Berawal dari Suara di Kamar Mandi

1655 Words
Berawal dari Suara di Kamar Mandi BELUM satu bulan, Cika menghuni Pondok Gasela. Ia merasakan kenyamanan tinggal di sana. Bukan perkara tempatnya yang memang sesuai dengan keinginannya. Namun juga, ia merasa pondok itu membuatnya dihargai oleh banyak teman sekelasnya. Cika Sagita tinggal di pondokan yang bagus. Bangunannya meski bukan bangunan baru tapi tampak lumayan megah dan kokoh. Berpagar besi tinggi. Ada induk semang yang meski cerewet dan banyak aturan, tapi tidak jahat. Masih wajar sikapnya. Bahkan memberikan keringanan pada semua penghuni kamar untuk bisa makan pagi, siang dan malam, bahkan mi rebus, minuman dingin, kopi dan s**u, semua tersedia dan bebas memesan dalam keadaan tak punya uang karena di saat penghuni mendapat kiriman uang, mereka semua bisa membayarnya. Kesimpulannya, penghuni pondokan Gasela tak akan mengalami kelaparan dalam situasi dompet mengering. Mungkin, itu nilai plus yang tak dimilik pondokan lainnya. Hal itu pulalah yang membuat Cika juga merasa tak begitu banyak pikiran meski ia pun acap bingung lantaran ibunya hampir menyerah harus memberi uang saban minggu. Lalu ayah kandung Cika? Cika sudah malas memekirkannya. Di semester baru ini, ia tak mendapat uang sepeser pun dari ayahnya baik untuk bayar kuliah, sewa kamar di pondokan kelas menengah, terlebih biaya makan sehari-hari serta keperluan yang tak terduga lainnya. Lalu, darimana Cika mendapat uang untuk kuliah, bayar sewa kamar juga makan sehari-hari? Hampir satu bulan ia menjadi salah satu penghuni kamar pondokan ini. Ah, kepalanya menggeleng pelan. Ia tak mau memikirkan darimana ia memperoleh uang itu semua. Ia mau belajar tak peduli. Yang penting, semua kesulitan yang berkaitan dengan uang, sudah teratasi. Terutama untuk bayar kuliah dan bayar sewa kamar. Itu yang paling penting. Soal makan, selain bisa berhutang pada induk semang, ia pun acap mendapat traktiran makan malam dari cowok-cowok yang tinggal di sini maupun teman-teman penghuni pondokan ini yang kebetulan berkunjung ke sini untuk menemui teman mereka atau terang-terangan sengaja ingin pendekatan dengan Cika. Banyak sudah cowok yang menaruh hati pada Cika. Ingin mengajak jalan. Mengajak makan malam. Antrean panjang. Rebutan. Ada yang memang ingin menjadikan Cika sebagai kekasih tetap, kekasih kedua, atau sekadar menunjukkan kemampuan bisa mengajak Cika keluar pondokan. Siapa sih cowok yang tak tertarik dengan Cika? Sepertinya, jarang sekali yang tak mau dekat. *** Langkah Cika tergesa-gesa menuju pondokannya yang terletak di ujung jalanan sepi. Ia baru saja kembali dari pondokan Diandra. Sendirian saja. Hari mulai gelap. Dilewatinya kamar demi kamar. Sepi. Penghuninya sudah mengurung di dalam kamar. Sebagian ada yang tengah antre di kamar mandi, hendak mengambil air wudlu. Cika hendak menuju kamar mandi sebelah barat. Kamar mandi umum karena di pondokan ini tak ada kamar mandi di dalam ruang kamar. Kamar mandi yang hendak dituju oleh Cika, jarang digunakan karena letaknya yang terlalu jauh dari kamar-kamar lain. Ada beberapa yang dekat dengan kamar-kamar mandi itu, tapi kosong. Tanpa penghuni. Jadi di sekitar situ sangat sepi. Itulah yang membuat penghuni kamar enggan memakai deretan kamar mandi sekitar situ. Lain halnya dengan Cika, justru ia paling sering ke sana. Karena terhindar dari antrean. “Mau ke air ya, cantik?” seseorang mengagetkannya dari kamar yang ada di atas. Tanpa menoleh, Cika mengenal suara itu. Angga, mahasiswa yang menghuni kamar di pondokan ini. Angga Febrian, orang yang pernah meneleponnya dan menawarkan Pondok Gasela. Karena Angga, Cika pun akhirnya memutuskan menghuni di sini. “Haiiiiiiiiii!” teriak Angga. Namun Cika tak menyahutnya. Hanya mendesah. “Hati-hati, Cika. Ntar di air…” ucapnya terpotong. Cika menghentikan langkah. Kepalanya melongok ke atas. Angga tengah menatapnya sembari cengengesan. “Bukannya solat magrib!” suara Cika sedikit keras. “Hehe... ya iya lah!” sahut Angga. “Kamu juga, kan? Lagian, sekarang malam Jum’at… baca Yassien, ya?” Cika menelan ludah. Ya, ia tak lupa. Namun saat ini ia tak harus shalat. Sudah dua hari kedatangan ‘tamu bulanan’. Baru saja ditutupnya daun pintu, Cika dikejutkan dengan suara dari kamar mandi yang ada di sebelahnya. Kamar mandi yang satu itu selalu dibiarkan lampunya padam oleh pemilik pondokan. Kalaupun mati, tak segera memasang lampu baru. Makanya penghuni pondokan malas masuk ke sana bila malam. “Hihihihihihihihih…” terdengar suara di kamar mandi sebelah. Cika memasang kupingnya baik-baik. Lalu tersenyum kecut. Namun suara itu tak ada lagi. “Angga, jangan usil!” Tak ada sahutan. Cika mengerutkan kening. Sedang apa Angga di kamar mandi sebelah? Tak ada suara air. Pintunya pun tadi tak sempat terdengar. Tak ada langkah. Ia menelan ludah. Masa bodohlah, pikirnya. Namun beberapa detik kemudian…. “Hihihihihihihihihihhh…” suara itu terdengar lagi, lebih panjang. Cika tersentak. Suara itu bukan suara Angga. Seperti suara perempuan dan terdengar menyeramkan. Bulu kuduknya pun terangkat. Segera ke luar. Namun rasa penasaran menyelusup dalam hatinya. Dilirik dengan ekor matanya pintu kamar mandi yang tadi terdengar suara perempuan, tertutup. Tak ada tanda-tanda ada orang di dalam. Bulu kuduknya meremang. Bahunya bergidik. “Weeeeeyyy!!!” Jantung Cika nyaris copot. Tahu-tahu Angga berdiri di hadapannya ketika baru saja membalikkan tubuhnya. “Hahahaha… kaget, ya?” Angga ketawa-ketawa senang melihat orang kaget bukan kepalang. Cika melotot. Tangan kanannya memegang dadanya. Mengelusnya. “Ngapain sih kamu?” “Buat mastiin, kamu keluar dari kamar mandi dengan selamat apa tidak,” kalimat Angga membuat dua alis Cika terangkat. Ia tak mengerti maksud Angga. Belum dua bulan pondok Osella dihuninya. Jadi, ia tidak tahu ada apa di sini. Baginya, pondokan ini cukup bersih, terdiri dari tiga puluh enam kamar, dimana banyak kamar kosong dan membuat penghuni yang kesemuanya mahasiswa merasa betah, walaupun induk semangnya cerewet. Juga otoriter. Banyak aturan. Namun bagi Cika, tak masalah. Walaubagaimana pun, semua mahasiswa yang kos di situ merupakan titipan para orang tuanya yang tinggal di tempat jauh. Ada yang di kota lain, provinsi lain bahkan pulau lain. “Siapa yang tadi cekikikan di kamar mandi sebelah?” pancing Cika disergap penasaran yang sangat. Angga mengulum senyum. “Yang pasti... bukan aku.” “Ya, tapi siapa?” desak Cika. “Penasaran, ya?” “Mau kasih tahu apa tidak sih?” Cika berubah kesal. “Mauuuu, tapiiii....” Angga tampak bingung. Cika hanya geleng-geleng kepala. Baginya, sikap Angga terkadang menjengkelkan. “Ya, tidak usah lah kalau kamu tak mau kasih tahu...” “Bukan gituuuu!” Cika tak berkomentar lagi, lalu ia melangkahkan kaki meninggalkan Angga yang melongo, merasa heran menyaksikan Cika yang seperti sudah bersua dengan ‘makhluk menyeramkan’. Ataukah… Ah, Angga menggelengkan kepala. Jangan sampai cewek itu tahu. Kalau sampai tahu, yang rugi Angga. Ia tak bakalan bisa menikmati wajah rupawan itu di pondokan ini. Setelah berada di kamar, Cika menghidupkan lampu. Dihelanya napas. Gara-gara mendengar suara hihihi itu, ia tak jadi menunaikan niatnya untuk ‘sesuatu’. Dihampirinya tempat sampah di sudut, tak jauh dari pintu. Lalu dibuangnya ‘sesuatu’ di sana. Dahinya mengernyit ketika di dekat tong sampah plastik yang selalu bersih itu, tampak di lantai keramik putih ada ceceran air berwarna kuning. Bau, ditungkup hidungnya yang mancung. Ia lalu menerka, mungkin ceceran dari plastik bekas bumbu masakan Kapau kesukaannya. Namun ia berpikir lagi, sudah dua minggu tak menikmati masakan berselera itu karena perutnya agak terganggu kalau dijamah makanan pedas. Digelengkan kepalanya. Ia tak mau memikirkan hal yang tak begitu penting. Mumpung lagi tidak punya kewajiban solat, ia akan menghabiskan malam dengan bermain game di laptop saja. Minggu lalu, kala pulang ke rumah, adik misannya, Ray-- memasangkan beberapa game di laptop milik pribadinya. Sampai jam delapan Cika asyik bermain game. Ia jadi kepikiran Ray yang ingin sekali bermain ke pondokan ini. Sayangnya, jauh. Alangkah serunya jika bisa main game sama anak itu, pikirnya. Malam Jum’at yang tak sepi. Para penghuni banyak yang menghabiskan waktu di ruangan TV. Bercengkrama diselingi tawa ngakak entah apa yang ditertawakan. Cika tak berniat berbaur. Perutnya tak minta diisi. Tadi sore makan kenyang. Main game sendirian di kamar kurang seru. Suara tawa masih menggema di ruang TV yang tak jauh dari letak kamarnya, hanya terhalang empat kamar. Angin dingin menyelusup lewat jendela yang masih terbuka. Meniup kuduk Cika. Dingin. Cika tiba-tiba merasakan sesuatu. Seperti ada seseorang yang hadir di kamarnya. Diedarkan pandangannya ke penjuru kamar. Entahlah, ia semakin merasakan sesuatu. Angin yang meniupnya terasa lain. Bukan tiupan biasa. Segera bangkit, lalu menutup jendela, rapat. Jarum jam pendek di beker yang ada di sebelah monitor, mengarah ke angka sebelas. Suara teman-teman penghuni pondokan semakin berkurang. Satu persatu dari mereka mulai beranjak dari sana dan menuju kamar masing-masing, untuk sekedar merebahkan diri. Sebagian mulai merajut mimpi. Akhirnya, tak terdengar suara satu manusia pun. Hening. Dingin kembali menggigit kulitnya. Dimatikan laptop yang sudah berjam-jam menemaninya. Setelah mematikan lampu, direbahkan tubuhnya yang sintal berbalut baju tidur di atas kasur busa yang maha empuk. Dihelanya napas sesaat. Dikosongkan pikirannya. Mulai dipejamkan mata. Kantuk tak mau menyergapnya. Namun dipaksakan. Ia ingin melewati malam yang rada menyeramkan ini dengan mimpi indah, bukan mimpi bersua setan seperti yang disaksikan di film-film horror. Apalagi sampai para hantu itu mengerjarnya. Bukankah di dalam mimpi, si pemimpi seringnya dalam bahaya. Menjadi bulan-bulanan para hantu. Sebelumnya, ia terkadang bermimpi bersua makhluk halus dalam wujud yang beragam dan selalu saja ia dicengkeram ketakutan yang sangat. Kamar sepi. Hanya detak jarum yang terdengar. Pondokan sepi. Tak ada suara apapun kecuali daun-daun yang tertiup angin. Cika membuka mata setelah dirasa tak juga mengantuk. Gelap. Hanya hitam pekat yang terlihat di kamar. Ia tak biasa tidur dengan cahaya lampu walaupun sedikit. Dan cahaya lampu di teras kamarnya kadang mengganggu. Biasanya ia memadamkannya kalau semua penghuni di deretan kamarnya dipastikan tertidur lelap, agar tak diprotes. Namun malam ini, tubuhnya enggan beranjak. Beberapa saat kemudian, matanya menangkap sesuatu di pintu. Berwarna putih, panjang. Dibelalakkan lagi matanya. Mukena, pikirnya. Ia lupa seharusnya dari kemarin mencuci kain ibadah itu, mumpung lagi tidak wajib shalat. Namun kain itu dibiarkan tergantung di kapstok belakang pintu. Mungkin, besok akan dicucinya sepulang dari kampus. Begitu yang terpikir olehnya. Namun hei…. Kain itu bergerak. Napasnya mendadak memburu. Keringat mengucur tanpa dapat ditahan terlebih ketika tampak di matanya, kain itu bergerak-gerak lagi. Serupa kibaran. Atau lambaian. Ia yakin, itu bukan tiupan angin. Detak jantung terasa.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD