CINTA KEDUA 4
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Rasa penasaran bisa saja ada ketika melihat orang terdekat dulu bisa bahagia dengan kehidupan setelahnya. Apalagi saat bersamanya dulu hanya menyisakan perdebatan karena keadaan dan kadar perasaan berkurang dan mungkin hilang. Bukankah wajar jika menimbulkan satu pertanyaan bagaimana bisa wanita setelahnya terlihat begitu harmonis dan jauh lebih bahagia. Akan tetapi, jika pertanyaan itu menyeret ranah privasi bukankah sebagai wanita kedua bisa menolak untuk menjawab?
Nesha masih mencari maksud apa yang tersirat dari wanita di depannya. Namun, pikiran untuk tidak berburuk sangka segera ditepisnya. Dengan senyum yang memang tidak pernah dibuat-buat, Nesha menjawab, “Saya bahagia dengan apa pun yang ada di diri Mas Arfan, Mbak ... terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya. Dia mungkin memang bukan suami sempurna, tapi aku merasa sempurna jika bersamanya. Itu saja.”
Wening hampir tertawa mendengar jawaban wanita di depannya. Entah itu untuk menutupi hal yang sebenarnya atau sekadar membuat hatinya panas. Sebab dulu dirinya tidak bisa bersikap seperti Nesha pada sang mertua dan juga Arfan setelah dihantam banyak badai.
“Kamu itu bodoh atau lugu sih, Sha? Di mana-mana tujuan pernikahan hanya untuk mendapat keturunan dan menghindari zina. Kamu itu munafik kalau tidak memiliki hasrat dan gejolak,” ujar wanita yang pernah merasa begitu kecewa pada seorang Arfan dengan sikap dan sifatnya dulu.
Wanita yang paham betul ke arah mana pertanyaan itu berusaha menahan gemuruh d**a dalam getirnya tawa. Ada rasa ingin menjawab tapi nurani menahan agar tidak ikut terbawa obrolan yang menurutnya pribadi. Akan tetapi, suara sang ibu mertua berhasil mengalihkan segalanya.
‘Iya, sudah. Kalau mau pulang, kamu hati-hati. Kasian Nesha di rumah jadi bahan ghibah tetangga. Atau sekalian nanti kamu ajak dia saja. Atau sebulan di sana, sebulan di sini. Biar Ibu merasa adil,' ujar Bu Maryam seperti anak yang sedang merajuk.
‘Iya, nanti habis dari warung langsung pulang. Tidak jadi jajan bakso. Ya sudah, Nesha nanti kelamaan ketemu sama si Wening. Kamu baik-baik di situ. Jaga kesehatan. Ingat ada Nesha di sini yang menunggu.’ Pesan seperti demikian entah sudah berapa kali terucap ketika sang anak menghubungi lewat sambungan telepon.
Ketika telepon berhenti, Bu Maryam segera menghampiri dua menantu beda masa. Ada aroma keadaan tidak menyenangkan yang tercium. Apalagi wajah sang menantu yang terlihat bersembunyi pada pandangan lain. Dengan cepat, ia menghampiri dan mengembalikan ponsel pada Nesha.
“Sha, ini hapenya. Kita pulang sekarang. Kamu lupakan saja kejadian hari ini. Ibu tidak jadi ingin bakso. Tadi Arfan sudah menyuruh kita pulang,” ucap Bu Maryam tanpa peduli pada orang yang melihatnya seperti kurang suka. “Dan, kamu, Ning ... kamu tidak perlu tahu bagaimana cara Arfan dan Nesha bisa bahagia. Karena sikap dan cara suami itu akan tergantung bagiamana sikap istri dalam menanggapi dan menerima segala cobaan kehidupan,” imbuhnya lagi sembari menatap wanita yang dulu pernah menjadi bagian dari anaknya.
Nesha sendiri memilih diam saat sang mertua bicara panjang kali lebar. Meskipun ada rasa yang entah, tetapi sebagaimana menantu hanya diam caranya menghormati keduanya. Sebelum langkah menjauh, Nesha menundukkan kepala sebagai bentuk sopan santun karena pulang lebih dulu.
“Mari, Mbak Wening ... saya duluan," ucap Nesha, lalu melangkah menjauh tanpa lagi menoleh ke belakang. Seperti kehidupannya dengan Arfan yang tidak ingin lagi menoleh masa lalu. Seandainya pun menoleh hanya sebatas bercermin akan kesalahan dulu. Tentang perasaan seorang Wening, biarlah menjadi urusannya. Ia tidak mau lagi berpikir yang tidak-tidak dan berujung cemburu dan berakhir perdebatan. Karena baginya, selama berjalan bersama dengan Arfan setelah pernikahan adalah hal yang paling berkesan dan memberikan banyak pembelajaran tentang kesabaran dan keikhlasan.
Kedua wanita beda usia itu melangkah meninggalkan warung dan seorang Wening yang mungkin tengah bergelut dengan pikirannya. Nesha ingin sekali-kali memikirkan perasaannya sendiri, tidak lagi merasa bersalah atau pun menyalahkan siapa pun atas kehidupannya. Entah cara mendapat seorang Arfan termasuk hina atau tidak, biar Tuhan yang menghakimi.
Langkah mertua yang sedikit cepat membuat Nesha kewalahan mengikutinya. Ia mendadak merasa bersalah karena nekat pergi ke warung. Mungkin seharusnya menurut sejak mengetahui sang mertua melampiaskan amarah di rumah.
“Jalannya bisa pelan, tidak, Bu? Saya jadi lapar,” rajuk wanita yang gagal membeli jajan bakso setelah kembali dari warung.
Sang mertua menoleh, menatap menantu yang selalu tidak tertebak jika berhadapan dengan orang-orang seperti di warung. “Biar cepat sampai rumah, Sha. Laparnya ditahan dulu. Bentar lagi ini. Dan tidak usah jajan bakso. Tadi Arfan suruh langsung pulang,” jawabnya sembari menahan d**a yang bergemuruh sejak mencuri dengar obrolan mereka saat menerima telepon di warung.
Nesha mengembuskan napasnya kasar, “ Tapi, aku pengin, Bu ...,” ujar wanita yang kadang ingin sesekali membeli jajanan setelah lelah bergumul dengan tulisan.
“Sudah, sih, Sha ... nurut saja kata Ibu!” ujarnya yang tidak bisa lagi ditawar. Jauh di dalam hatinya ia ingin membahas tentang obrolan sang menantu dengan mantan menantu. Entah kenapa ada sesuatu yang Arfan dan Nesha sembunyikan darinya, tetapi tidak tahu apa.
Wanita yang ingin mempunyai sosok ibu kedua kali lantas menurut. “Iya, Bu, iya ... kita pulang,” jawab Nesha yang akhirnya mengalah.
Keduanya kembali melanjutkan perjalanan hingga sampai di tempat tujuan, yakni rumah. Walaupun tidak terlalu jauh tapi cukup mengeluarkan tenaga. Sebab langkahnya dibarengi pikiran yang entah berkelana ke mana. Akan tetapi, bibir mencoba diam tanpa ingin mengeluh di tempat.
Lima menit berlalu, dua wanita yang diikat kekuatan kekeluargaan atas dasar cinta akhirnya sampai di rumah. Nesha sendiri langsung membuka pintu dan membiarkan sang mertua masuk lebih dulu, baru dirinya.
“Ibu haus tidak? Saya ambilkan minum ya?” tawar Nesha sebelum menjauh untuk menaruh barang belanjaan.
“Boleh, deh ...,” sahut sang mertua sembari mengibaskan ujung hijab untuk mengusir gerah.
“Oke. Tunggu sebentar.” Nesha bergegas ke dapur untuk mengambilkan yang mertua inginkan. Namun, sebelumnya ia membuka s**u yang dibeli, lalu membuat segelas. Tentang sang mertua biarlah minum air putih untuk menjaga kesehatannya.
Setelah semua siap, ia kembali dengan dua gelas di tangan masing-masing. Satu gelas air putih diletakkan tepat di hadapan sang mertua. Satu lagi untuk dirinya sendiri. Keduanya saling menikmati minuman yang berbeda tapi sesuai untuk tubuh masing-masing. Akan tetapi, saat bibir baru selesai melepas sentuhan ujung gelas, satu pertanyaan dari sang mertua berhasil membuat Nesha tersedak.
“Sha, tadi maksud pertanyaan Wening apa? Apa Arfan sebenarnya tidak bisa membuat bahagia untuk kesesuaian wanita sejati? Kenapa Wening begitu ingin tahu kehidupan kalian? Kamu juga, apa benar tawamu itu adalah benar sebuah kebahagiaan? Bahagia bisa menjadi bagian dari Arfan dan keluarga ini?” Sang mertua bertanya dengan wajah serius. Tanpa ada guratan canda apalagi tawa di wajahnya.
Seketika wanita yang memang bahagia bisa menjadi bagian seorang Arfan terdiam meski harus menahan tenggorokannya dari kesedakan. Baginya, sejauh apa prianya dari kata sempurna, Arfan adalah pria yang ingin ia ajak menikmati sisa hidup. Asalkan tetap saling menerima dan menjaga segalanya dengan hati untuk hati. Namun, untuk memberitahu alasan tawa ini sungguhan atau bukan adalah hal yang belum ingin dilakukan sebelum ada kesiapan dan kesepakatan.
“Maafkan saya, Bu ... saya tidak bisa memberi tahu ketidaksempurnaan yang ingin kami sembunyikan. Karena kesempurnaan sesungguhnya adalah ketika saya bisa melihat dan memeluk pria yang selama ini saya perjuangkan dalam doa.”
-----***-----
Bersambung