3. Melihat Seseorang

1001 Words
"Anu ... tadi ... tadi ada ... ada hantu!" ungkap saya akhirnya. Sedikit rasa lega tumbuh dalam hati saya karena sudah membagi pengalaman spektakuler barusan. "Hantu?" ulang mereka semua bersamaan. "Masak di rumah Bude ada hantu, sih, Le?" Bude Pangestutik terlihat tak percaya sekaligus tak terima. "Huum. Mana di kamar aku pula. Seumur-umur aku tidur di kamar ini, nggak pernah, tuh, ada hantu!" Mas Wahyu menimpali. "Beneran ... tadi ada hantu." Saya beringsut berjalan ke dinding di mana tadi Nina pertama kali muncul. "Tadi dia pertama berdiri di sini." Saya menirukan cara berdiri Nina dengan punggung yang sedikit membungkuk. Saya melanjutkan. "Lalu dia ngomong. Dia bisa baca pikiran aku. Terus ketawa. Terus dia ngerangkak gitu ke atas kasur ngampirin aku. Mana ngerangkaknya nggak tengkurep. Tapi terlentang." "Ngerangkak terlentang gimana?" Mas Wahyu memasuki area kamar, melepaskan diri dari kerumunan di depan pintu. "Gini, lho, Mas!" Saya menirukan posisi merangkak Nina meskipun sulit. "Kayak orang lagi Yoga gini." "Oalah ... kayang!" seru Ibuk. "Iya kayang," sahut saya. "Ish ... tapi kok aku masih nggak percaya ada hantu, sih." Mas Wahyu masih menolak untuk percaya. "Iya, Mama juga nggak percaya, Le." Bude Pangestutik membela putranya. "Kamu yakin tadi masih sadar, Le?" Pertanyaan Ibuk membuat saya kesal setengah mati. "Jangan-jangan kamu tadi udah tidur. Terus hantu kayang itu cuman ada di mimpi kamu." Saya menggeleng cepat. "Nggak, Buk. Sumpah. Aku lihat dia dengan mata kepala aku sendiri." "Atau jangan-jangan kamu ketindihan tadi." Ibuk masih ngeyel. "Enggak, Buk. Sumpah. Hantunya bener-bener ada dan nyata!" Saya bersikeras. "Aduh, Ram ... jangan ngada-ada, deh. Besok adekku nikah. Kamu jangan bikin gara-gara. Kalau ternyata kamu belum bisa tidur, mending bantuin aku dan yang lain nata kursi. Daripada halu lihat hantu! Jangan kebanyakan nonton Roy Kiyosi makanya." Tapi saya tidak berniat untuk membalas ucapannya lagi. Mereka tidak percaya. Mau saya menjelaskan sampai mulut berbusa sekalipun, mereka tetap tak akan percaya. Kecuali sudah ada bukti. Misalnya den gan mereka melihat sosok Nina secara langsung. "Udah, Nduk ... kamu nggak usah takut. Nggak ada apa-apa kok." Bude Pangestutik berusaha menenangkan putri bungsunya. "Udah, yuk ... bubar semuanya. Biar Winda bisa segera istirahat. B esok pagi biar fres h wakt u di-paes." Sesuai perintah Bude Pangestutik sang tuan rumah, kerumunan benar-benar bubar. Sedangkan saya ... mana mungkin bisa tidur lagi dengan kejadian yang baru saja saya alami? Saya akhirnya mengikuti saran Mas Wahyu untuk membantu menata kursi tamu. Saya menata kur si dengan tida k bersemangat. Saya lelah, saya mengantuk, saya ingin tidur, tapi tidak bisa. "Mas Ram ...," sapa Lazuardi, sepupu saya yang lain. Sebenarnya usia kami sama. Tapi karena Lazuardi adalah anak dari adiknya Ibuk, maka ia harus meman ggil saya dengan sebutan Mas. Lazuardi tidak meneruskan kuliah selulus SMA. Ia lebih fokus mengembangkan hobi, yang ia yakini akan menjadi sumber penghasilan di masa depan. Katanya, sih, Lazuardi ini memiliki kemampuan khusus. Semacam cenayang lah. Anak indigo bahasa kerennya. Ia bis a melihat du nia lain beserta makhluk-makhluk astral penghuninya. Mirip seperti Roy Kiyosi yang dibicarakan oleh Mas Wahyu tadi. Bedanya Lazuardi lebih ganteng, lebih keren, dan lebih tinggi sedikit. Tinggi badan Lazu ardi sama sep erti saya, 183 cm. Tapi sejauh ini saya tak pernah tertarik dengan cerita-cerita orang dengan kemampuan Lazuardi. Kenapa? Karena sekali lagi dalam hati saya ada iman yang kokoh. Lazuardi selalu membicarakan arwah penasaran yang belum sempurna. Padahal dalam ajaran agama saya, setiap manusia yang meninggal, pasti arwahnya segera berada di alam barzah. Bukannya berkeliaran di dunia seperti cerita-cerita anak indigo. "Katanya Mas barusan lihat hantu, ya?" tanya Lazuardi kemudian. Saya menatapnya dingin. Benar-benar tak berselera untuk menanggapinya. Tapi demi azaz kesopanan, saya tetap harus menjawab. "Bukan hantu. Cuman jin yang nyamar." Lazuardi terkikik. "Aku juga lihat dia, Mas," ucapnya. Saya cukup terkejut mendengar ucapan Lazuardi. Tapi saya masih enggan antuasias menanggapi. Saya hanya diam, konsentrasi menata kursi. "Saat Mas Ramda datang tadi, saya lihat cewek berjilbab kuning di bocengan motor Mas. Pertama saya pikir dia ceweknya Mas Ramda. Eh, pas Mas Ramda masuk rumah, dia ilang. Baru, deh, saya ngerasain auranya. Ternyata bukan manusia." Saya masih diam. Tapi Lazuardi sama sekali tak gentar. Ia terus berbicara panjang lebar. "Saya belum pernah lihat dia sebelumnya. Yang sering ya Farida. Kalau nggak gitu si Rachel yang sering mondar-mandir di jalan raya depan. Nama Nina saya udah pernah denger. Tapi baru lihat sekali ini." Barulah saya sudi menengok, menatap wajah Lazuardi. Karena ia tahu nama hantu itu adalah Nina. Tapi tak semudah itu saya percaya. Karena makhluk tak kasat mata penuh dengan tipu muslihat. Lazuardi dan anak-anak indigo lain adalah korban ketersesatan akibat gangguan mereka. Harusnya manusia-manusia macam Lazuardi diselamatkan--dirukyah--bukannya malah diagung-agungkan. Apalagi dipercaya. "Dia punya dendam yang besar, Mas. Dia punya bayi. Dia ... sepertinya suka sama Mas Ramda. Hati-hati, Mas!" Lazuardi menepuk pundak saya beberapa kali, sebelum akhirnya ia melenggang pergi. "Dia masih ngikutin Mas." Lazuardi tiba-tiba datang dan berbisik seperti itu. Saya hampir jantungan saking kagetnya. "Kamu apa-apaan, sih, Di? Kaget tauk!" Saya memegangi d**a. Usaha agar jantung ini tak jadi copot. "Maaf, Mas. Aku cuman ngasih tahu. Aku nggak mau Mas Ramda berada dalam bahaya. Seperti apa yang aku katakan semalam, dia beneran suka sama Mas." "Terus?" "Makhluk halus bila suka sama manusia, mereka akan melakukan apa pun agar cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Makanya aku minta Mas untuk hati-hati." "Jangan ngawur kamu. Aku nggak percaya hal-hal kayak gitu. Aku hanya percaya sama Allah." "Mas, mereka beneran ada. Mas nggak percaya, karena nggak bisa lihat mereka. Mereka ... ada di mana-mana." Lazuardi menatap tajam ke beberapa arah. Seperti sedang menatap benci pada seseorang, meskipun tak ada siapa pun pada sudut-sudut yang ia lihat. "Maksudku bukan nggak percaya dengan keberadaan mereka. Di Al-Qur'an dijelasin, Allah nyiptain jin dan manusia semata-mata hanya untuk beribadah kepada-Nya. Bukannya saling menyesatkan satu sama lain. Seperti jin-jin nakal yang suka nyamar, yang suka menjerumuskan orang-orang kayak kamu!" "Maksud saya baik memperingatkan Mas Ramda," jawabnya. "Nanti misal gangguan dari Nina sudah tak tertahankan lagi, kapan pun Mas Ramda butuh bantuan, saya akan berusaha bantu," ucapnya tulus. "Saya pamit dulu, Mas."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD