Stars 2 - You and I

1746 Words
Rona menggelamkan kaki di dinginnya air laut, membiarkan air dingin itu menerpa saraf-saraf kakinya yang tegang. Dia sedang berusaha menyegarkan pikirannya yang begitu kacau hari ini Beberapa kali, hembusan napas dalamnya menemani semilir angin yang terus bertiup. Tak dia pedulikan, angin laut yang terus menerpa rambut panjangnya hingga berantakan bahkan, tubuhnya sudah mulai mengigil kedinginan karena hanya mengenakan tanktop berwarna cokelat tua yang dia lapisi dengan kemeja biru muda yang dipadu dengan celana jeans tiga per empat. Tangannya mencengkram kuat kayi yag menyusun demaga tempatnya duduk sekarang. Tubuh Rona lemas. Tenaganya terkuras habis akibat persiapan pernikahan Alfian dan Rani, belum lagi pertemuannya dengan orang yang paling dia benci membuat jiwa Rona seakan melayang keluar dari raganya. Dia  menengadahkan kepala, menatap ke arah langit malam yang terlihat begitu indah dari tempatnya berada sekarang.Dari sini, dirinya merasa begitu dekat dengan langit. Bulan purnama terlihat lebih besar dan bersinar lebih terang sehingga dapat memantul dengan sempurna di genangan air laut dan memberikan efek keindahan yang tak ada duanya. Pandangannya terpaku menatap dua bintang yang berada saling berdekatan dengan bulan. Pikirannya melayang tanpa bisa dia cegah. Ingatan arti kedua bintang itu dalam hidupnya membuat matanya mulai berkaca-kaca. Hatiya teriris saat mengingat bahwa bintang itu dulu bersinar begitu terang untuknya, kini redup seolah kehilangan cahayanya. Pikiran Rona kembali membayang awal pertemuannya dengan pria itu. Ketidaksengajaannya menghancurkan maket bangunan yang harus Bintang kumpulkan membuat mereka menjalin pertemanan dengan begitu mudah. Awal mereka pacaran pun terlihat begitu indah. Masa pacaran layaknya roman picisan yang diimpikan semua orang sampai akhirnya Rona menelan pil pahit yang telah pria itu. Sebagai perempuan, dia terlalu naif sehingga tak pernah membayangkan bahwa jalan yang sebenarnya mereka lewati begitu rapuh sehingga akhirnya membuatnya terluka. Masih ingat bagaimana perlakuan hangat yang pria itu berikan kepadanya berubah dingin tanpa dia ketahui apa sebabnya. Hari ini bukan pertemuan pertama mereka. mereka bertemu pertama kali saat berada di rumah sakit tempat Deeva dirawat. Rona masih tak percaya setelah sekian lama tak bertemu, pria itu masih saja mengatainya sebagai wanita penghibur yang suka merusak rumah tangga orang lain. Tak menyangka bahwa pria yang dulu begitu dia cintai bisa menghakiminya tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi. Bertahun-tahun tak bertemu, pria itu masih saja beranggapan bahwa dirinya adalah wanita yang tak punya harga diri. Wanita yang mau melakukan segalanya hanya untuk sesuatu bernama rupiah. Rona terkekeh, menertawakan dirinya saat itu. bagiamana mungkin dia begitu percaya pada pria yang mengatakan bahwa dia begitu mencintainya, namun tak menghargainya dan terus mengatakan kata-kata yang menyakitkan? Bukankah kata orang, cinta seharusnya saling menghargai dan menghormati pasangan kita? Seperti kata orang bahwa cinta itu seperti angin. Tidak dapat dilihat tapi dapat dirasakan. Dan bukankah cinta seharusnya mempercayai semua ucapan pasangannya bukan mendengarkan semua hal tak benar dari orang lain. Melihat pria itu lagi tak lama setelah kepulangannya ke Indonesia seolah kembali membuka luka lama yang telah Rona coba untuk sembuhkan. Perasaan rindu sekaligus benci begitu berkecamuk di hatinya sehingga membuat peasaannya tak karuan. Rona menekan d**a kiri menahan rasa sakit yang selama beberapa tahun terakhir tak pernah dia rasakan kembali. “Aaakkh!” pekiknya kesakitan saat merasakan pergelangan kaki kanannya kembali nyeri. Dengan cepat, dia mengambil botol kecil berisi painkiller yang selalu ia bawa, lalu kembali menelannya tanpa air. Rasa pahit obat itu rasanya tidak sebanding dengan kepahitan hidup yang dia alami. Untuk kesekian kalinya, Rona menghela napas dalam, menggoyangkan botol obat itu, membuka tutup obat itu lalu mengintip berapa banyak obat penahan rasa sakit yang dia bawa sekarang. Rona menghela napas dalam. Berapa lama lagi dia harus meminum obat penahan rasa sakit ini untuk membunuh rasa nyeri yang dia rasakan pada pergelangan kakinya. Ringisan Rona kembali terdengar. Bahkan, perlakuan pria itu bukan hanya melukai hatinya, melainkan juga tubuhnya. Mata Rona terpaku saat melihat sekoci kecil yang berlabuh di ujung dermaga. Dia menggelengkan kepala mengingat betapa ajaibnya abang tirinya itu. Rasanya baru kemarin Alfian datang secara tiba-tiba ke rumah mamanya dan memintanya dan Bianca untuk mendekor pulau pribadinya untuk mewujudkan pernikahan super romantis idama seluruh wanita di jagat raya ini. pernikahan ekslusive di pulau pribadi berlatarkan laut biru kehijauan yang indah. Rona tersenyum senang saat abang tirinya itu mendapatkan kembali kebahagiaannya bahkan kebahagiaan itu  menjadi lebih indah dengan kehadiran Deeva dan bayi yang sedang ada dalam kandungan Rani, istrinya. Kehadiran mereka membuat Alfian menjadi lebih hidup. Ia masih ingat bagaimana hancurnya abang tirinya itu saat di tinggal Rani dulu. Rona, Alfian dan adik bungsu mereka yang awalnya berjalan masing-masing tanpa memperdulikan dan saling ikut campur, berubah setelah kejadian besar yang menimpa Rona. Kejadian yang akhirnya membuat Alfian lebih perhatian kepada kedua adiknya. Sadar bahwa dia sudah melupakan orang-orang yang masih membutuhkan perhatiannya. Lamunan Rona buyar saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Dengan cepat, dia memasukkan botol obat itu ke dalam saku celana, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke arah suara yang datang.Wajahnya yang awalnya nampak sayu berubah cepat menjadi penuh emosi saat melihat orang yang tak ingin dia lihat berada di sisinya, berdiri dengan angkuh. Kedua tangan, dia masukkan ke dalam kantong jersey salah satu klub serie A yang Rona ketahui sebagai klub sepak bola kesukaan pria itu sejak dulu. Tatapan matanya yang tajam menatap ke arahnya membuat luka itu semakin mengangga. Dengan cepat, Rona berdiri, mengenakan sepatu converse-nya cepat. Dia perlu pergi sejauh mungkin, sebelum pria itu kembali memberikan banyak kesakitan seperti yang sudah-sudah. Dia hanya tak ingin kembali mendengar kata-kata kasar yang ditunjukan kepadanya. “Lepasin!” ronta Rona saat pria itu menarik tangannya sebelum dia menjauh. “Kita perlu bicara,” ucapnya dingin. “Nggak ada yang perlu dibicarain. Dan... nggak pernah ada kata ‘kita’. Bagiku semuanya sudah selesai. Jadi lepasin!” “Bagiku belum,” ucapnya mempererat cengkraman tangannya membuat  Ronna meringis kesakitan. Mata Rona kembali memerah menahan air mata yang ingin keluar. Rasa sakit itu ternyata masih sama, membuat perasaannya kembali teriris. “Lepasin!!” Pekik Rona semakin keras mencoba melepaskan cengkraman itu, namun bukannya melepaskan cengkraman itu, pria itu terus saja mempererat cengkraman tangannya. “Nggak akan aku lepasin, sebelum kita bicara.” “Sudah aku bilang. Nggak pernah ada kata ‘Kita’ di antara aku dan kamu!”  “Lepasin!” ronta Rona saat pria itu menarik tangannya saat Rona berusaha menjauh. “Kita perlu bicara,” ucapnya dingin. “Nggak ada yang perlu di bicarain dan nggak pernah ada kata ‘kita’. Bagiku semua sudah selesai. Jadi lepasin!” “Bagiku belum,” ucapnya kembali datar mempererat cengkraman tangannya sehingga membuat Rona meringis kesakitan. Mata Rona kembali memerah menahan air mata yang ingin keluar. “Lepasin!!” teriak Rona lagi mencoba melepaskan cengkraman Bintang namun ia seolah tak peduli malah gmempererat cengkraman tangannya. “Nggak akan aku lepasin sebelum kita bicara.” “Sudah aku bilang tak pernah ada kata ‘kita’ diantara aku dan kamu.” Wajah dingin Bintang berubah memerah, menahan amarah mendengar kata-kata kasar yang Rona lontarkan. Dia terdiam seolah banyak hal yang berkecamuk di pikirannya, namun masih mempererat cekalan tangannya di lengan Rona. “Aku mohon lepasin, sakit...” ringis Rona. Air matanya mulai kembali jatuh. Rasa sakit yang dia rasakan sekarang bukan hanya di lengannya, namun juga hatinya. Perlakuan kasar yang Rona terima seolah menaburkan garam di luka yang belum sepenuhnya sembuh. “Aku tak akan melakukan itu, jika saja kamu mau bicara denganku baik-baik,” ucap Bintang tanpa perasaan melepaskan tangan Rona dengan sedikit menghempasnya. Rona menolak menatap Bintang. Matanya menatap pergelangan tangannya yang membiru akibat cenggraman tangan yang begitu kuat. Napasnya tertahan, mencoba untuk menghalau air mata yang selalu ingin keluar setiap kembali bertemu dengan pria itu. kepalanya menunduk, memijat pelan tangan kanannya yang lebam. Sekilas, dia melihat kaki Bintang ingin berjalan mendekatinya, namun dia urungkan. “Kemana saja kamu empat tahun terakhir ini?” tanya Bintang dingin tanpa rasa bersalah.  "Hmp." Rona terkekeh geli mendengar Bintang menanyakan pertanyaan itu. Mengangkat kepala membalas tatapan Bintang dengan tatapan yang sama sehingga membuat pria sedikit terkejut, tak menyangka bahwa Rona akan membalas pandangnnya seperti ini. "Anggap saja selama empat tahun ini, aku menjadi simpanan om-om seperti yang kamu katakan dulu. Teruslah beranggapan bahwa aku adalah seorang p*****r, seperti ap yang kamu katakan saat bertemu di rumah sakit tempat Deeva di rawat dulu,” ringis Rona kembali mengingat saat itu. "RONA!!!" "Jangan pernah memanggilku dengan nama itu. Bagiku Rona sudah mati!" teriak Rona. Dia benci nama itu, terutama saat mendengar Bintang memanggilnya dengan nama itu dan memberinya tatapan dingin seperti ini. Bintang ingin kembali membalas ucapan Rona, namun diurungkan saat mendengar suara tawa dari arah pantai di belakang mereka. Rona membalikan wajah menatap siluet tiga orang laki-laki yang berjalan mendekati tempat ia dan Bintang berada. “Ikut aku,” ucapnya kembali mencengkram tangan Rona, lalu membawanya menuju tengah dermaga kayu ini. “Lo apa-apaan, sih? Lepasin nggak?!” Bentak Rona dengan kata-kata kasar, seraya berupaya melepaskkan tangan Bintang yang terus menarik tubuhnya. Terus berusaha melepas cengkeraman tangan Bintang namun akhirnya iamenyerah dan mulai mengikuti langkah besar kaki Bintang seraya menahan rasa nyeri yang kembali menyerang pergelangan kakinya. Rona tersentak saat Bintang menaikkan tubuhnya ke aras sekoci kecil yang ia lihat tadi. “Bintang, Lo gila!” pekiknya saat Bintang melepaskan tali yang mengikat sekoci ini. Tangan Rona mencengkram erat kedua sisi sekoci ini, tubuhnya bergetar ketakutan saat melihat Bintang ikut menaiki sekoci ini. Dia benar-benar benci pria ini. bagaimana mungkin dia menaikan Rona ke sekoci kecil ini padahal tau bahwa Rona takut tenggelam. “Jangan macam – macam!” pekik Rona namun tak dipedulikan. Bintang terus saja mengambil dayung yang ada di sampingnya kemudian mulai mengayuh sekoci itu menuju tengah laut. Getaran di tubuh Rona semakin menjadi. Kedua tangannya mempererat cengkraman tangan di kedua sisi sekoci ini. Pikiran-pikiran buruk mulai bergelayut di otaknya saat melihat sekoci ini bergerak menuju tengah laut meninggalkan pulau pribadi milik abangnya. Rona menatap Bintang dengan tatapan memohon agar pria kembali mengayuhkan dayungnya menuju pulau tempat mereka menginap, namun Bintang seakan tak bergeming terus saja membawa sekoci itu. “BINTANG!!!” Teriak Rona frustrasi saat merasa sekoci itu tergoyang karena ombak. Bintang menghentikan kayuhannya lalu menatap Rona kembali dengan tatapan dingin. “Aku hanya perlu bicara denganmu.” “Seperti yang aku katakan tadi, Nggak ada yang perlu di bicarakan. Jadi cepat buat sekoci ini menyandar kembali di dermaga itu!” teriak Rona, namun kembali terhenti saat merasakan sekoci itu kembali bergoyang. “Ada banyak yang perlu kita bicarakan. Jadi diam, jika tak ingin kemungkinan buruk yang kamu pikirkan terjadi,” ucapnya santai. “Bintang!!” teriak Rona tanpa sadar berdiri dan membuat tubuhnya oleng. Tak berdaya saat merasakan tubuhnya terhempas di dinginnya air laut   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD