"Kamu serius beli boneka Barbie? Kalila benci banget sama Barbie."
Brian memperhatikan boneka Barbie berambut pirang yang dipegang Venita. Tak lupa Ken, pasangan Barbie yang nampak tampan juga dia bawa. Yeah, rencananya mereka hendak membeli kado untuk hadiah ulang tahun anaknya Fadi yang pestanya diselenggarakan besok. Bingung membeli hadiah apa setelah berkeliling mall dan tidak menemukan barang cocok, akhirnya mereka memutuskan masuk ke toko boneka.
"Itu, kan, Kalila. Barang kali Arsyi malah suka. Saya juga suka, Pak. Apalagi Ken-nya. Ganteng."
Brian mencibir. Venita ini antara penampilan dengan sifat memang berbanding terbalik. Ya siapa sangka gadis elegan dengan penampilan fashionable sepertinya menyukai boneka Barbie? Selama dua tahun bekerja dengannya, Brian sudah berapa kali mendapatkan kejutan di balik penampilannya itu. Sekarang sudah tidak kaget jika Venita menunjukkan sisi anehnya yang lain.
Sedangkan itu, tanpa mereka sadari, seseorang memperhatikan mereka dari jarak beberapa meter. Sembunyi sambil pura-pura melihat-lihat boneka. Kirananda.
Entah apa yang membawanya kemari membuntuti Brian. Gila. Dia berpikir dirinya benar-benar gila. Didorong rasa penasaran dan perasaan tak keruan--mungkin cemburu--dia jadi bersikap seperti penguntit begini. Sampai meninggalkan Jovan yang tengah membeli parfum di lantai dua.
Matanya tak henti mengamati dua manusia itu yang berbincang sambil sesekali tertawa kecil. Akrab, manis, dan terasa menyebalkan di mata Kira.
Beberapa waktu kemudian Brian dan wanita itu berpisah. Venita, dia masih berdiri di antara rak yang diisi boneka Barbie. Sementara Brian berjalan-jalan ke bagian lain toko, melihat-lihat sekalian mencari boneka kuda poni kesukaan Kalila. Siapa tahu dengan membelikannya hadiah dia akan berhenti marah. Brian masih terbayang dengan raut kesal gadis itu padanya siang tadi. Termasuk, raut Kira juga.
Ah, perempuan itu. Lagi-lagi dia melintas begitu saja tanpa permisi di benak Brian.
Tatapan terlukanya tadi begitu mengganggu, terus saja mengusik ketenangan. Bahkan ketika dia tengah bekerja, wajah itu terus saja terbayang. Membuat Brian mendesah frustrasi berkali-kali. Merasa bersalah.
Mungkin sebaiknya dia meminta maaf. Dia pikir itu karena rasa bersalahnya yang berlebihan. Siapa tahu jika sudah meminta maaf wajah perempuan itu tidak akan lagi mengganggu kewarasannya.
Brian menemukan jajaran boneka kuda poni di bagian toko paling kanan. Dia berjalan ke arah sana sebelum suara benda jatuh di belakang membuat atensinya teralihkan. Brian menoleh, dan saat itulah dia menemukan perempuan itu. Kira. Memunguti dua boneka yang terjatuh kemudian mengembalikannya kembali ke rak.
Tanpa diketahuinya, Kira sudah benar-benar gugup. Brian melihatnya sekarang. Melihatnya! Bagaimana kalau dia ternyata menyadari sedang diikuti? Aihs. Sial.
Pura-pura bodoh, Kir. Pura-pura bodoh. Pura-pura nggak lihat dan nggak sadar. Oke?
"Kira?"
Kira menggigit bibir bawahnya kaku ketika suara Brian terdengar, diikuti oleh langkah kaki yang kian mendekat. Berpura-pura bodoh, Kira menoleh dan tersenyum polos. Atau tersenyum bodoh? Baik. Tidak ada bedanya.
"Kamu di sini?" Brian tanya. Lalu lelaki itu merutuki dirinya dalam hati. Pertanyaan macam apa itu?
"Ah, ya. Hei. A-aku suka boneka. Uhm, boneka bebek. Aku ke sini buat beli bebek ini. Lucu, kan?" Gila. Kira benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Ini sangat bodoh.
Brian sempat terdiam sejenak. Tapi detik berikutnya dia tersenyum. Wajah Kira memang cocok menyukai boneka-boneka lucu seperti itu. Dianya saja lucu, polos, dan menggemaskan seperti anak kecil. Aihs, Man! Kamu memuji Kira terlalu berlebihan seolah kamu menyukainya.
"Bisa kebetulan gini, ya?" Brian tersenyum. Sebenarnya masih agak canggung. Apalagi mengingat kejadian beberapa jam yang lalu di sekolah. Sialan, Brian teringat lagi akan sikapnya yang menyakiti Kira itu.
"Iya, kebetulan." Kira menyelipkan poninya ke belakang telinga, sangat canggung. "Kalau gitu aku duluan, ya. Aku cuma beli ini aja, kok."
Kira lantas segera melesat pergi meninggalkan Brian. Tapi tak disangkanya, lelaki itu malah membuntuti. Astaga, apa yang dia mau?
"Kira?"
Kira menghentikan langkah. Tolong, Kira sangat gugup. Jangan-jangan Brian curiga kalau dia mengikutinya?
"Kamu sendirian?"
Syukurlah. Kira menghela napas lega karena ternyata Brian menanyakan hal lain. Setidaknya untuk sekarang.
Mencoba rileks, Kira menjawab, "Iya. Tadi sama Jovan, tapi nggak tahu ke mana. Kamu?"
"Sama rekan kerja," balas Brian, dan entah mengapa itu membuat Kira tersenyum, seolah beban-beban terangkat dari pundaknya. Rekan kerja. Hanya rekan kerja. Ya Tuhan, Kira tidak pernah sesenang ini.
Hening selama beberapa sekon di antara mereka berdua. Sementara suara orang-orang yang lalu lalang seolah tak terdengar.
"Soal tadi, maaf. Aku nggak maksud buat nyinggung kamu," gumam Brian kemudian, memecah keheningan dengan percakapan yang sedikit canggung. Kira tidak tahu saja, butuh keberanian besar bagi Brian untuk meminta maaf.
"Gak apa-apa. Aku tahu kamu cuma nggak mau Kalila lebih kecewa. Lagian memang salah aku, gak mikirin konsekuensi dari apa yang aku lakuin."
"Yeah. Nggak sepenuhnya salah kamu juga. Kamu cuma mau bantu, kan?" Brian tersenyum tipis. Membuat Kira ikut tersenyum. Bukan hanya karena kata-kata Brian, tetapi juga karena tatapannya yang hangat meluluhkan hati Kira.
"Mau aku antar pulang?" tanya Brian.
"Gak usah. Aku pulang sendiri aja. Gak apa-apa."
"Aku maksa. Gak boleh nolak," ujar Brian mutlak. Entah apa yang dia pikirkan, tetapi jantung Kira berdebar hebat karena sikapnya.
Brian membayar tiga tas belanjaan di kasir. Sepasang boneka Barbie dan Ken untuk Arsyi, kuda poni berwarna pink untuk Kalila, dan sekotak boneka bebek yang berisi lima ekor anak bebek berwarna merah beserta satu induknya untuk Kira.
"Pacar Bapak?"
Brian membentuk bibirnya menjadi satu garis tipis lantas menghela napas menatap Venita yang berjalan di sisi kiri, sementara Kira berjalan di sisi kanannya.
"Saya Kira, gurunya Kalila," balas Kira, tersenyum sangat lebar sambil mencondongkan sedikit badan ke depan agar bisa melihat Venita.
Omong-omong, Venita, Brian, dan Kira yang berjalan berdampingan begitu terlihat seperti sepasang kekasih yang jalan-jalan dengan adiknya. Kira terlihat sangat mungil.
"Saya kira pacarnya Pak Brian. Soalnya jarang-jarang saya lihat Pak Brian deket sama perempuan. Makanya sekalinya lihat langsung—"
"Jangan gosip, Ven," sela Brian, menghentikan ocehan Venita. Dasar perempuan. Sekali ngegosip pasti susah direm.
"Bukan gosip, Pak. Faktanya begitu, kan?"
Salah Brian terlalu dekat dengan Venita. Salah Brian terlalu baik dengan rekan-rekannya. Salah Brian yang memang jomlo terlalu lama.
Brian merotasikan bola mata dengan malas. Tentu saja disertai dengan decakkan sebalnya. Dan itu sukses membuat Kira tergelak.
Apanya yang lucu?
Kira. Dia lucu, sih. Ketawanya lucu.
Shit. Bri. Berhenti terlalu memuji!
***
Setelah mengantarkan Venita pulang yang arah rumahnya berbeda dengan arah rumah Brian dan Kira, mereka memilih makan dulu di sebuah restoran. Brian yang memaksa. Katanya perutnya belum diisi sedari siang. Ya sudah, Kira hanya ikut.
Restoran itu terletak di dekat komplek rumah Venita. Bukan restoran besar tetapi tempatnya lumayan nyaman, apalagi dengan lampu-lampu warm white yang membuat suasana terasa hangat dan intim. Di sisi kanan dan kiri meja yang ditempati Brian dan Kira diisi oleh remaja-remaja yang tengah berkencan. Hal itu jelas membuat pipi Kira memerah. Mereka berada di tengah-tengah orang-orang yang berpacaran. Mungkin saja orang lain juga menganggap mereka berkencan.
Menu makanan cukup sederhana dengan harga yang terjangkau. Kira pikir Brian tidak pernah mau makan di tempat seperti ini. Pasalnya dari penampilan dan barang-barang yang digunakan, Kira tahu Brian dari kalangan berada.
Brian memesan sup wonton, chicken katsu, french fries, sosis bakar dan es kacang ijo. Nafsu makannya besar juga. Kira bahkan hanya yakin bisa menghabiskan satu mangkuk sup wonton saja dengan es kacang ijo. Perutnya terlalu kecil untuk menampung banyak makanan.
Diam-diam Kira tersenyum melihat Brian makan dengan lahap. Dia lucu saat makan. Rakus tapi menggemaskan. Pipinya yang menyembul sambil mengunyah cepat membuatnya mirip seperti seekor marmut.
Spam chat di ponselnya membuat Kira terpaksa harus berhenti memandangi Brian dan merogoh benda pipih itu di tas. Ada spam chat dari Jovan, membuat Kira seketika memekik tertahan.
"Kenapa?" Brian mengangkat wajah mendengar Kira yang terlihat begitu terkejut.
"JOVAN!" Kira memejamkan matanya setelah kelepasan menjerit histeris. "Aku lupa, tadi aku pergi sama Jovan," gumam Kira kemudian.
Yeah. Jovan ditinggal:)
Jovan Jomlo:
Kira, di mana?
Aku keasyikan milih parfum tadi. Mau balik sekarang gak?
(17.54 WIB)
Woy. Di mana?
(17.57 WIB)
Kir, nggak diculik kan?
(18.01 WIB)
6 panggilan tidak terjawab
Heh, kok nomornya di luar jangkauan terus?
(18.07 WIB)
Kir, plis. Kamu di mana? Bales.
(18.08 WIB)
Kir.
Kir.
KIRA YA TUHAN ANGKAT!
(18.10 WIB)
YA ALLAH, JOVAN MASIH MAU IDUP. KIRA DI MANA PLIS JAWAB.
(18.15 WIB)
Aku udah balik ke kedai. Om Dirga nyeremin, Kir. Plis, kamu baik-baik aja, kan?( ≧Д≦)
(19.17 WIB)
***