CK BAB 11 A

1229 Words
CINTA KEDUA 11 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Kecantikan bagi seorang perempuan memang mampu menaikkan rasa percaya diri. Bahkan, bisa menyelipkan rasa bangga karena terlahir cantik dan didukung berbagai macam kosmetik. Entah sadar atau tidak, setiap perempuan mana pun akan selalu menginginkan sempurna pada wajah. Ya, termasuk Nesha—wanita yang akan mengangkat tangan lebih dulu jika harus berhubungan dengan kosmetik. Bukan tidak ingin terlihat cantik, tetapi memang tidak bisa merias diri. Ada segenggam kecewa jika undangan itu mengharuskan tampil cantik, sedangkan dirinya hampir tidak pernah menyentuh bedak sama sekali. “Apa aku harus ikut? Atau aku biarkan Mas Arfan berangkat sendiri?” tanya Nesha pada diri sendiri sembari menatap undangan di genggaman. Namun, jauh dalam hati ada ketidakrelaan jika melepas Arfan sendiri tanpa dirinya. Dari belakang, pria yang baru menyelesaikan makan melihat wanitanya masih berdiri di pintu. Arfan mendekat, lalu bertanya, “Siapa yang datang? Kok, masih di situ terus?” Nesha sedikit terkejut, lalu berbalik dan memberikan undangan pada sang pria dengan wajah suram. “Tadi temen kamu datang dan kasih undangan ini. Katanya aku juga boleh ikut. Tapi ...,” jelasnya. Akan tetapi, bibir mendadak tertutup mengingat syarat kehadiran yang mewajibkan tampil cantik. Arfan seketika menatap wanitanya dan undangan secara bergantian. “Tapi apa? Malah berhenti ngomongnya,” tanyanya lagi mencari tahu apa yang menghilangkan cerah pada wajah wanitanya. “Tapi kalau ke sana diwajibkan tampil cantik. Kamu tahu sendiri kalau aku jarang dandan. Bahkan, hampir tidak pernah. Kalau tidak ikut, nanti kamu dikira masih sendiri sama temen-temenmu,” jawab Nesha bersamaan kecewa yang terus membakar d**a. Sementara pria yang mulai mengerti karena telah membaca undangan hanya bisa tertawa. Baginya, sosok Nesha tidak berubah dari awal kenal hingga kini menjadi bagian hidupnya. Ya, ia selalu saja memiliki kerendahan diri dan berpikir semaunya. Arfan mengacak lembut rambut yang masih basah dan tersenyum simpul. “Dasar! Dari dulu kenapa jadi orang selalu tidak percaya akan diri sendiri. Bagiku, kamu itu cantik alami. Bukan karena kosmetik yang ahli dan operasi. Apa kamu tidak merasa kalau kamu itu juga cantik?” tanya sang pria yang akan selalu menjadi sandaran untuknya saat dulu dan kini. Wanita pecinta huruf itu mengangkat wajah sambil merapikan rambutnya. Membenarkan ucapan pria yang kini berada di depan mata, bukan khayalan semata. Ia juga mengakui kalau krisis kepercayaan diri sebab kehidupan pernah memukulnya tanpa ampun. Bahkan, membuatnya menjadi sosok pendiam dan suka berpura-pura. Hingga langkahnya menuntun jemari bertemu literasi dan seorang Arfan. “Aku tidak bisa menilai diri sendiri sejak dunia sering mengajak bercanda. Aku hanya berpikir bagaimana caranya agar tidak semakin jatuh dan jatuh. Bahkan, aku hampir tidak peduli akan hidup sendiri.” Nesha menjawab dengan lelehan bulir bening yang perlahan membasahi pipi. Entah kenapa, kisah lalu selalu membuat hatinya lemah. Di mana dirinya harus belajar memahami dunia dan menjadi dewasa dalam usia dini. Ditambah lagi kapal pertamanya berlayar tanpa arah karena sang nahkoda tidak punya ketetapan iman. Akan tetapi, bertemu literasi dan pria yang kini berdiri di hadapan mengajarkan kembali apa arti kesabaran dalam penantian doa. Sebagai pria yang memberi janji selalu ada sejak terikat rasa di atas kesalahan, Arfan membawa raga kuat tapi lemah itu dalam pelukan. Mengecup rambut yang masih beraroma wangi sampo degan lembut. Walaupun dulu pernah berniat meninggalkan untuk bertahan, tetapi kenyataan justru menariknya kembali pada perasaan yang memang sulit dijelaskan. Hingga takdir benar-benar membuat keduanya harus kehilangan untuk mendapatkan. “Jangan nangis lagi, Sayang ... kenapa masih cengeng aja sih? Maaf, kalau gara-gara ini kamu jadi inget masa lalu. Bagiku, kamu itu tetap spesial. Tidak berubah dari dulu. Aku suka kamu yang apa adanya, meski jujurmu kadang kerap membuatku ingin marah. Tapi, lagi dan lagi aku tidak bisa meluapkan semua itu. Kamu tidak perlu ikut sesuai undangan. Kalau misal kamu malu, ya, kita di rumah aja. Malah nanti kita bisa melanjutkan ronde kedua,” ujar Arfan yang selalu berkata dengan akhir tawa. Nesha perlahan menghapus pipi yang basah dengan punggung tangan, lalu melepaskan diri dari pelukan sang pria. Entah kenapa mendengar ronde kedua membuat diri merasa ditelanjangi canda. Karena di saat situasi membuat hati seolah teriris, tetapi Arfan malah menjadikan obrolan berakhir senyum manis. “Maaf ... aku tidak bermaksud cengeng. Tapi, beneran kalau ingat masa dulu jadi gampang nangis. Aku hanya sedikit malu kalau kita hadir di acara itu, tapi aku tidak mau jadi orang yang membatasi gerakmu,” jawabnya lagi dengan suara penuh sesal. “Yakin? Berarti tidak mau mengulang hal tadi? Kenapa? Padahal kalau setiap waktu, aku pasti akan selalu siap bersedia,” goda Arfan yang sengaja ingin menerbitkan bulan sabit di wajah wanitanya. Seketika satu cubitan manja mendarat tepat di pinggang sang pria. “Tidak udah becanda, Mas ... lagi serius juga!” ujar Nesha yang melihat ada rintihan senyum pada wajah pria di hadapannya. “Aku juga duarius, Sha ... aku beneran tidak mau membuat kamu melakukan apa yang tidak kamu inginkan. Tidak hadir pun, aku tidak masalah,” jawab Arfan sembari mengusap pinggang bekas cubitan. Ada sisa panas yang masih menjalar di sepanjang kulit. Wanita yang tidak pernah lelah menaruh harap pada seorang Arfan sejak dulu hingga sekarang hanya bisa menatap dalam. Nesha tahu betul kehadiran diri dan prianya kemungkinan besar akan menjadi tema hangat jika mengingat perjalanan yang telah dilalui untuk bisa di titik bersama. Akan tetapi, ia sadar tidak mungkin selamanya bersembunyi, mau tidak mau tetap harus menghadapi, bukan malah lari. Apalagi dirinya pun akhir-akhir ini menjadi buah bibir tetangga. Meski tidak mendengar langsung, tetapi sang ibu mertua selalu bercerita dan menjadi tameng untuknya. Nesha menarik napasnya dalam, lalu mengembuskannya perlahan sebelum membuka bibirnya. “Tapi, aku ingin tahu teman-temanmu di sini, Mas ... kan, tidak enak juga sama Ravi. Aku pengin dateng,” jawabnya, lalu menyembunyikan pandangan ke bawah. “Ya udah, kalau kamu pengin dateng, kita dateng. Dasar ngeyel! Tapi inget, apa pun yang terjadi di sana nanti ... aku tidak mau lihat kamu nangis,” tegas Arfan seakan memberi peringatan. “Ehm ... aku tidak bisa janji.” Nesha menjawab dengan dua jari membentuk huruf V. “Dasar, kamu! Ya udah, kita ke kamar aja. Tiduran berdua sambil nunggu azan. Sekalian aku pengin baca buku yang kamu kasih dulu,” ajak Arfan yang langsung mendapat persetujuan. Ya, buku yang terselip cerita saat dulu berjalan di atas duri menjadi sejarah abadi untuk kisah tanpa arah. Nesha sengaja menuliskan sebagai bentuk doa agar hubungan yang ada pun bisa menemukan ending seperti tulisan dalam buku. Sekarang, langkah keduanya benar-benar beriringan meski pernah terbalut lara hingga meninggalkan banyak cedera. Ketika langkah hampir mendekat pintu kamar, satu pertanyaan dari wanita yang memiliki tempat tertinggi pada hidup sang pria membuat kedua orang itu berhenti. “Fan, tadi seperti ada tamu. Siapa?” tanya sang ibu yang sabar mendengar menantunya bicara dengan seseorang. “Itu kertas apa di tanganmu,” tanyanya lagi saat melihat kertas layaknya undangan dalam genggaman. Arfan menoleh, menatap sang ibu sebagai bentuk menghormati berbicara pada orang tua. “Kata Nesha sih, tadi Ravi ke sini kasih undangan. Seperti pesta ulang tahun pernikahan mungkin ...,” jawabnya tanpa menutupi. “Oh ... ya udah. Terus kalian berdua mau datang?” Sang ibu memastikan. “Insyaallah, Bu ... lagian mumpung aku juga masih di sini.” Arfan mengiakan dengan setengah kepastian. Karena jujur, ada keraguan dalam hati untuk wanitanya yang berjanji tidak akan menangis selama acara. “Ya udah. Jagain mantu ibu kalau ada teman yang ngomong sembarangan,” pesan sang ibu. -----***----- Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD