Seharusnya kami lebih berhati-hati. Sehingga hantu perempuan sialan itu tidak akan berhasil menipu kami dengan cara menirukan wujud Roje.
Saya melirik Fikri yang nampak frustrasi. Ya, kami semua frustrasi. Namun Fikri terlihat paling parah. Tanpa bertanya pun saya sudah tahu sebabnya.
"Kamu pasti ngerasa bersalah banget, kan?" tanya saya.
Fikri tak menjawab, hanya terus pura-pura konsentrasi menyetir. Saya tahu, ia sebenarnya sedang memikirkan pertanyaan saya.
"Apa kamu benar-benar nggak ngerasain? Saat Nina datang dan menyamar jadi Roje?" Saya akhirnya bertanya pada inti.
"Ram, sudah aku bilang, aku konsentrasi nyetir saat kejadian. Dan kamu juga lagi sakit, kan? Jadinya aku nggak terlalu perhatian."
"Tapi kamu punya kelebihan, Fik! Harusnya kamu ngerasain perbedaannya meski tanpa melihat! Kalau seandainya kamu nggak cuek dan lebih peka sejak awal, pasti kejadiannya nggak bakal gini. Pasti Roje masih ada sama kita sekarang!" Nada suara saya meninggi seiring dengan emosi yang semakin memu ncak.
"Iya, aku emang bisa ngerasain kehadiran setan wanita itu. Tapi aku ngerasa innya sejak sampai rumah kamu kem arin, Ram! Di sepanjang perjalanan pun aku bisa ngera sain kehadirannya. Bahkan sebelum Roje bertukar posisi dengan kamu. Lalu aku h arus gimana? Seme ntara kamu sendiri nggak percaya saat aku bilang kamu seda ng diganggu!"
"Bukannya aku ngg ak percaya. Lag ian sekarang yang kita bahas bukan itu. Tapi Roje! Dia meni nggal karena kamu!"
Fikri terdiam. Tak menj awab lagi ucapan saya.
Saya pun diam. Sebenarny a tak tega melimpa hkan kesalahan pada Fikri. Tapi mau bagaimana lagi?
"Mas Fikri sama Mas Ramda udah dong! Kita semua salah di sini. Dan Roje meninggal, itu karena udah takdir!" Diba menimpali.
Anak-anak tengik itu duduk sejajar bertiga. Tidak ada lagi yang sendirian di belakang. Mengingat situasi atau lebih tepatnya disebut tragedi yang kami alami selana kurang lebih sehari semalam.
"Mas Fikri awas!" Arsen memekik.
"Ya Allah ... Allahu Akbar!" Galih pun ikut berteriak.
Disusul kami semua melakukan hal sama. Menyebut nama Tuhan sebanyak mungkin. Karena bisa jadi ini adalah napas-napas terakhir kami.
Bagaimana tidak?
Dari arah berlawanan, tiba-tiha muncul truk gandeng bermuatan tebu. Truk itu melaju kencang dan berada pada haluan yang salah.
Fikri berusaha mengendalikan setir untuk menyelamatkan kami semua. Sayang, jalanan pegunungan ini terlalu sempit dan berkelok-kelok.
Fikri banting setir ke kiri, bermaksud menghindari truk. Namun mobil kami justru menabrak pembatas jalan.
Kami semua berteriak, menyerukan nama Tuhan.
Guncangan demi guncangan kami rasakan. Keras dan cepat. Berguling menapaki setiap dinding jurang yang mengantarkan kami ke dasar.
***
"Ram ... Ramda ...."
"WOY ... KEBO ... BANGUN LUHHHH!"
Suara Galih seketika membuka mata saya. Saya lihat Fikri, Diba, Arsen, dan Galih mengitari saya. Juga di bapak pemilik warung.
Napas saya terengah tak keruan. Saya bingung sekali dengan apa yang terjadi. Kenapa kamu masih di sini?
Bukannya tadi kami sudah perjalanan pulang dan mengalami kecelakaan?
"Ngimpi apa? Sampek meringis-ringis, teriak-teriak, nyebut-nyebut?" Arsen memberondong saya pertanyaan.
Saya berusaha bangkit.
"HP-ku mana?" Itu yang pertama saya lontarkan.
"Ya elah, dibangunin susah, habis bangun malah nanyain HP!" Galih memberikan ponsel saya.
Belum juga saya menerima ponsel itu, pergerakan saya dihentikan oleh serangan mual.
Lagi.
"Pak baskom Pak tolong!" Diba panik.
Untung pemilik warung cekatan mengambil baskom. Saya segera muntah dengan brutal. Setiap muntah rasanya sangat sakit. Perut saya benar-benar seperti diaduk dengan blender.
Napas saya terengah di sela aktivitas mengeluarkan isi perut. Fikri mengurut tengkuk saya sembari komat-kamit membaca doa. Sesekali ia meminta saya untuk istighfar.
Saya sangat ingin melalukannya. Namun setiap kali akan mengucap kalimat suci itu, mual saya bertambah beberapa kali lipat.
"R-Roje ...." Saya akhirnya sempat mengucapkan nama Roje di tengah napas yang Senin Kamis jaraknya.
Diba menjawab, "kita udah dapet kabar dari rumah. Makanya kita bangunin Mas Ramda buru-buru tadi."
"J-jadi kenapa dia meninggal? Apa udah dikubur?"
Diba, Arsen, dan Galih saling bepandangan. Nampak bingung dengan ucapan saya.
"Mas Ramda ngimpi apa, sih, tadi?" Galih menyuarakan kebingungannya.
Dihentikan oleh Fikri. "Udah ... udah .... Sst ... kalian diem dulu. Ramda masih bingung, masih sakit, jangan ditanya aneh-aneh dulu!"
Ucapan Fikri menyadarkan saya bahwa ini adalah dunia nyata. Sementara yang saya alami beberapa saat yang lalu ... itu mimpi?
Tapi terasa sangat nyata.
Berarti ... Roje masih hidup?
"Udah enakan?" tanyanya.
Saya mengangguk.
"Kami dapet kabar dari rumah. Roje udah di rumah. Dia sehat alhamdulillah. Hanya saja dia kayak orang linglung gitu. Makanya kita disuruh cepet pulang. Mau ditanya banyak kronologi sama orang rumah." Fikri akhirnya menjelaskan yang sebenarnya terjadi pada saya.
Syukurlah ... Roje benar-benar masih hidup.
Saya jadi merasa tak enak pada Fikri. Padahal ia selalu sangat baik pada saya. Tapi di mimpi tadi saya memperlakukannya dengan sangat tidak baik.
Kami akhirnya beranjak dari warung setelah saya merasa lebih baik. Meskipun sebenarnya badan saya masih serasa remuk. Rasa jatuh ke jurang dalam mimpi seakan benar-benar nyata menghujam seluruh tubuh saya.
Sama seperti di mimpi. Suasana perjalanan pulang kami sungguh sunyi.
Namun bukan karena rasa takut yang memuncak. Melainkan karena anak-anak tengik sudah tidur.
Sekarang jam tiga dini hari.
Saya pun sangat mengantuk. Namun tak bisa tidur seperti mereka. Sekali lagi karena sekujur tubuh saya sakit.
Tangan saya tak sengaja menyentuh perut ketika hendak mengambil ponsel dari saku.
Mata saya terbelalak. Perut saya ... kenapa ....
Sejak kemarin saya memakai kemeja panjang kedodoran berlapis jaket. Mengingat hawa di gunung sangat dingin. Sehingga saya tak terlalu memperhatikan perubahan diri saya sendiri. Bahkan perubahan sebesar dan sekentara ini, baru saya rasakan sekarang.
Tapi ini ... apa-apaan?
Bahkan hanya dalam kurun waktu sehari semalam, perut saya berubah menjadi sebuncit sekarang?
Kenapa? Apa karena sakit yang saya alami? Jadi saya mengalami sakit serius?
"Kamu sudah mulai rasain, kan?" tanya Fikri. Ia tetap terlihat tenang, masih konsentrasi menyetir. Tidak melihat saya sama sekali, seolah tak ingin membuat saya merasa tak nyaman dengan keanehan yang saya rasakan.
Saya bingung dengan maksudnya.
"Itu sebabnya aku bilang kamu butuh pertolongan segera, Ram ...," lanjutnya.
"T-tapi ... apa yang sebenarnya terjadi, Fik? Kenapa aku jadi begini? Kenapa dengan perut aku?"
"Itu karena ulah setan wanita itu, Ram. Dia memanfaatkan kamu. Dia menguasai tubuh kamu."
"Aku bener-bener nggak ngerti, Fik."
"Kamu akan segera mengerti!"