1. Menolong Pria Itu
Saat itu malam gelap dan penuh badai. Desahan demi desahan membelah kamar hotel yang saat ini menjadi pertumpahan hasrat anak Adam dan Hawa, lantunan suara desahan benar-benar memancing kenikmatan yang lebih dari sekedar menumpahkan hasrat.
Gadis itu mengimbangi gerakan pria yang tengah menggoyangkan pinggul diatasnya, memberikan sentuhan yang tak bisa ia tolak. Bagaimana ia bisa menolak, jika ini nikmat.
“Pelan-pelan, heemm aah, ” desah gadis itu, meringis perih karena ini pertama kali untuknya. Namun, rasa nikmat mengalahkan rasa perih dibawa sana.
“Tenang, Sayang, sakitnya cuma sebentar. Setelah ini, kamu akan merasakan kenikmatan yang luar biasa, tak ada duanya,” bisik pria itu, wangi mint dari mulutnya menyihir gadis itu.
Mendengar desahan indah yang dilantunkan di telinganya, gadis itu jadi tahu bahwa ternyata pria yang kini menindihnya adalah profesional jika soal beginian.
Hujan diluar sana menjadi saksi bisu percintaan panas mereka. Gelap dan bising, suara kilat yang saling bersahut sahutan seolah menjadi nyanyian paling indah di telinga.
***
(Sebelum kejadian)
Seorang pria dengan setelan jas mahal tengah menikmati pertemuan dengan beberapa kliennya, mereka tentu membicarakan pekerjaan namun beberapa waktu bisa juga membicarakan pasangan masing-masing. Namun, pria itu—King Haidar Sanjaya—si konglomerat dan penguasa bisnis di kota ini tidak ikut nimbrung dengan pembicaraan yang ia anggap berlebihan. Bahkan harus membicarakan tentang kepuasan ranjang dengan pasangan masing-masing.
Pria yang sering di panggil King itu bukan pria yang gila dengan ‘hawa nafsu’ semuanya biasa saja baginya. Pekerjaan dan kesibukan membuatnya tak punya waktu walau sekedar mengingat dan membayangkan.
Seorang gadis malam menyodorkan gelas kristal berisi miras, tanpa pikir panjang King menerimanya dan meneguknya hingga tandas.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya terasa panas, ia membutuhkan sesuatu untuk menghilangkan rasa panas dari tubuhnya. Namun, tidak bisa, ia harus pergi dari sini sebelum ada yang membahayakan dirinya.
“Bawalah dia pergi dan nikmati dia. Jangan lupa serahkan foto-foto itu!” titah saingan bisnis King, yang menyuruh salah satu wanita penghibur, Hans—saingan bisnisnya ingin menghancurkan proyek yang akan King terima dengan cara mengagalkan penandatanganan malam ini.
Ketika di tengah perjalanan menuju kamar, King seperti tahu dirinya tengah di antarkan ke lubang musuh, ia pun segera ke kamar kecil. Wanita yang membawanya hanya menunggu.
“Tolong aku!” pintah King ketika menyentuh lengan gadis yang akan keluar dari kamar kecil.
Ia adalah gadis pengantar makanan yang baru saja berganti pakaian karena akan menghadiri pesta di hotel ini. Gadis mungil itu terkejut ketika tiba-tiba saja lengannya dipegang oleh seorang pria, awalnya ia menganggap pria itu m***m, karena melakukan ini di toilet. Hampir saja satu tendangan melayang.
Gadis itu bernama Nilam, seorang gadis yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga, pagi hari ia akan menjadi pengantar makanan, dan siang hari akan bekerja sebagai guru les, dan malam hari ia bekerja di barclub sebagai pengantar minuman, semua itu demi pengobatan sang Ibu angkat yang saat ini sedang dirawat di rumah sakit karena penyakit Kanker.
“Tapi, kenapa saya harus menolong Anda?” tanya Nilam pada King yang terlihat gelisah dan berkali-kali mengelus lehernya yang panas.
“Tolong saya!” lirih King. Lalu meraih dompetnya dan mengambil satu kartu debit. Lalu di berikan kepada Nilam secara paksa. Ambil kartu ini, tolong saya.” Suara itu semakin serak. “Bawa saya ke kamar 2718, ini kartu kamarnya, jangan sampai wanita didepan sana mengetahuinya. dia suruhan orang.”
“Tapi—”
“Saya tidak membohongimu.”
Tak ada pilihan lain, kartu berisi uang sudah ada ditangannya. Dan ia paling membutuhkan uang. Nilam juga merasa pria itu memang membutuhkan bantuan dan itu terlihat dari bagaimana King bersikap, ia terlihat kesakitan dan gelisah.
“Bagaimana caranya kita keluar? Pasti kamu akan dikenali.”
“Lakukan apa saja untuk menutupiku.”
King membuka jasnya, lalu membuangnya di tempat sampah begitupun sepatu yang ia kenakan.
“Ada sepatu di dalam, pakailah. Aku harus cepat pergi.”
King mengikuti perkataan Nilam. Nilam juga meraih sesuatu dari dalam tasnya dan mengenakan make up tebal, lalu mengacak-ngacak rambutnya agar terlihat lebih berantakan.
Nilam menutupi kepala King dengan jaket yang ia kenakan sebelum berganti pakaian. Mereka pun keluar bersama-sama saling merangkul.
“Sayang, aku akan memuaskanmu malam ini,” ucap Nilam merangkul bahu King. “Kita akan punya anak. Agar ibu dan ayahmu menyukainya.” Nilam merasa gelisah ketika berbohong seperti ini.
“Hei, kamu siapa?” tanya wanita penghibur itu.
Langkah kaki Nilam terhenti menyentuh lengan King untuk menenangkannya.
“Siapa ya?”
“Kamu bersama siapa?”
“Dengan pria lah. Jangan ganggu tugasku. Aku punya banyak klien malam ini.”
“Oh jadi kamu wanita penghibur juga?”
“Iya. Kamu juga?”
“Iya.”
“Kenapa kamu di sini? Klienmu mana?”
“Aku sedang menunggunya.”
“Baiklah. Duluan, ya.”
Wanita penghibur itu mengangguk. Nilam segera pergi dan menuju lift menuju kamar.
“Sudah sampai.” Nilam mendorong tubuh King.
“Saya permisi dulu.” Nilam hendak melangkah pergi meninggalkan King, namun King menariknya.
Nilam membulatkan mata ketika King menariknya.
“Eh kamu mau apa?”
King berusaha melawan hasrat yang muncul seketika, pria itu terlihat gelisah dan napasnya memburu.
“Tolong saya! Saya akan berikan semua yang kamu inginkan asalkan kamu mau membantu saya!” Dengan napas berat pria itu berusaha memohon kepada Nilam.
“Tapi saya hanya—”
Pria itu langsung mengecup bibir Nilam berkali-kali, membuat Nilam berusaha meronta meminta keadilan, karena ia bukan wanita panggilan, sekeras apa pun hidup yang ia jalani, ia tidak mungkin merusak dirinya.
“Akan saya berikan segalanya. Tolong saya!” Pria itu terdengar sungguh-sungguh.
Nilam tak bisa berbuat apa-apa. Semua juga akan terjadi dan ia tidak bisa melarikan diri.
***
Pagi hari begitu indah, pria yang tengah berbaring dengan tubuh tanpa busana terbangun, membuka mata dan menoleh melihat Nilam masih tidur dengan tubuh atas terlihat, sementara mereka mengenakan selimut yang sama.
Beberapa saat kemudian, Nilam membuka pejaman mata dan menoleh melihat pria yang berbaring disampingnya.
“Saya akan bertanggung jawab!” kata pria itu, turun dari ranjang dan mengenakan pakaiannya kembali.
Pria itu memberikan kartu nama kepada Nilam, dan disusul dengan kartu debit.
“Di dalam kartu ini ada uang 50juta, sepertinya itu sudah lebih dari cukup sebagai tanggung jawab saya.”
Nilam juga mengenakan pakaiannya lengkap dan mengambil kartu nama juga kartu debit yang diberikan pria itu.
Di kartu nama itu tertulis nama King Haidar Sanjaya. Ternyata pria terkaya di kota ini. Dan, nama keluarga Sanjaya adalah nama pebisnis kaya raya nomor 4 di Indonesia.
Setahu Nilam, King sudah menikah dan pernikahannya digelar begitu mewah, bahkan semua kalangan hadir di acara tersebut. Lalu mengapa King tidur dengan wanita lain?
Nilam tidur dengan seorang konglomerat? Apakah ia harus senang atau malah meratapi nasib?
King menatap Nilam, tatapannya penuh dengan pertanyaan. King menoleh ke arah kasur dan terlihat ada noda darah, artinya ini pertama kalinya untuk Nilam.
“Hanya 50 juta?” tanya Nilam tanpa malu sama sekali.
“Semua wanita memang sama saja, Sama-sama suka uang dan tertarik pada uang,” gumam King. “Dasar licik.”
Nilam masih menunduk malu, tak berani menatap King.
“Masukkan nomor ponselmu.” King memberikan ponselnya kepada Nilam.
Nilam lalu mendial nomornya ke ponsel King. Mimpi apa ia semalam? Seorang konglomerat yang sulit untuk ditemui oleh orang sepertinya, kini berada di hadapannya?
“Saya akan menghubungimu. Dan memberikan tambahan dari uang itu.”
Nilam tak banyak bicara, ia terlihat tenang menanggapi situasi ini.