Bab.5. Sekolah baru

1434 Words
Setelah selesai sarapan, semua bersiap-siap untuk berangkat. "Nadin, hari ini di antar Mama," ujar Bu Dian. "Mama nggak kerja?" tanya Nadin dengan nada yang santun. "Enggak, Nak. Sengaja ambil cuti untuk hari ini," jawab Bu Dian. Nadin hanya menganggukkan kepala, lalu mengekor di belakang Bu Dian yang sudah terlebih dahulu jalan menuju mobil. "Ma, maaf jadi ngerepotin. Nadin sebenarnya bisa naik angkot, kok," ujar Nadin, sembari masuk ke dalam mobil. "Jangan, sayang. Sengaja nganter kamu, soalnya mau daftarin kamu di sekolah baru juga yang lebih dekat dengan rumah kita tentunya," jawab Bu Dian. Nadin yang mendengarnya, seketika terperangah merasa tak percaya dengan semua ini. "Pindah, Ma? Aku nggak apa-apa kok di sekolah yang lama," elak Nadin, alasan sebenarnya dia tak ingin jauh dengan Candra Bu Dian hanya menoleh ke arah anaknya sembari tersenyum, sengaja tak ingin menjawab pertanyaannya. Nadim sebenarnya merasa gelisah, sebab tak ada kata pisah sebelumnya tetapi harus seperti ini dngan sahabat karibnya itu. "Sekolahannya dari rumah nggak jauh kok, Nad. Bisa di tempuh menggunakan sepeda," ujar Bu Dian. Nadin pun ingin menolaknya, tetapi dia merasa terlalu bawel untuk orang sebaik mereka. Akhirnya dia hanya menjawab dengan menganggukkan kepala. Kemudian Bu Dian bergegas melajukan mobilnya menuju sekolah yang beliau tuju. "Lihat, Nak. Itu sekolahnya," Bu Dian memberitahu, sembari menuju salah satu bangunan yang tak jauh dari tempat mobilnya melaju. Terlihat bangunan itu lebih besar dari yang ada di sampingnya. Lagi-lagi, Nadin hanya merasa minder dengan perlakuan kedua orang tua angkatnya. "Ma, apa aku pantas sekolah di sana. Lebih baik aku di sekolah lama saja, bagaimana?" tanya Nadin dengan ragu. "Nadin, kenapa tanya pantas atau enggaknya? Semua sekolahan itu sama. Mau siapa aja yang sekolah, tidak ada yang membedakannya. Mama dan Papa hanya mencari solusi agar kamu bisa fokus belajar dan tak merasa capek, jika harus pulang pergi saat sekolah," jawab Bu Dian. Nadin pun menganggukkan kepala. Setelah itu, akhirnya mobil mereka memasuki area sekolah. Gedung ini terlihat menjulang tinggi hendak mencapai langit. Nadin yang baru melihatnya, sontak tertegun merasa kagum. "Ayo, sayang," ajak Bu Dian. Nadin segera melangkah keluar mobil, sekolah yang bersih, besar dan bangunannya terlihat sangat megah. "Ma, aku jadi radi," ujar Nadin. Bu Dian bergegas menggandeng anaknya, agar tak merasa minder. "Sayang, jangan pernah bilang siapa dan dari mana identitas aslimu. Kamu anak Mama Dian dan Papa Aska. Jadi, kalau temanmu bertanya, Mama harap kamu jawab seperti itu," ujar Bu Diam memberitahu. "Iya, Ma," jawab Nadin. Mereka berdua berjalan di lorong menuju ke sebuag ruangan yang cukup jauh dari halaman utama sekolah ini. "Wah, sekolahnya besar ya, Ma," ujar Nadin merasa ragu. "Iya, sayang. Semoga kamu betah dan suka, ya," ujar Bu Dian. Mereka masuk ke dalam satu ruangan yang letaknya tepat di ujung bangunan ini. Sebelum masuk, di samping kanan atas pintu ini terdapat papan kayu bertuliskan "RUANG KEPALA SEKOLAH". "Selamat, pagi," ujar Bu Dian kala baru masuk ruangan ini. Terlihat seorang perempuan, bertubuh gemuk, rambut di gelung (konde) dan berkaca mata. Saat mendengar ucapan Bu Dian, seketika wanita itu mengalihkan pandangannya ke mereka yang sebelumnya memandang laptop yang berada di depannya. "Selamat, pagi. Silahkan, duduk," ujar wawanita itu sembari berdiri dan melemparkan senyum ke mereka berdua. Mereka pun segera duduk, kemudian Bu Dian segera mengucapkan apa yang menjadi tujuan mereka sampai di sini. "Oh iya, Bu. Saya Dian dan ini anak saya, Nadin." Bu Dian menjabat tangan kepala sekolah. Lalu kembali melanjutkan ucapannya, "Saya ke sini bertujuan untuk mendaftarkan anak saya ke sini." "Nama saya Ibu Esty. Anaknya, Ibu sebelumnya sekolah di mana? Dan sekarang kelas berapa?" tanya Bu Esty, selaku kepala sekolah. Bu Dian pun segera menjawab pertanyaan, Bu Esti. Ternyata Bu Dian, sehari sebelumnya saat membawa Nadin ke rumahnya, m sudah meminta tolong ke suami ibu panti untuk mencabut surat-surat yang ada di sana. Sebab, alasannya ingin pindah ke sekolah yang baru ini. Bu Dian segera menyerahkan berkas-berkas yang menjadi pelengkap syarat masuk di sekolahan ini. Setelah semua selesai, akhirnya Nadin sudah sah menjadi siswi di sekolah barunya. "Oke, semua perlengkapan sudah cukup dan lengkap. Nadin bisa mengikuti pelajaran mulai hari ini dan untuk seragamnya, bisa di selesaikan administrasinya terlebih dahulu. Jika nanti semua sudah beres, nanti saat istirahat saya berikan perlengkapan seragam dan atributnya," jelas Bu Esty. "Baik, akan saya urus sekarang. Apa bisa bayar di Ibu langsung, biar sekarang juga bisa berganti seragam barunya?" tanya Bu Dian. "Oh, Bisa sekali, Bu. Sebentar saya ambilkan perlengkapannya," jawab Bu Esty sembari beranjak dari tempat duduknya dan segera melangkah menuju luar ruangan. Entah beliau hendak pergi ke mana, yang terpenting Nadin dan Bu Dian sama-sama bahagia bisa masuk ke sekolah ini dengan cepat dan tanpa halangan satu apapun. "Alhamdulillah, Nadin. Akhirnya, kamu resmi menjadi siswi di sini. Apa kamu bahagia?" tanya Bu Dian. "Iya, Ma," jawab Nadin, namun di raut wajahnya tak mengekspresikan jika dia benar-benar bahagia akan semua itu. Bu Dian bergegas memeluk anaknya itu, sepertinya beliau tak begitu mengerti apa yang saat ini di rasakan anaknya itu. Dalam hati Nadin berkata, 'Candra, aku bahagia bisa masuk dan mencari ilmu di sekolah yang elit. Tetapi, di sisi lain aku merasa sedih, sebab terhitung mulai hari ini aku susah untuk bertemu kamu kembali.' Tak berselang lama, Bu Esty kembali sembari membawa perlengkapan yang akan digunakan Nadin. Bu Dian yang melihatnya, lagi-lagi tersenyum merekah. "Ini, untuk perlengkapannya. Saya rasa untuk seragam merah putih dan pramuka tetap sama, hanya seragam olahraga dan batiknya saja yang membedakan," ujar Bu Esty sembari menyerahkan itu ke Bu Dian. Setelah dijelaskan, Bu Dian segera menyelesaikan pembayarannya agad anaknga dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Saat semua sudah di rasa cukup, Bu Esty memperbolehkan Nadin untuk segera masuk ke dalam kelasnya. Tentu saja, Nadin diantar Bu Esty untuk mengetahui di mana letaknya di sekolah yang sebesar ini. "Baik, Nadin silahkan saya antarkan," ujar Bu Esty sembari beranjak berdiri. Nadin pun melihat ke arah mamanya dan menjabat tangannya sembari berkata, "Ma, Nadin sekolah dulu." "Iya, sayang. Sekolah yang pintar, nanti Mama jemput lagi," ujar Bu Dian. "Iya, Ma," jawab Nadin. Kemudian, dia berjalan mengekor di belakang Bu Esty. Dalam hati Nadin berkata, 'Ya Allah, sekolah sebesar ini kalau aku kesasar bagaimana? Lalu, kalau mau ke toilet, aku harus berjalan ke mana arahnya? Takut nyasar.' "Nadin, silahkan masuk. Nanti, di dalam bertemu Bu Zahra, dia wali kelas kamu di kelas 3C ini. Nadin segera tersenyum dan menjawab, "Baik, Bu. Terima kasih." Bu Esty membuka pintunya dan Bu Zahra bergegas menghampiri, saat melihat mereka berdua. "Kenapa, Bu?" tanya Bu Zahra ke Bu Esty. "Bu Zahra, inu Nadin. Dia murud baru di sini, mohon bimbingannya," ujar Bu Esty. "Baik, Bu. Ayo, Nadin," kata Bu Zahra. Bu Zahra dan Nadin segera masuk, sedangka Bu Esty kembali menuju ruanganya. Mereka berdua berdiri di depan papan tulis uang terletak di ruangan ini. "Mohon perhatiannya, anak-anak. Kenalkan ini teman baru kita!" ujar Bu Zahra. Nadin hanya menganggukan kepala sembari tersenyum ke arah temannya, sebelum Bu Zahra mempersilahkan dia untuk mengenalkan diri. "Silahkan, Nadin kamu perkenalkan diri kamu," perintah Bu Zahra. "Halo, perkenalkan nama saya Nadin," ujar Nadim secara singkat, sebab dia tak tahu harus bicara apa lagi. Lalu, dia melihag ke arah Bu Zahra kembali. "Sudah, Nadin?" tanya Bu Dian. Nadin hanya menganggukkan kepala, sembari menjawab, "Iya, Bu." "Silahkan duduk, di dekat Lily," ujar Bu Zahra. "Hei, Nadin sini," teriak salah satu siswi di kelas ini. Dia cantik, berkuncir cemol dua dan berkulit putih. "Silahkan, dia itu Lily." Bu Zahra kembali memberitahu. Nadin segera berjalan menghampiri Lily dan duduk tepat di sampingnya. "Halo, aku Lily." Gadis ini segera menengadahkan tangan mengajak Nadin bersalaman. "Hai, aku Nadin. Senang berkenalan denganmu," sapa Nadin sembari membalas jabat tangan Lily. Mereka berdua saling bertatap mata dan senyum satu sama lain. "Oke, anak-anak. Kita kembali ke pelajaran lagi. Untuk Nadin, sementara bukunya jadi satu ke Lily, ya. Yang penting keluarkan satu buku untuk mencatat!" perintah Bu Zahra. "Baik, Bu," jawab Nadin. Lily pun anak yang terlihat baik dan sangat antusias kala mendapatkan teman seperti Nadin. Mereka pun mengikuti pelajaran dengan baik, walaupun bukunya menggunakan satu untuk berdua. Pelajaran pun berjalan dengan lancar, Nadin dan Lily pun tak ada yang merasa terganggu sama lain. Hingga terdengar suara bel istirshat berbunyi. "Nadin, ke kantin, yuk," ajak Lily, sembari menarik tangan Nadin. "Eh, iya," jawab Nadin. Mereka berdua berjalan menuju kantin, yang letaknya membuat Nadin merasa bingung. "Kantinnya di mana?" tanya Nadin dengan polos. "Di lantai satu, hingga lantai tiga semua terdapat kantinnya. Berhubung, kita berada di lantai satu, kita makan di kantin lantai satu saja," jawab Lily Nadin pun kembali menganggukkan kepala. Matanya terlihat celingukkan, melihat lingkungan sekitar yang ia lalui. Sebab, jika dia sendiri, takut ke sasar. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD