RMC Hospital

1497 Words
Hamish merasakan sebelah tangannya kebas, bersamaan sesuatu yang menindih di sana. Ia menarik napas dalam, bersamaan sesuatu yang merapat dan seperti sebuah tangan jatuh di satu tempat pribadinya. Hamish seketika membuka mata, kemudian menoleh dan mendapati wajah Lea begitu dekat. “Oh, bisa-bisanya kami tertidur di sini!” dia menoleh pada televisi yang mati. Hamish sebelumnya memang sudah mengatur, seperti kebiasaannya yang bisa tertidur di sana jika ada pertandingan bola sampai dini hari, Hamish menyiasati agar saat tertidur, televisi mati otomatis. Tapi, entah bagaimana Lea pun tertidur di sana begitu dekat, merapat. Sisa-sisa bungkus makanan semalam pun masih ada tak jauh dari mereka berada. “Lea!” Hamish menggeram saat tangan Lea kian jatuh, tepat area pribadinya. Hamish segera menarik tangan Lea menjauh. Bernapas lega, hanya sesaat karena kemudian Lea kian bergeser membuat hangat napas mendera sisi wajahnya. Hamish menoleh membuat ujung hidung mereka bersentuhan. “Kamu akan salah paham,” tebaknya. Hamish bergerak pelan, menahan kepala Lea dan berhasil menarik tangannya. Dia duduk, kemudian menggerak-gerakkan tangannya yang kebas lalu kesemutan. Dia berbalik, kembali menoleh pada Lea, dan itu sebuah kesalahan saat matanya menatap ujung gaun tidur gadis itu tersingkap sangat tinggi. Menjadi satu pemandangan yang membuat Hamish buru-buru berpaling. Matanya mencari sesuatu yang bisa menutupi bagian kaki wanita tersebut sampai menemukan sebuah jaket miliknya. Hamish meraih itu, menutupi bagian setengah pahanya ke atas. Hamish bergerak memeriksa ponselnya, tidak lama Lea mulai bangun dari tidurnya. Gadis itu bergerak pelan lalu membuka mata. Pemandangan pertama Lea pagi itu adalah Hamish yang terduduk. “Hamish…” panggilnya dengan suara serak, bingung dan itu buatnya refleks terduduk. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Hamish menoleh, “bukan aku, tapi kita berdua tertidur di sini.” “Huh?” Lea terkejut, kemudian coba mengingatnya sampai ia tahu Hamish tidak berbohong. Ia memang sangat mengantuk setelah habiskan satu burger, mengobrol dengan Hamish dan enggan beranjak sampai ia pilih berbaring di sana dan tertidur. “Kita sepertinya kesiangan, aku akan minta salah satu pekerja membersihkan kekacauan di sini. Lalu aku bersiap ke kantor.” Kata Hamish, bergegas bangun. Lea masih perlu waktu untuk membuat nyawanya terkumpul. “Kamu ada jadwal hari ini?” Lea mengangguk, “aku berangkat jam sepuluh.” “Pakai mobilmu, jangan naik taksi. Bunda akan tahu—” “Lalu memintamu menjemputku lagi?” Lea langsung menebak, “tenang saja, aku juga tidak suka merepotkan,” Hamish hanya mengedikan bahu santai, kemudian berbalik pergi. Lea masih terduduk kemudian menyadari sebuah jaket milik Hamish tersampir di pahanya. Dia menyisir rambut dengan jemari, kemudian melipat jaket tersebut saat itulah aroma Hamish melekat sekali di jaket dan tubuhnya. Pagi itu hanya Hamish yang tahu posisi tidur mereka, Lea tidak mengetahuinya sama sekali. Setelah pagi, semua kembali ke setelan awal. Dingin, seolah kedekatan semalam hanya mimpi. “Nona Lea, Pagi.” “Pagi,” Lea canggung sendiri begitu seorang pekerja di rumah itu datang untuk membersihkan ruangan televisi tersebut. Lalu Lea segera berlalu ke kamar yang ia tempati. Saat ia kembali turun sudah segar, setelah mandi dan ganti pakaian, ia melihat Hamish pun sudah rapi dengan setelan formal ke kantor. Tatapan mata mereka beradu singkat, Hamish tengah bicara dengan seseorang di telepon dan melangkah melewatinya. “Oh iya, Lea,” Hamish menjauhkan ponsel, menutup dengan satu tangannya dan berbalik memanggil Lea. Lea menoleh, “ya?” “Bunda dan Ayah sore nanti sudah sampai. Halim juga.” Lea mengangguk, “ya,” Hamish hanya perlu menginfokan itu dan berbalik pergi. Lea menatap punggungnya. Jika Hamish dan Halim berhadapan, Lea masih sulit membedakan. Tapi, kini ia tahu selain sikap, style mereka pun punya selera tersendiri. Hamish lebih suka jika berkemeja seperti barusan, tanpa dasi dan dua kancing teratas dibiarkan terbuka. Lea berjalan ke belakang rumah, membentangkan matras berwarna ungu, mulai lakukan meditasi. Suara pancuran air terjun buatan di sana membuatnya tenang, ditambah suara kicauan burung-burung. Dia baru beberapa menit saat merasa di pandangi. Dia membuka mata dan benar memang tengah ditatap seseorang. “Oh Ya ampun! Hamish!” Sangat terkejut, Hamish ternyata kembali dan entah berapa lama memandanginya. “Ada satu lagi yang lupa kusampaikan,” “Ya?” “Vanya menanyakan dirimu, jangan lupa cek pesannya.” Lea memang belum sama sekali memeriksa ponsel. Selama tidak ada panggilan darurat dari rumah sakit, ia berpikir aman dan punya waktu untuk tenang. *** RMC Hospital… Lea meletakan jasnya, baru saja melakukan visite pada anak berusia lima tahun yang baru melakukan tindakan biopsy di area lehernya. Kondisinya semakin membaik, sore ini bahkan sudah bisa di bawa pulang. Dia memeriksa hasil lab milik pasiennya, lalu laporan lainnya. Hari ini ada satu tindakan operasi bedah untuk anak perempuan yang baru berusia dua tahun. Operasi besar yang berjalan lancar, tetapi tiba-tiba ada panggilan darurat. “Dok, pasien yang baru melakukan operasi kondisinya drop. Dokter di minta ke ICU.” Beritahu perawat yang khusus di ICU anak tersebut. Membuat Lea bergegas mengambil jas. Ia berjalan dengan langkah yang begitu lebar, sebisa mungkin cepat sampai. Ada dokter senior di sana, yang sudah memeriksa. Lea mendekat, segera ikut memeriksa. Namun, kondisi anak itu tiba-tiba kejang. “Dok, pasien kejang. Denyut jantungnya mengalami bradikardia!” kondisi pasien mengalami jantung yang berdetak terlalu lambat. Segalanya berjalan begitu cepat, Lea mengambil alih Defribrilator, berusaha untuk mengatasi aritmia jantung. Agar kembali normal. “Dokter Lea, pasien—” bersamaan suara perawat memberitahu tindakan mereka tidak bekerja sama sekali, suara mesin Elektrokardiogram itu berbunyi panjang. Lea menatap layar dengan beberapa garis di sana yang seharusnya bergerak justru berubah lurus. Lea tidak mau menyerah, sebagai dokter ia berusaha yang terbaik untuk setiap pasiennya. Namun, saat semesta pun menyerah pada pasiennya, Lea hanya bisa berdiri kaku. Memandangi pasien berusia dua tahun tersebut, dokter seniornya menepuk bahu Lea. “Kamu sudah berusaha, Lea. Kita harus sampaikan berita duka ini pada orang tuanya yang menunggu.” Hal terberat yang harus dipikul seorang dokter adalah menyampaikan berita duka kepada keluarga pasien akan kematian pasien yang telah dipercayakan padanya. Lea mencoba menenangkan Ibu dari pasien yang baru tiada, dia menunduk dan meminta maaf, “maaf, Bu. Saya dan tim sudah berusaha memberikan yang terbaik.” Kejadian seperti ini akan sangat membekas, bahkan sampai ia selesai bertugas dan pulang. Lea tidak langsung pulang, ia mampir ke sebuah kafe. Memesan kopi. Duduk merenung. Ia baru duduk sekitar lima belas menit saat seseorang menyapanya, “Ileana?” Dia menoleh, senyum mengembang mengenali temannya. Sesama dokter, hanya bertugas di tempat berbeda. Inez Lekisha. Dia bekerja sebagai dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi. Lea berdiri, memeluk dan cipika-cipiki dengannya. Mengajaknya duduk. “Apa kabar, Inez?!” “Baik!” angguknya, “kamu di Jakarta dari kapan?” “Hampir dua bulan,” beritahunya. Inez dan dia bertemu saat sama-sama sekolah kedokteran di The University of Sydney, berpisah sementara Lea lanjut kuliah spesialis bedah anak di University of Cambridge. “Kenapa tidak kabari sih? Kita kan bisa bertemu dari lama?!” decak Inez. “Aku ganti ponsel dan nomor, tidak simpan nomor ponselmu lagi, kupikir sudah lama juga, mungkin kau mengantinya.” Dulu saat mendapati angkatannya ada mahasiswa asal Indonesia, Lea sangat senang. Mereka langsung akrab, Inez bahkan ia kenalkan pada keluarganya. Mereka mengobrol banyak hal terutama seputar pekerjaan masing-masing, atau nostalgia saat jaman kuliah dulu yang mampu membuat hati Lea sedikit membaik. Lalu seorang pria yang merupakan suami dari Inez, berprofesi sebagai dokter senior yang cukup terkenal, pria itu menghampiri mereka. “Giyan Prakoso. Suamiku seorang dokter spesialis Andrologi,” Inez mengenalkan pada Lea. “Jadi selama ini Dokter Lea tinggal di mana?” tanya Giyan setelah bergabung. “Masih menumpang di rumah kerabat dekat Papa, sambil menunggu tempatku selesai di renovasi.” “Berikan nomor dan alamatmu, kapan-kapan kami mampir.” Kata Inez. Angguk Lea, memilih memberikan alamat rumah Lais lebih dulu. Inez mencatat. Kening Inez maupun suaminya, Giyan mengernyit. “Jadi, kamu siapanya keluarga Lais? Masih kerabat Prof. Kaflin Lais?” Kaflin Lais memang sangat popular di antara para tenaga medis Indonesia. Selain direktur utama RMC hospital, juga punya posisi penting di Asosiasi dokter se-Indonesia bahkan Asia tengara. Sudah menyandang gelar professor, ditambah nama belakangnya pun terkenal sebagai keluarga konglomerat. “Ya, Prof. Kaflin Lais adalah teman Papa,” “Hamish ini adalah salah satu putranya, kan?” tanya Giyan. Lea mengangguk, “Hamish Benedict Lais? Dokter Giyan mengenalnya juga?” “Ya,” Giyan kemudian terlihat tidak enak. “Teman atau pasien dokter Giyan?” tebak Lea langsung. Jika teman, rasanya tidak mungkin. Jika Hamish adalah pasiennya, apa yang terjadi padanya? “Dia sudah tidak pernah datang, hanya dua pertemuan saja. Jadi, jangan katakan apa pun saat bertemu, kamu tahu itu sangat privasi,” Kini yang membuat Lea bertanya-tanya, Hamish bagian dari keluarga Lais jelas bagian dari anggota prioritas di RMC Hospital. Mengapa Hamish perlu pergi ke rumah sakit lain? Apa artinya dia menyembunyikan sesuatu dari keluarganya? Dokter Giyan jelas punya jawabannya, tetapi seperti sumpahnya sebagai dokter, ia tidak akan membuka privasi pasien ke publik, atau ia bisa dituntut untuk itu. Kini, Lea mulai memikirkan akan yang Hamish hadapi sampai pergi menemui Dokter Giyan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD