"Ini serius, Ramda. Kamu harus segera dirukyah, sebelum kamu benar-benar ...." Paklik Hidayat nampak ragu ingin meneruskan ucapannya. Pasti karena ini terlalu aneh. Dan pasti Paklik Hidayat tidak enak pada saya untuk mengatakannya secara gamblang. Takut saya malu. Dan pastinya sangat canggung, saking anehnya.
"Sebelum kamu ... melahirkan bayi setan itu." Paklik Hidayat akhirnya mengucapkan hal mustahil nan ajaiab itu. Ia telah mengawali pembicaraan serius, membawa aura ketegangan mulai merebak.
"Terserah Paklik dan Fikri. Saya ikut aja. Tapi aku negasin, bahwa aku sama sekali belum percaya, kalau apa yang terjadi padaku ini adalah kehamilan. Bisa saja aku lagi sakit apaaaa gitu. Kanker apa tumor yang ganas. Jadinya bisa berkembang cepat dalam beberapa hari." Saya masih sepenuhnya Denial.
"Ramda, hati-hati kalau bicara. Jika benar itu penyakit sekali pun, jangan ucapkan penyakit-penyakit mengerikan itu. Kata-kata adalah doa, lho." Paklik Hidayat malah menceramahi saya.
Saya tidak melunak, justru semakin emosional. "Tapi Paklik, jika boleh milih, aku lebih milih sakit parah dibanding mengalami ... kehamilan? Aku ini laki-laki paklik. Mau ditaruh mana muka aku kalau aku beneran hamil. Ibuk, ayah, mbak Sakina, mbak Kinanti, semuanya pasti malu."
"Ram ...." Fikri kali ini. "Aku tahu ini memang sulit dipercaya. Tapi itu nyata. Benar kata Ayah, kita harus segera bertindak, sebelum kamu benar-benar melahirkan bayi itu."
"Paklik, Fikri ... aku laki-laki. Bagaimana aku bisa hamil, apalagi melahirkan?" Saya menuntut penjelasan.
Paklik Hidayat segera menjawab. "Secara ilmiah hal itu memang mustahil, Ramda. Tapi saat ini kita berhadapan dengan hal gaib. Jin yang mengaku bernama Nina itu, sedang menjadikan kamu inangnya. Apa kamu mau melahirkan anak setan?"
Saya menggeleng. "Saya benar-benar beum bisa percaya sebelum membuktikannya. Saya berencana ke rumah sakit setelah ini. Kali aja yang di dalem perut saya adalah penyakit tertentu. Dan saya akan dateng dengan bukti konkret."
Saya segera berdiri setelahnya. Sedikit sulit karena ukuran perut saya.
"Ramda, dunia kita berbeda dengan mereka. Termasuk dalam perputaran waktu kehamilan. Di dunia manusia kehamilan berlangsung selama 9 bulan. Sementara di dunia mereka lebih singkat. Buktinya, hanya dalam hitungan hari, ukuran perut kamu sudah sebesar itu. Bisa jadi kamu akan melahirkan dalam waktu dekat !" Paklik Hidayat lanjut menjelaskan.
Saya menggeleng. Saya masih tak percaya, meskipun jujur saya sangat ketakutan. Bayang-bayang saya sedang kesakitan saat melahirkan berputar-putar seperti kaset rusak.
"Saya akan membuktikannya dulu, Paklik . Saya pergi sekarang. Assalamualaikum." Baru beberapa langkah, saya menoleh. "Pakli k, tolong jangan bilang apa-apa dulu pada siapa pun. Termasuk pada Ibuk dan Ayah." Setelah mengatakannya saya kembali melangkah.
"Kamu naik apa, Ram ?" tanya Fikri.
"Ojol."
"Aku anterin kamu aja. Bahaya kalau tiba - tiba jin itu berulah lagi ." Fikri mengajar saya hingga saat ini langkah kami telah sejajar.
"Terserah kamu aja, lah ."
***
Saya menuju tempat praktik dokter yang menangani saya saat sakit tempo hari. Sakit aneh yang kata Fikri dan Paklik Hidayat adalah gejala kehamilan . Gejala kehamilan macam apa yang membuat tak sadarkan diri sampai lima hari lamanya ?
Dokter bernama Wasis itu menatap saya tajam. Saya masih ingat tatapan anehnya pada saya saat masih dirawat. Semoga tatapan itu hanya pembawaannya saja. Semoga tida k ada hubungannya dengan kehamilan atau apalah itu.
"Saya ke sin i ingin memastikan sesuat u," ucap saya langsung pada intinya.
"Maksudny a? Anda pun ya keluhan apa sekarang?"
Saya menarik napas dalam. Sementara Fikri hanya menyimak. Bagus lah Fikri selalu bisa menempatkan diri. Tidak memaksakan opininya tentang kehamilan saya.
"Semenjak dirawat di rumah sakit ini beberapa waktu lalu, saya terus-menerus merasa sakit. Lalu saya mengalami hal aneh."
"Hal aneh seperti apa?"
Saya menatap Fikri, meminta persetujuannya untuk mengungkap apa yang saya alami pada dokter Wasis. Meskipun saya sangat malu, tapi ini demi mencari kebenaran akan kondisi saya.
Saya pun berdiri setelahnya. Saya melepas parka, kemudian mengeratkan kemeja yang tadinya longgar. Kini perut besar saya nampak jelas. Dokter Wasis pun terkejut.
"Kenapa perut saya membesar seperti ini? Apa saya mengidap penyakit tertentu? Apa saya harus melakukan pengobatan lanjutan?"
Dokter Wasis nampak menenangkan diri. "Baik ... akan saya jelaskan sejak awal hasil pemeriksaan Anda sebenarnya, Tuan Ramda."
Dokter Wasis berdeham. "Jadi saat pemeriksaan kami lakukan, kami memang mendeteksi adanya sebuah anomali. Ada kehidupan di dalam perut Anda. Secara ajaib, Anda memiliki rahim. Dan di dalam rahim Anda, ada seorang calon bayi. Namun saat itu ukurannya masih terlalu kecil. Dan tidak ada detak jantung. Jadi kami menganggap itu adalah tumor yang bentuknya mirip janin. Jujur kami sendiri sebenarnya kebingungan dengan kondisi unik Anda.
"Kami memutuskan untuk tidak menyampaikan anomali itu. Bukan karena tidak peduli pada kesehatan Anda. Tapi jenis tumor seperti itu biasanya tidak berkembang. Namun saat ini dengan ukuran perut Anda yang membesar dalam waktu singkat, saya berubah pikiran. Sepertinya memang harus dilakukan pemeriksaan lanjutan. Untuk mengetahui, apa yang Anda alami adalah suatu penyakit ... atau memang kehamilan."
"T-tapi bagaimana bisa? Saya nggak mungkin hamil. Saya laki-laki, bagaimana bisa punya rahim?" Saya benar-benar tak terima.
"Tuhan maha menciptakan manusia dengan keunikannya masing-masing. Ia memberi Anda rahim, pasti bukan tanpa tujuan. Jika rahim Anda sehat, ketika Anda melakukan hubungan seksual, maka kehamilan sangat mungkin terjadi." Dokter Wasis menatap saya dan Fikri bergantian.
Oh, tidak. Dokter Wasis sedang salah paham.
"Anda salah paham, Dok!" bantahku segera. "Pertama, saya pernah rontgen saat masih remaja dulu karena saya mengalami kecelakaan cukup fatal. Harusnya saat itu kondisi unik saya sudah diketahui. Dan seharusnya saya mengalami menstruasi. Tapi tidak ada keanehan apa pun saat itu. Dan saya nggak pernah menstruasi.
"Kedua, saya bukan bermaksud sombong, tapi saya lahir di keluarga yang cukup religius. Saya pun mengerti agama. Saya takut dosa dan masuk neraka. Saya normal, saya bukan gay. Seks dengan perempuan saja saya belum pernah, apalagi dengan laki-laki. Apalagi sampai hamil.
"Ketiga, dia ini ...." Saya menunjuk Fikri. "Dia sepupu saya. Bukan pacar saya. Nggak mungkin saya pacaran sama laki-laki karena saya normal. Apalagi laki-laki itu adalah sepupu saya sendiri. Dokter telah salah paham begitu jauh, makanya saya segera luruskan sebelum berlarut-larut."
Napas saya terengah hebat setelah menjelaskan panjang kali lebar. Dokter Wasis mengangguk mengerti. Ia berdiri, menunjuk pada brankar di sebelahnya. "Silakan Anda berbaring di sini Tuan Ramda. Biarkan saya memeriksa kondisi Anda."