"Terkadang, hidup memang menyakitkan."
-Brian Mahesa-
***
Jakarta, Februari 2018
“Putusan hari ini dijatuhkan pada pria yang menguntit gadis berusia 15 tahun, melakukan pelecehan seksual, dan kekerasan terhadapnya. Menciptakan goncangan mental yang amat besar bagi korban yang masih belia.”
“Saya akan membacakan putusannya.”
“Atas nama hukum dan keadilan, putusan saya adalah memisahkan terdakwa dari masyarakat untuk menebus kejahatannya yang keji. Saya menjatuhkan hukuman yang setimpal atas perbuatan terdakwa, yakni hukuman 12 tahun penjara.”
Ruang sidang berubah riuh setelah hakim mengetuk palu tiga kali, tanda bahwa persidangan berakhir dan hukuman sudah dijatuhkan pada terdakwa—yang statusnya kini resmi menjadi terpidana. Sementara lelaki bertoga dengan simare hitam dan dasi putih, jaksa penuntut pada kasus tersebut, tersenyum lebar pada sosok gadis yang bergelung di pelukan ibunya. Brian.
“Hei, Anna,” panggil Brian, berjalan menghampiri gasdis tersebut, lalu berjongkok di sisinya. “Paman kamu sudah dipenjara. Dia tidak akan mengganggu kamu lagi. Kamu harus bangkit. Masa depan kamu masih panjang, hm?”
Bulir-bulir air mata berjatuhan ketika gadis berambut panjang itu mendongakkan wajahnya. “Terima kasih, Pak Jaksa. Saya... saya tidak tahu harus bicara apa lagi. Ibu!” Gadis itu kembali memeluk ibunya. Menyembunyikan wajah di lengan wanita paruh baya tersebut.
“Tidak apa-apa, Anna. Kamu pasti bisa melewati semuanya.”
Brian lantas berdiri. Menatap wanita paruh baya yang hanya terdiam nanar sambil mengelus puncak kepala anaknya yang terisak keras. Senyuman lelaki itu terbit, tapi ada sorot sendu dari balik tatapannya.
“Tolong jaga Anna, dan pastikan dia hidup dengan baik setelah ini.”
“Terima kasih, Pak. Anda sudah berusaha keras agar laki-laki bejad itu dihukum. Saya benar-benar berterima kasih yang sebesar-besarnya pada Anda.” Wanita itu mengecup puncak kepala putrinya dengan amat haru. Kedua matanya yang sudah sayup, pada akhirnya meneteskan bulir-bulir air mata.
Atensi Brian beralih pada perempuan berkemeja merah maroon yang duduk di sisi paling kanan di antara ibu dan anak tersebut—psikolog yang bertanggung jawab untuk membantu Anna dalam pemulihan masalah psikologis yang dialaminya karena kasus tersebut. “Tolong bantu Anna sembuh,” ucapnya pada perempuan cantik itu.
“Tentu,” balas si perempuan, tersenyum tipis. Lalu berdiri untuk mengantar Anna dan ibunya pergi. Sebelum itu, dia sempatkan untuk berbicara dengan Brian sebentar. “Keadaan kamu gimana sekarang?” tanyanya, setelah memastikan Anna sudah lumayan jauh untuk bisa mendengar percakapan mereka.
“Baik. Seperti yang kamu dan Fadi tahu, Wend.”
“Kalau ada sesuatu hal apa pun yang bikin kamu nggak nyaman, kamu tahu harus hubungi siapa, kan?”
“Ya. Kamu,” balas Brian disisipi nada jenaka yang menjengkelkan. Keduanya lalu terkekeh selama beberapa saat sebelum keluar dari ruangan.
Brian tersenyum hangat menyaksikan kepergian Anna dan ibunya, serta juga Wenda. Merasa bersyukur telah melepas sedikit penderitaan Anna akan ancaman pamannya yang tidak waras. Meski begitu, Brian tahu, sulit untuk mengatasi trauma. Akan ada bekas luka dari setiap potongan kejadian pilu yang kita lewati. Dan Brian harap, Wenda bisa membantu Anna keluar dari rasa sakit itu sedikit demi sedikit, seperti dirinya.
“Brian!”
Lelaki itu menoleh ketika seseorang memanggil namanya. Sorot mata lembut yang tadi ditujukan pada Anna dan ibunya seketika lenyap, digantikan oleh tatapan lurus yang membuat kesan kaku di wajahnya kembali terlihat.
“Selamat. Kamu memenangkan kasus kamu yang ke sekian di bulan ini.”
“Ya. Terima kasih, Pak Kepala,” balasnya pada pria paruh baya yang memiliki mata mirip dengannya. Ibran, atasan sekaligus ayahnya.
“Nanti malam kita makan bersama. Ayah akan kirim alamat restorannya via pesan.”
Brian membalas dengan anggukkan beserta senyum kecilnya. Lantas membiarkan orang tua itu berlalu dari hadapannya dengan wajah berseri. Sapaan-sapaan yang dilontarkannya masih terdengar oleh Brian hingga jarak mereka benar-benar jauh. Dia nampak sangat antusias karena kemenangan Brian sepertinya. Atau ada hal lain? Entahlah.
***
"Brian, ini Ellen. Dan Ellen, ini Brian."
Brian tersenyum tipis, mengulurkan tangan pada sosok perempuan bergaun biru di hadapannya. Sejujurnya, jauh dalam lubuk hati, dia bertanya-tanya, apa maksud ayahnya memperkenalkan sosok Ellen padanya? Brian berharap semoga ini tidak seperti dugaannya.
Gadis berambut panjang itu membalas uluran tangan Brian. Yeah, dia akui kulitnya sangat halus dan lembut. Tak hanya itu, tubuh semampai dan parasnya yang ayu juga nampak menggoda. Dia model, jelas saja tubuhnya terawat dengan baik.
"Kami sengaja mengadakan makan malam ini agar kalian bisa lebih akrab." Begitulah yang Ibran, katakan. Namun pada kenyataannya, baik Brian mau pun Ellen, sama-sama tidak peduli. Ellen bahkan sangat kentara menunjukkan ketidaksukaannya dengan pertemuan ini. Yang dilakukannya sejak tadi hanya bermain ponsel, seolah sibuk dengan dunianya.
"Ellen," tegur sang Ayah. Tapi hal itu tidak lantas menghentikan Ellen. Dia malah semakin menjadi, sengaja menelpon seseorang yang entah siapa. Kedengarannya laki-laki.
"...ya, aku ke sana sekarang. Baik."
Usai menutup sambungan, Ellen kembali memfokuskan perhatian pada mereka. "Aku harus pergi sekarang," gumamnya. Tak mempedulikan protesan yang dilemparkan lewat tatapan Gading, ayahnya. Dia beralih pada Ibran dan Brian, menunduk sedikit tanda dia akan pamit. Kemudian setelahnya, dia benar-benar pergi dengan langkah lebar tetapi masih meninggalkan kesan anggun dan pongahnya.
Brian termenung. Perempuan itu sangat berani. Seandainya Brian mampu melakukan apa yang Ellen lakukan, hanya saja ... tidak bisa. Tak terhitung berapa kali Brian ingin menentang ayahnya, dia tak bisa. Dia masih saja pengecut, bahkan di usianya yang sudah memasuki usia 28 tahun. Setiap kali dia membangkang pada Ibran, hal itu tidak bertahan lama. Pada akhirnya dia menyerah, tunduk kembali pada ayahnya.
Yah, Brian Mahesa, sosok pria yang terlihat tampan dan berwibawa itu—terlebih dengan profesinya sebagai seorang jaksa itu—sebenarnya hanyalah seorang anak yang terkungkung dalam keadaan yang memuakkan. Dia ingin lari, tapi tidak bisa. Ingin berhenti, tapi tidak mampu.
Keinginan terbesar dalam hidupnya adalah, berhenti hidup. Hanya saja, ada beberapa hal yang tidak bisa dia tinggalkan. Salah satunya adalah gadis itu, Kalila. Gadis yang memiliki sebagian hidupnya. Gadis malang yang kebahagiaannya menjadi tanggung jawabnya sejak bertahun-tahun lalu.
Tanpa gadis itu, Brian tak memiliki apa pun yang bisa menguatkannya. Tanpa gadis itu, Brian tak bisa untuk melanjutkan hidup yang menurutnya sudah tak memiliki arti lagi.
"Ellen cantik, kan?" Ibran terkekeh kecil seraya berjalan menuju mobil mereka ketika pertemuan—yang isinya hanya cuap-cuap kedua orang tua itu—berakhir.
Brian hanya mengangguk kecil. Tidak salah memang, Ellen cantik.
"Cari istri yang kayak Ellen; cantik, cerdas, mapan."
"Ayah.”
“Hm?”
“Aku nggak tertarik untuk menikah.”
Hening. Ibran menghentikan langkahnya tepat di depan mobil, tetapi tak lantas membuka pintu kendaraan beroda empat tersebut. Sementara, Brian sudah berdiri tegap, bersiap menerima konsekuensi dari apa yang dia ucapkan.
"Jangan bercanda sama Ayah. Kamu harus punya keturunan. Itu penting!"
"Aku bisa punya anak tanpa harus menikah," balas Brian tenang, meski dalam hatinya sudah harap-harap cemas. Dia tahu ayahnya akan marah besar mendengar keputusannya. Tapi inilah Brian. Dia tidak ingin mengikat hubungan apa pun dengan perempuan.
"Dengan cara apa? Kamu mau menghamili wanita jalang lalu mengambil anaknya, begitu? Kamu gila? Dia cuma akan memeras kamu nantinya!"
See. Ayah murka.
"Pikiran aku nggak sedangkal itu," balas Brian. Sebelah tangannya meremas ujung jas navy-nya kuat-kuat. "Aku bisa adopsi anak, bukankah itu lebih praktis?"
"BRIAN!"
Satu pukulan mendarat di rahang Brian. Hal itu tidak cukup untuk membuat Brian hilang keseimbangan. Dia sudah sering mendapat pukulan seperti ini, bahkan yang lebih parah pun sudah menjadi makanannya sejak dulu. Ketika dia ketahuan bolos sewaktu SMA, Brian malah hampir sekarat di tangan ayahnya. Kesalahan sekecil apa pun yang Brian lakukan, pukulan bahkan cambukan adalah balasan yang akan dia terima. Bahkan jika nilai Brian ketika sekolah tidak cukup memuaskan ayahnya, dia bisa dikunci seharian di kamar mandi setelah mendapat pukulan yang membuat ayahnya lega.
Pernah Brian bertanya-tanya, mengapa dia diperlakukan demikian? Apakah dia adalah seorang anak tiri, anak pungut, atau apa? Tapi demi apa pun, dia adalah anak kandung ayah dan ibunya. Lantas kenapa dia diperlakukan seperti itu? Sampai saat ini Brian tidak mengerti.
Tapi sejak Brian berhasil menjadi jaksa termuda tiga tahun lalu, Ibran tidak lagi sekeras sebelumnya. Mungkin dia sadar Brian sudah dewasa, atau mungkin karena Brian sudah memenuhi sebagian keinginannya? Entahlah.
"Kamu pikir Ayah menginginkan seorang anak pungut untuk dikasih makan? Ayah butuh keturunan, darah daging kamu, darah daging keluarga Mahesa!" teriak Ibran berang. Di usianya yang hampir berkepala enam, teriakkannya masih saja lantang. Terkadang Brian takut jika tiba-tiba dia terkena serangan jantung karena emosinya itu.
Brian hanya terdiam. Dia sudah muak menuruti semua perintah Ibran yang seolah-olah memiliki seluruh kendali dalam hidupnya. Padahal ini hidupnya, bukan hidup ayahnya. Seandainya bisa kabur, mungkin Brian akan kabur sejak dulu. Tapi nyatanya tidak bisa. Dia tahu seluas apa koneksi ayahnya hingga untuk kabur ke ujung dunia pun, rasanya mustahil.
"Ayah nggak mau tahu, sebelum usia kamu menginjak kepala tiga, kamu harus menikah."
Usai mengatakan kalimat itu seraya menunjuk-nunjuk wajah Brian, Ibran masuk ke dalam mobil, meninggalkan Brian yang masih bergeming dengan senyuman mirisnya.
Terkadang, hidup memang menyakitkan, bukan?
***