." Ia manggut-manggut.
Kuambil pisau dan garpu, lalu mulai mengeksekusi ini piring, sambil memperhatikan gadis muda itu mengambil beberapa makanan yang kemudian ditempatkan pada piringnya.
Jujur saja, aku tidak bisa menolak desakan untuk mencuri pandang ke arahnya. Dia itu ... hmm, kata apa ya yang cocok untuk menggambarkannya? Menarik, ah iya, dia itu menarik. Sikapnya cukup tenang, seolah sedang berada di rumahnya sendiri. Lalu, sedikit cuek juga, dengan tata Krama di meja makan yang cukup lumayan, dia tidak mengindahkan kehadiranku dan hanya fokus pada piringnya saja.
"Ehem!" Lagi-lagi aku mengeluarkan deham yang sengaja dibuat-buat. "Jadi, apa rencana Anda hari ini, Nona Leverton?" tanyaku begitu urusan dengan makanan selesai.
Yes! Aku berhasil mengambil alih perhatiannya. Dia menatapku sembari mengentikan kunyahan—yang tertutup bibir sewarna rose pink pucat—untuk sesaat. Tidak buru-buru menjawab, diselesaikannya proses penghalusan makanan itu di bawah pengawasanku.
Sial! Kenapa justru aku yang jadi grogi saat matanya yang bulat menatapku sambil makan?
Kuraih cangkir kopi, lantas menyesapnya, untuk mengalihkan perhatian.
"Saya hanya punya acara untuk membongkar koper hari ini, Tuan. Namun kegiatan itu tidak bisa saya lakukan sampai koper saya yang dikirim Tatiana datang," jawabnya.
"Hmm, baiklah kalau begitu." Kuletakkan cangkir kopi yang telah tandas. "Jadi, selagi Anda belum ada jadwal, bisakah kita membicarakan tentang urusan tresspassing dan konsekuensinya? Maksudku, ehem, kita buat menjadi kontrak perjanjian tertulis."
Miss Leverton menghentikan kegiatannya sama sekali. Bahkan garpu dan pisau diletakkannya. "Maksud Anda?"
"Habiskan dulu sarapanmu, kita bicarakan lagi nanti saat perutmu sudah penuh."
"Bagaimana aku bisa lanjut makan, jika Anda mengemukakan masalah itu sekarang?" tanyanya dengan nada meninggi.
"Itu masalahmu Nona. Saya tunggu Anda di ruang kerja bawah, usai sarapan. Biar Ines nanti yang mengantarmu ke sana. Saya permisi dulu," pamitku.
"Tapi—"
Mengabaikan protesnya, aku berdiri, lalu berjalan meninggalkan ruang makan. Sebaiknya segera kubuat beberapa klausul tentang perjanjian ini. Tidak terlalu sulit, hanya perlu menggunakan tulisan tangan saja. Yang terpenting adalah memerlukan stempel serta tanda tangan resmi kami berdua.
Di dalam ruangan berukuran enam kali delapan meter ini, aku banyak menghabiskan waktu. Lebih tepatnya menyibukkan diri agar waktu cepat berlalu. Mulai dari mempelajari hukum-hukum pertanahan, membaca buku tentang cara bercocok tanam, menerima tamu, membuat kontrak perjanjian, bahkan juga berkutat dengan pembukuan.
Bila Avindale mencintai lukisan seperti kekasih, aku belum menemukan yang semacam itu. Semuanya kulakukan bukan karena suka, tapi karena harus kulakukan. Namun, dia pernah bilang kalau aku mencintai uang, atau pelit dalam bahasa kasarnya.
Sebenarnya kalau dibilang pelit juga terlalu kejam. Aku malah menganggap semua yang kulakukan untuk menghasilkan uang, adalah salah satu bentuk perjuangan. Karena itulah, aku sangat menghargai uang, dengan mempergunakannya sebaik mungkin. Menggaji para karyawan, memberi mereka pekerjaan, donasi dan juga menikmatinya dengan melakukan banyak hal. Biar dibilang profit oriented aku tidak keberatan, karena setiap tindakan memang sebaiknya menguntungkan. Sama seperti perjanjian dengan Miss Leverton, harus memberiku manfaat yang signifikan.
Segera setelah duduk, aku mengeluarkan kertas kontrak, juga pena. Mulai kutuliskan identitas dan juga poin-poin penting yang berisi kesepakatan kedua belah pihak. Anggap saja aku sedikit memeras gadis itu untuk memenuhi keinginanku, tapi dia juga mendapat imbalan yang layak berupa tinggal di manor ini tanpa kekurangan suatu apa pun.
Hanya ada tiga poin, singkat jelas padat.
1. Sepanjang musim panas, Pihak Pertama (Sir Lucas Kinstone) memberikan seluruh fasilitas lengkap selama pihak kedua (Miss Leverton) tinggal di manor.
2. Pihak pertama tidak menuntut pihak kedua atas pelanggaran yang dilakukan oleh pihak kedua yang berupa masuk wilayah tanpa izin.
3. Sebagai konsekuensi pasal dua, Pihak Kedua bersedia mematuhi peraturan yang dibuat pihak pertma selama masa tinggal hingga perjanjian ini dinyatakan kadaluarsa.
Aku meletakkan pena kembali ke tempatnya, lantas tersenyum saat membaca kembali surat perjanjian itu. Sekarang kami berdua tinggal menandatanganinya, setelah mendapat persetujuan dari Miss Leverton tentunya.
Baru saja aku meletakkan kertas itu di meja, tiba-tiba ... .
"Sir Kingstone!" Gadis itu menghambur masuk ruangan tanpa mengetuk dengan tergesa-gesa. Memang tadi sengaja pintu ruangan ini kubiarkan terbuka.
"Miss Leverton," jawabku tenang. "Silakan duduk."
Setelah gadis itu duduk di hadapanku, Ines pun meninggalkan kami berdua serta menutup pintunya dari luar.
"Oke, ini surat kontraknya. Bacalah dulu, lalu isikan identitas lengkapmu," kataku sambil menyodorkan surat kontrak itu.
Miss Leverton menerima surat itu dan segera membacanya. Kedua alisnya hampir bertaut, dengan fokus mata yang tertuju pala selembar kertas coklat itu.
"Bagaimana?" tanyaku.