Zeva menoleh dengan gerakan pelan ke arah sampingnya, guna memastikan dugaannya mengenai orang yang berbisik di dekat telinganya.
Degh
"Terkejut melihat keberadaan ku disini. Tenang saja, tujuan utama ku disini tetap sama dengan yang lain, sama-sama melayat, berduka cita." Ujar pria yang berbisik di telinga Zeva dan berhasil membuat Zeva sangat terkejut bukan main.
"Tu-Tuan, tolong beri saya waktu, saya tidak bisa berpikir karena pikiran saya cuma menyatu sama Ayah. Tolong!" Zeva langsung mengatupkan kedua tangannya tepat di depan wajahnya memohon pada Arga, agar Arga tidak mendesak dirinya untuk segera menikah. Yah, pria yang berhasil membuat Zeva jantungan adalah Arga.
Memang benar, tujuan Arga datang ke rumah Zeva untuk melayat namun melayat tersebut terselip tujuan lain di hati Arga, dengan tujuan yang tak lain untuk mengajak Zeva menikah. Entah kenapa, Arga jadi seperti orang bodoh kalau menyangkut dengan Zeva, yang keinginannya tidak lain hanya satu yaitu ingin menikahi Zeva.
"Tenang Beby, kita akan tetap menikah mau kamu setuju atau tidak. Karena urusan kita tidak akan selesai kalau harus menunggu ayahmu bangun. Bukan, begitu!" d**a Zeva mulai kembang kempis menahan marah, saat Arga dengan tidak berhati malaikat mengucapkan kalimat yang membuat Zeva sakit hati.
"Tenangkan diri kamu dan tidak perlu emosi. Kamu tidak mau kan, ayahmu jadi tidak tenang karena masalah dia denganku belum selesai. Jadi, kalau kamu memang sayang dengan ayahmu, maka kamu harus menggantikan ayahmu untuk menyelesaikan masalahnya. Jadi mau kamu setuju atau tidak, kita tetap akan menikah, tapi yang jelas tidak hari ini. "Dengan penuh ketegasan Arga mengulang kalimat yang sama seperti tadi, dan mengatakan bahwa niat Arga datang ke rumah Zeva tidak lain hanyalah untuk melayat sama seperti yang lainnya.
Mendengar ucapan Arga, tidak membuat Zeva merasa tenang, karena memiliki waktu untuk tetap fokus pada kematian sang ayah.
Menurut Zeva, tidak menikah hari ini bukan berarti akan menikah tahun depan, bisa saja Arga akan menikahinya besok atau lusa, karena pria kejam itu tidak akan memikirkan perasaan orang lain yang terpenting keinginannya tercapai.
Jadi menurut Zeva, Arga tidak akan peduli dengan keadaannya saat ini meski dalam keadaan berduka, yang terpenting Arga bisa menikahinya.
"Kalau memang Anda ingin menikahi saya, maka pergilah, karena saya ingin fokus dengan kematian ayahku. "Dengan penuh ketegasan Zeva mengusir Arga dari rumahnya, karena Zeva tidak ingin suasana hatinya semakin memburuk karena kehadiran Arga.
Arga sendirian langsung diusir dengan cara tidak hormat oleh Zeva, namun meski begitu, Arga tidak merasa terkejut apalagi sampai merasa sakit hati. Dengan santainya Arga malah pergi dari rumah Zeva mengikuti keinginannya agar tidak mengganggunya.
Setelah kepergian Arga, suasana kembali berduka seperti tadi, tidak merasa tegang karena ketakutan saat melihat Arga. Yah, ternyata penduduk dirumah Zeva sudah hafal dengan keluarga Wijaya, termasuk putra Wijaya.
Setelah Zeva puas mengeluarkan semua isi hatinya pada tubuh kaku Yudda, Zeva pun berdiri dan mengatakan pada semua yang ada di rumahnya untuk melanjutkan ke pemakaman sang Ayah.
Ana sendiri tidak banyak komentar atau mengeluarkan kata, karena sebenarnya kalau Ana tidak disadarkan oleh Bu RT, Ana pasti masih belum menerima kematian Yudda, dan bahkan sampai saat ini Ana masih tidak percaya bahwa Yudda, sang suami telah meninggalkan dirinya dan juga kedua putrinya selama-lamanya.
Ana dan kedua putrinya mulai melangkah keluar dari rumah mengikuti langkah orang yang memikul jenazah Yudda, dengan tangis yang terus terdengar semakin nyaring di telinga para orang yang ikut serta dalam mengebumikan Yudda.
Raka dan Fathir juga ikut, dan yang pastinya Raka ada di samping Sera.
Zeva sendiri sudah tidak mempedulikan sosok Raka, karena bagi dirinya masalah nya yang harus ia hadapi saat ini hanya kematian sang Ayah, Zeva menganggap mengenai hubungan dirinya dengan Raka tidak pernah terjadi.
Fathir sendiri mencoba untuk menenangkan atau memberi sandaran pada Zeva, agar Zeva tidak merasa sendiri. Namun sikap Zeva tetap sama, sama-sama acuh.
Mereka sudah sampai di tempat untuk bersemayam, yang merupakan tempat persinggahan terakhir manusia yang meninggal dunia, dengan kata umumnya adalah, makam.
Acara pemakaman Yudda mulai dilangsungkan, dan yang pastinya diiringi oleh tangis penuh kehilangan dari keluarganya.
Sera terus memandang tubuh kaku ayahnya yang sudah di tutupi oleh tanah, hingga hati Sera langsung terbesit penyesalan yang teramat menyesal.
Setelah tubuh Yudda sudah terkubur sempurna, orang-orang mulai meninggalkan tempat pemakaman Yudda secara bergantian, hingga menyisakan orang-orang terdekatnya, yang tak lain adalah, Ana, Zeva, Sera, Raka dan juga Fathir beserta keluarga Fathir.
"Ayah, yang tenang disana, Ibu janji, Ibu akan sering kesini," ujar Ana dengan nada pelannya, sambil mengelus tanah yang menutupinya tubuh Yudda dengan lembut seperti mengelus wajah manusia.
"Dokter bilang, Ayah meninggal itu karena syok mendengar pertengkaran kalian yang saling mengalahkan. Coba saja kalau kamu tidak memelihara ego kamu, dan terus mengalahkan Sera, pasti Ayah kamu tidak akan mendengar semua masalah ini, dan sampai saat ini, aku yakin dokter masih terus memberi kabar kondisi ayah kamu yang lemah, bukan memberi kabar kematian seperti yang kita terima kemarin." Ujar Ana yang mulai kembali menyalahkan Zeva atas meninggalnya Yudda. Dulu, saat Yudda awal sakit, Ana menyalahkan Zeva karena Zeva marah-marah dan terus menyalahkan Sera, Yudda mendengarnya teriakan Zeva, hingga membuat Yudda syok lalu semakin melemah, dan detik berikutnya Yudda langsung menghembuskan nafas terakhirnya.
"Ibu masih bisa menyalahkan Zeva dalam kematian Ayah?" tanya Zeva yang langsung membalas tatapan sang Ibu dengan tatapan yang sudah berbeda dari setiap harinya.
"Memangnya siapa lagi yang harus Ibu salahkan kalau bukan kamu, karena letak kesalahannya memang ada di kamu!" dengan sengitnya Ana membenarkan pertanyaan Zeva, hingga membuat Zeva langsung menarik nafas dan melepaskan nya secara kasar.
"Harusnya yang pantas Ibu salahkan itu dia, bukan aku." Ujar Zeva dengan penuh ketegasan sambil menunjuk wajah Sera yang sejak tadi menunduk seperti memiliki rasa bersalah pada Zeva.
Sera yang mendengar ucapan Zeva langsung mendongak dan pandangan Sera langsung tertuju pada telunjuk Zeva yang sudah mengarah padanya.
"Aku tidak membunuh Ayah, Kak. Kenapa harus aku yang disalahkan?" dengan polosnya Sera bertanya pada Zeva, tidak merasa bersalah dan merasa tidak harus disalahkan mengenai kematian sang Ayah.
"Jadi menurut kamu, Kakak yang salah. Ingat baik-baik, kalau bukan karena keegoisan kamu, kalau bukan karena sifat iri mu itu sama Kakak, dan kalau bukan kebodohan kamu hingga kamu sampai hamil, Kakak juga tidak mungkin marah sama kamu sampai Ayah mendengar semua kemarahan Kakak. Bisa saja Ayah marah sama kamu, karena kamu hamil…
Pyar