BAB 4

1207 Words
"Ada yang aneh darinya, dari tatapannya. Semacam ada... luka dan kesedihan?" -Kirananda Thalia- *** Brian turun dari mobil sambil menenteng bekal Kalila yang dibuatkan Bik Hana. Tak lupa dengan benda pipih yang dia tempelkan di telinga, menghubungi seseorang di kantor. Sementara gadis berkucir kuda itu berjalan di sisinya sambil merengut. Tidak ada sedikit pun senyum yang terbit di wajah putihnya. Ketika hampir sampai di depan kelas, barulah Brian memutus sambungan telepon sambil menghela napas. Dia tidak bisa leha-leha sekarang. Kasus pembunuhan seorang model yang diserahkan padanya seminggu lalu sangat  disorot media. Dan itu membuat Ibran terus mendesaknya untuk segera menyelesaikan kasus tersebut sebaik-baiknya. Brian kesal sendiri. Dia selalu ditugaskan tugas yang berat tetapi harus tuntas dalam waktu singkat. Bukankah itu keterlaluan? Dia bahkan masih terhitung sebagai jaksa baru. Tapi tentu, Brian tidak bisa mengeluh atau pun memberi alasan. Bagi ayahnya, Brian hanya harus berhasil dan membuktikan kemampuannya. Entah dengan cara apa pun itu. Brian menghentikan langkah saat Kalila menoleh dan menatapnya lurus. Dari tatapannya sepertinya gadis kecil itu sedang kesal. "Kenapa cemberut gitu? Kalila marah sama Papa gara-gara Papa yang antar kamu ke sekolah?" tanya Brian setelah berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Kalila. "Memangnya Kalila kelihatan kesal karena itu?" cicit Kalila, memiringkan wajah dan mengkerucutkan bibir. Menggemaskan. "Lalu Kalila marah kenapa kalau bukan itu alasannya?" "Papa nggak peka!" Kalila mendengkus. Dengan pongah anak itu mensedekapkan tangan di d**a. Pipi putihnya memerah, tanda dia benar-benar kesal. Tapi entah mengapa itu malah terlihat lucu di mata Brian. Kalila benar-benar menggemaskan. Hampir saja Brian tertawa jika saja dia tidak menahan dirinya. Sadar bahwa Kalila bisa lebih marah jika ditertawakan. Dan jangan salah, jika sudah marah besar, dia menyeramkan. Mirip ibunya. "Maafin Papa." Lelaki itu tersenyum lembut, lalu merentangkan tangannya dan meraih Kalila ke dalam pelukan selama beberapa detik. Usai melerai pelukan, dia mengacak poni gadisnya. "Papa gak pernah ngerti apa yang Kalila mau. Papa pasti bodoh, ya?" gumamnya. "Lila nggak suka Papa minta maaf. Lila bosen." "Hm?" Brian mengernyit bingung, sementara Kalila menghela napasnya lalu mundur dari hadapan Brian setelah mengambil bekalnya. "Papa gak bodoh, tapi nggak peka. Lain kali kalau antar Kalila ke sekolah, tangan Kalilanya dipegangin!" Usai mengatakan itu, Kalila bergegas masuk ke dalam kelasnya. Tidak memberi kesempatan bagi Brian untuk sekadar memahami ucapannya dan membalas. Brian terkekeh kecil setelah beberapa lama. Baru sadar apa yang telah dia lakukan hingga membuat Kalila marah. Kalila memang unik lagian. Usianya boleh saja masih kecil, tetapi sikapnya kadang lebih dewasa dari yang Brian kira. Ya bayangkan saja, usiamu 28 tahun, dan seorang anak berusia 6 tahun bicara perihal kepekaan dirimu. Astaga. Brian tak habis pikir. Brian menegakkan kembali tubuhnya, hendak pergi sebelum sosok Kira yang datang dari gerbang membuat Brian tersenyum tipis. Di depan sana, Kira melihatnya lantas balas tersenyum. Keduanya saling mendekat, lalu berdiri berhadapan setelah saling sedikit membungkuk tanda hormat. "Kalila sudah masuk?" tanya Kira terlihat sedikit canggung. Brian mengangguk kecil sambil menatap Kira lurus, sementara kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Kira nampak lebih segar hari ini, dengan stelan berwarna kuning gading yang sangat cocok dengan kulit putihnya. Surai cokelat perempuan itu yang kemarin digerai, hari ini diikat rapi. Hal itu membuatnya tampak lebih manis dan lebih muda. Sejujurnya memang ketika pertama kali melihat Kira, Brian tidak yakin dia wali kelas Kalila yang berbicara dengannya di telpon. Sebab berbeda dengan penampilannya yang imut dan terlihat seperti remaja yang baru beranjak dewasa, suara perempuan itu lebih rendah dari gadis kebanyakan. Yang lucu, wajah tenangnya sama sekali tidak sinkron dengan sikapnya yang ceroboh. Brian jadi ingat perihal kejadian kemarin. Entah apa yang sedang perempuan itu pikirkan. Tapi sepanjang mereka mengobrol, sesekali dia melamun dan membuat kesalahan kecil. Wajah melamunnya itu lho, konyol sekali. Brian sampai pernah kelepasan tertawa pelan. "Ya, baru saja," Brian membalas. Kira mengangguk kecil, sementara kedua bola matanya bergerak bingung. Dia orang yang tidak pandai menemukan topik pembahasan, tebak Brian. "Kadang-kadang Kalila tidak bisa ditebak. Dia anak kecil, tetapi pemikirannya dewasa." Brian kembali bersuara. Netranya menatap lurus pada pintu kelas Kalila yang terbuka lebar. Beberapa anak berlarian keluar masuk—sesekali tertawa dan sesekali berteriak semangat—terlihat bahagia. Kira juga mengikuti arah pandang Brian lalu tersenyum lebar, seolah ikut merasakan kebahagiaan anak-anak tersebut. Tapi begitu dia kembali menatap Brian, ada yang aneh darinya, dari tatapannya. Semacam ada... luka dan kesedihan? Kira berdeham. Pada saat itulah Brian seolah baru tersadar dari lamunan panjangnya. Dia menghela napas, kembali menatap Kira. Sedetik kemudian dia menetralkan kembali raut wajahnya dengan memamerkan senyuman tipis. "Yah, saya meminta bantuan Anda sebagai wali kelas Kalila untuk memantaunya selama kelas. Terutama untuk memahami pemikirannya." Brian terkekeh singkat sebelum melanjutkan, "barusan saya dikatai tidak peka." "Tidak peka?" Kira tertawa kecil. Mata besarnya menyipit. Lucu. "Iya. Makanya saya butuh bantuan Anda. Selain wali kelasnya, Anda juga sama-sama perempuan." Kira menggeleng kecil, terlihat menyisir pandang ke sekitar sebelum kembali bicara. "Anda harus mempelajarinya sendiri. Bagaimana pun, waktu Kalila bersama Anda jauh lebih banyak daripada dengan saya." "Sayangnya saya pikir tidak begitu. Saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan pekerjaan daripada dengan Kalila." Tatapan Brian menyendu. Brian baru sadar karena kejadian ini. Dia tidak begitu banyak menghabiskan waktu dengan Kalila. Dia tidak tahu perkembangan Kalila. Tidak paham apakah anak itu sedang memiliki masalah atau tidak. Brian hanya melihatnya setiap pagi ketika sarapan, dan malam sebelum tidur. Sangat singkat. Brian jadi berpikir, Kalila mungkin membencinya. Tidak tidak. Kalila mungkin merindukannya, seperti Brian merindukan dekapan ibu kandungnya. Brian menyesal, pada Kalila, pada dirinya, dan pada Lea—kakaknya yang juga mendiang ibu Kalila. Yah. Brian teringat suatu malam ketika Lea dinyatakan meninggal di rumah sakit. Ayahnya nampak marah, tetapi tidak mengatakan apa pun. Ibunya menangis histeris hingga dia lepas kendali dan mendatangi salah satu korban kecelakaan yang selamat dari kecelakaan beruntun itu. Beruntung segera diamankan petugas. Sementara Brian, dia menatap lekat bayi kecil di gendongan Bik Hana. Bayi yang tidak tahu apa-apa. Dia bahkan tidak menangis ketika ibunya meninggal karena dia tidak mengerti apa pun. Dan itu jauh lebih meremukkan hati Brian. Brian meraih bayi itu ke dalam gendongannya. Mencium puncak kepalanya yang terbalut topi bayi, menangis dalam diam. Sampai selama lima menit, anak itu akhirnya ikut menangis. Entah dia tahu ibunya tiada, atau karena dia kelaparan membutuhkan ASI. Brian tidak tahu. Yang Brian tahu saat itu hanyalah, dia harus melindunginya. Melindungi bayi tak berdosa itu. Dia tidak boleh sepertinya atau seperti kakaknya, yang memiliki orang tua tapi tidak pernah peduli. Mereka hanya peduli ketika nyawa Lea sudah hilang dari raga. Brian pikir dia akan menjadi ayah sekaligus ibu yang baik untuk keponakannya. Tapi dengan ini dia sadar, dia belum berhasil. "Makanya hari ini Anda mengantarnya ke sekolah?" Kira tertawa kecil menangkap reaksi Brian yang seolah bertanya—mengapa kamu tahu?—"Karena biasanya Kalila datang bersama bibinya." Kira melanjutkan. Brian tersenyum tipis. Ya, Brian memang sesibuk itu sehingga jangankan mengantar Kalila sekolah, di rumah saja dia jarang bertemu Kalila. Percakapan mereka akhirnya harus berakhir ketika bel berbunyi. Brian pamit. Sementara Kira berjalan menuju kantor. Dari jauh sebelum pergi, Brian memperhatikan Kalila yang digoda salah satu anak laki-laki di depan kelas. Kalila hanya bersikap tidak peduli. Lalu tatapan mereka bertemu. Brian melambaikan tangannya pada Kalila. Tidak ada respon. Kalila hanya mencebikkan bibir. Malah anak laki-laki yang menggoda Kalila yang melihat ke arahnya lalu tersenyum lebar. "OM, KALILANYA KALAU UDAH GEDE JADI PACAR ROBY, YA!" teriak anak itu lantang. Brian diam. Tapi sedetik berikutnya dia tertawa pelan mendengar celotehan polos anak bernama Roby itu. Di depan sana, Kalila terlihat menimpuk Roby dengan buku dongeng yang dibawanya. Dan Brian benar-benar tergelak sekarang. Kalila memang galak. Mirip Lea. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD