CINTA KEDUA 2
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Pembatasan gerak karena alasan tidak jelas akan selalu menyisakan banyak pertanyaan. Apalagi jika pembatasan itu dibarengi amarah, pastinya semakin menimbulkan tanya dalam benak. Tentang kenapa dan mengapa tidak boleh melakukan hal yang memang bisa menjadi suatu kebutuhan, yakni bercengkerama bersama tetangga untuk menjaga kerukunan. Akan tetapi, justru mendapat pertentangan.
Nesha yang masih mencari alasan kemudian masuk dan mengikuti sang mertua ke ruang dapur. “Ibu kenapa sih? Saya punya salah sama Ibu? Kenapa saya tidak boleh keluar rumah?” tanya Nesha sembari mengambil duduk di sebelah sang mertua. Tangannya pun tidak lupa menyodorkan segelas air putih untuk menenangkan wanita yang begitu diagungkan prianya.
“Ibu jengkel tahu, Sha! Kamu itu dikatain jelek sama tetangga! Coba saja tadi ada cabai di tangan, sudah pasti Ibu jejalin itu mulut!” jawab wanita yang masih terbakar emosi. Ada rasa tidak rela jika wanita kedua yang dipilih anaknya dibicarakan orang-orang tanpa tahu dalamnya.
“Ooohh ... saya pikir Ibu belum dikasih uang jajan sama Mas Arfan. Memang saya dibicarakan apa sama mereka? Kok, Ibu bisa marah seperti ini?” Nesha bertanya dengan penuh kesabaran. Semoga kali ini bisa mendapat jawaban.
Wanita yang mulai terlihat banyak keriput meneguk sejenak air putih di depannya untuk memberi ketenangan. Setelahnya ia menjawab, “Kamu tahu? Kamu itu dikatain lebih buruk dari Wening! Katanya kamu anak yatim dan kamu setiap hari hanya bermain ponsel! Itu buat Ibu tidak terima, Sha ...,” jelasnya dengan suara masih menggebu-gebu.
Nesha bukannya marah malah justru tertawa. Bukan tidak tersinggung, tetapi memang keadaan dirinya benar adanya. “Ibu lucu. Kan, memang benar yang tetangga bilang. Kenapa Ibu marah? Saya memang lebih buruk dari Wening. Ibu juga tahu sendiri seperti apa di rumah. Hanya bergelut sama hape terus. Dan benar kalau saya anak yatim piatu,” terang Nesha untuk mengurangi sisa amarah pada mertuanya.
Sang mertua melirik wanita yang entah terbuat dari apa hatinya. “Nesha! Kamu, ih! Ibu tidak suka meski itu benar adanya! Ibu tahu apa yang kamu lakukan dari Arfan. Kamu itu penulis, jadi anggap apa yang kamu lakukan adalah pekerjaan tanpa harus meninggalkan rumah! Tadinya Ibu juga tidak paham, tapi makin ke sini paham. Pokoknya kamu tidak usah keluar rumah! Nulis saja! Biar tidak perlu mendengar perkataan yang tidak-tidak! Kamu ngerti, kan?!” jelas sang mertua lagi masih dengan keputusannya.
Wanita yang seakan memiliki ibu kandung kedua kali langsung mendekat dan memeluknya. Ia masih tidak percaya masih ada wanita yang membela kekurangannya. “Terima kasih, Bu ... karena tidak malu punya menantu seperti saya. Saya tahu bukan wanita sempurna untuk anak Ibu yang dulu pernah gagal dalam kapal pertamanya. Tapi, saya dari dulu mencinta Mas Arfan dari hati. Meski dulu jalannya harus mendapat hinaan dan caci maki, tapi Ibu tetap mau membuka kedua tangan,” ujar Nesha yang tiba-tiba mengingat kisah cintanya dengan Arfan.
“Kamu tidak perlu bicara seperti itu. Ibu yang tahu bagaimana Arfan dan Wening. Kamu tidak perlu menyalahkan kehadiranmu. Justru Ibu berterima kasih karena kamu mau menerima Arfan di tengah kekurangannya. Baik dari segi ekonomi dan sikap juga sifatnya. Tetaplah jadi Nesha yang selalu ada untuk Arfan. Jangan pergi dan meninggalkan saat dia tidak punya apa-apa seperti sekarang. Ibu selalu mendoakan untuk kebahagiaan kalian,” ucap wanita yang telah menganggap sang menantu selayaknya anak perempuan.
“Insyaallah, Bu ... saya janji. Semoga bisa selalu kuat dan sabar berjalan berdua meski nanti badai datang. Kalau begitu, kita ke warung sama-sama. Saya ingin beli s**u. Karena kalau kopi nanti Mas Arfan ngamuk. Kan, dia tahu perut saya manja. Bagaimana?” usul Nesha yang langsung mendapat lirikan mata sang mertua.
Wanita yang masih sedikit menyisakan emosi menatap sang menantu dengan sorot mata entah apa. Ia hanya tidak habis pikir kenapa tidak ada benci atau marah pada diri seorang Nesha.
“Kamu yakin mau keluar rumah?” tanya sang mertua memastikan.
“Yakin, dong, Bu ... masalah itu harus dihadapi, bukan dihindari. Kalau iya, kita berangkat sekarang. Mumpung saya lagi sedikit ingin mencari udara segar. Kepala seperti mau meledak mikir tulisan. Ibu mau, kan?" bujuk Nesha agar tidak perlu membatasi geraknya menjadi makhluk bersosialisasi.
“Ya sudah.”
Nesha tersenyum puas berhasil membujuk sang mertua. Jemarinya gesit memakai hijab dengan asal tapi tetap terlihat rapi. Keduanya keluar rumah dengan berjalan kaki. Karena kebetulan letak warungnya tidak terlalu jauh. Ada sedikit canda dan tawa di sepanjang perjalanan untuk sekadar mengusir jenuh. Akan tetapi, ketika asyik tertawa ada satu roda dua yang sengaja melajukan pelan di sebelahnya.
“Cieee ... kompak banget mertua sama menantu. Sama-sama jalan kaki. Seperti saya dong, naik motor!” ejek wanita yang tidak lain adalah Bu Peni.
Entah sengaja atau tidak, selalu Bu Peni yang terlihat jika ada keperluan ke warung. Ternyata perdebatan beberapa jam lalu belum mampu menampar bibirnya yang seperti ember bocor.
“Jalan kaki itu sehat!" teriak Bu Maryam ketika roda dua itu kian menjauh.
Nesha sendiri menggenggam erat tangan sang mertua sebagai kode agar tidak tersulut emosi. “Sudah, Bu ... biarkan saja. Kan, dekat ini warungnya. Sekalian jalan-jalan juga. Sekalian saya mencari udara segar,” ucap Nesha berusaha menenangkan sang mertua.
Keduanya kembali melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di warung yang keadaannya selalu ramai. Sebagai warga negara yang baik, Nesha pun memili antre. Ketika tengah menatap sekeliling warung, matanya melihat roda dua yang tadi melewatinya. Benar saja, Bu Peni pun tengah ikut berdesakan dengan pembeli lain. Namun, ia memilih melihatnya dari arah lain. Bahkan, telinganya mulai samar mendengar dirinya menjadi topik utama.
“Kalian tahu tidak? Tadi pas, aku mau ke sini, aku melihat Bu Maryam dan menantunya kompak banget ke warung. Mungkin sebentar lagi sampai. Pasti capek karena jalan kaki. Tidak seperti saya naik motor. Cepat sampai dan irit tenaga.” Bu Peni terlihat bangga karena merasa selalu di atas mereka.
Nesha yang mendengar hanya tertawa. Ternyata adat kaum hawa masih selalu sama meski waktu berganti kalender ribuan kali, mereka pekerjaannya tetap membicarakan orang lain.
Sementara Bu Maryam semakin berada di puncak amarah. Tenyata peringatan itu dianggap angin lalu semata. “Dasar mulut rusak! Belum kapok juga!” gerutunya sembari menatap sang menantu. “Kamu lihat sendiri, kan? Tahu begini tadi tidak usah ke warung. Ibu damprat saja sekalian!" ujarnya lagi yang tidak tahan melihat perlakuan Bu Peni—tetangga selisih beberapa rumah.
“Tidak usah, Bu! Jangan buat malu diri sendiri! Saya tidak apa-apa. Kita lihat saja sampai giliran belanja kita. Sabar ...,” ujar Nesha yang memang telah terlatih sabar karena kehidupan.
Ketika Bu Peni terlihat tengah menghitung barang belanjaan, pasangan mertua dan menantu itu pun mendekat. Akan tetapi, satu kejadian di luar dugaan tiba-tiba terjadi. Bu Peni lupa membawa uang. Di sakunya tidak berisi sama sekali, tetapi sudah terlanjur memilih belanjaan.
“Duh, kok, uang saya tiba-tiba tidak ada? Tadi ada lima puluh ribu di kantong,” ujarnya dengan wajah panik.
Pemilik warung hanya menggeleng. “Bilang saja mau ngutang, Bu ...,” ujarnya yang kadang menemui pembeli seperti Bu Peni.
“Beneran, Bu. Saya tidak bohong!" jawabnya sembari terus mencari dari kantong baju ke kantong lainnya. Namun, nihil. Entah harus di mana menyembunyikan rasa malu di hadapan pembeli lain. Apalagi di hadapan Bu Maryam dan Nesha setelah apa yang ia lakukan.
“Syukurin! Belagu sih, jadi orang! Sudah gitu mulut seperti ember pecah!” gumam Bu Maryam yang terdengar jelas di telinga sang menantu.
Tanpa diduga, Nesha justru maju dan berdiri di sebelah Bu Peni. “Punya Bu Peni biar saya saja yang bayar. Nanti ditotal saja sama belanjaan saya dan Ibu. Ibu saya lagi milih,” ucap Nesha tanpa menghiraukan tatapan puluhan mata di sampingnya.
Sementara Bu Maryam melebarkan bola matanya melihat kelakuan sang menantu.
“Nesha ... kamu ini! Apa tidak ada rasa marah dalam dirimu?! Kamu itu habis dikata-katain tapi masih bersikap baik? Ya, Gusti ....”
Bersambung