BAGIAN 12

1326 Words
Jika cemburu hanya berlaku Pada hati yang mendamba Aku sebut apa diriku Ketika egoku tak sengaja merasa Tidak terima akan kedekatan mereka? Happy reading! •||• "Bu Fina?" "Dokter Iqbal?" Dokter Iqbal tersenyum menghampiri Safina yang berdiri didepannya dengan gamis berwarna hitam dan kerudung putih. Bros bunga di bagian atas dadanya semakin mempercantik penampilan Safina hari ini. "Dokter Iqbal kok bisa di sini?" Dokter Iqbal tertawa. "Rumah ibu saya di sini, Fin." "Di Bandung?" "Iya dong. Kamu sendiri ngapain di sini?" Safina tersenyum lebar lalu berbalik melirik ke arah suaminya yang berbincang dengan para sepupu. "Om ipar saya ngadain tasyakuran, Dok." "Om Adi maksud kamu?" "Iya. Dokter kenal?" Dokter Iqbal lagi-lagi tertawa. "Jelas aku kenal, Fin. Om Adi itu tetanggaku. Kan rumah ibuku di sini." Dokter Iqbal menggelengkan kepala pelan. Ia merasa terhibur ketika bertemu Fina. "Oh iya hehe...." Dokter Iqbal mengulum bibir. Matanya tak lepas memandang Fina yang menunduk sambil mengecek handphonenya. "Kamu kesini sama suami kamu?" "Hum?" Fina menoleh dan mengangguk pada dokter Iqbal. "Iya sama suami saya. Itu ada di sana." "Saya baru tahu ternyata omnya suami kamu itu tetangganya ibu saya," ujar dokter Iqbal. "Iya?" "Huum," jawab dokter Iqbal. Pria itu kembali mengulum bibir untuk yang kedua kali. "Dunia itu sempit, ya?" "Kayak daun kelor?" Dokter Iqbal tertawa. "Kenapa harus daun kelor, sih?" Tawa dokter Iqbal menular pada Safina. Terbukti wanita itu sudah tertawa. Tawa yang lebih lega. Dalam artian, tawa Safina seperti bebasnya beban-beban hidupnya selama ini. "Kenapa harus nanya lagi, sih?" "Biar nggak sesat di jalan," jawab dokter Iqbal. "Kan ada maps, dokter. Kenapa harus bingung?" Dokter Iqbal terdiam. Kini tawanya berganti menjadi senyum lebar yang entah mengapa membuat Safina agak sedikit terpana. "Hati saya nggak bisa cari wanita pakai maps, Fin. Jadi ya harus saya yang turun tangan mencari wanita itu." Fix. Fina tidak tahu apa maksud dokter Iqbal sekarang. Tapi, hei, tunggu! Pipinya bersemu merah. Sial. •||• "Lo dateng sama Safina, Van?" tanya Rajju-salah seorang sepupu Revan. Revan mengangguk. Ia meminum air putih digelasnya. Tiga sepupunya yang lain-Rajju, Edo, dan Beno duduk melingkar di depannya. "Iya. Gue sama dia." "Kemana istri lo?" tanya Beno. Revan menggedikan bahunya tidak tahu. "Tadi gue tinggal di taman belakang." Plak Beno menampar paha Revan membuat Revan meringis dan mengusap-usap pahanya sendiri. Panas dirasakannya dalam beberapa detik setelah Beno mengangkat tangannya dari sana. "Gila, anjir, lo kenapa sih?!" "Lo yang kenapa!" ketus Beno. "Gue nanya istri lo Hasna, bukan Fina. Lagian sejak kapan lo ngakuin Fina sebagai istri lo sendiri di depan kita-kita?" Beno mendengus kasar menatap Revan yang tiba-tiba saja terdiam. Jujur, Revan sendiri tidak tahu ada apa dengan dirinya. Ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Apalagi sampai tidak sadar bahwa ia baru saja mengakui Fina di depan para sepupu yang notabene-nya membenci Fina. Untuk alasan apapun, Revan tidak peduli. Tapi... Hei, ada apa dengan dirinya?! "Gue nggak tahu," jawab Revan akhirnya. Edo tertawa. "Lo cinta sama dia, bro?" Edo bertanya sinis. Bibirnya terangkat sebelah. "Nggak nyangka gue lo bisa jatuh cinta juga sama perempuan kaya gitu." "Gua nggak jatuh cinta sama dia!" ketus Revan. "Lo yakin?" tanya Rajju. "Yakin." Rajju tertawa kecil. Matanya memperhatikan Fina yang sedang tertawa dengan seorang laki-laki berbaju merah di taman belakang. "Lo yakin nggak kesel lihat istri lo ketawa sama laki-laki lain?" Mata Revan mengikuti arah mata Rajju. Seketika darahnya seperti mendidih saat dirinya melihat Safina tertawa dengan pria lain. •||• "Kamu ngebatalin kemo karena ini hum?" Kepala Fina bergerak menoleh ke arah dokter Iqbal yang menatap ke arahnya. Fina tersenyum meringis. Merasa tidak enak karena membatalkan janji seenak jidat. "Iya dok. Maaf ya." Dokter Iqbal tertawa kecil. "Nggak papa, Fin. Santai aja. Tapi lain kali kamu jangan kayak gini lagi, ya. Saya kalang kabut tadi." "Maaf?" Seolah tersadar apa yang baru saja dia ucapkan, dokter Iqbal meringis samar sambil menggaruk tengkuknya yang demi Tuhan tidak gatal. "Mmmm... Itu-saya kalang kabut karena saya pikir kamu kenapa-kenapa makanya nggak datang." "Dokter khawatir sama saya?" Fina bertanya. Dokter Iqbal semakin terlihat gugup. Membuat Fina tertawa. "Bercanda, Dokter. Saya paham kok kenapa dokter cariin saya kayak gitu." "Nah hehehe..." dokter Iqbal menatap ke samping kirinya. Melihat jejeran tanaman yang di tanam oleh pm Adi. "Kamu suka bunga?" tanya dokter Iqbal. "Saya?" "Huum," tangan dokter Iqbal mengusap bunga di sampingnya sambil tersenyum tidak jelas. "Suka?" Kepalanya kembali menoleh kepada Safina. "Suk-" "Nggak!" Safina dan dokter Iqbal sukses menoleh ke arah sumber suara. Jantung Safina hampir saja copot ketika ia melihat Revan berdiri di sampingnya. "Mas?" "Kamu ngapain di sini, sayang?" tanya Revan. Pria itu sengaja menekan kata sayang di kalimatnya. Revan memaksa duduk di tengah-tengah antara Fina dan dokter Iqbal. Membuat dokter Iqbal diam-diam mendengus tidak enak. "Maaf pak Revan, saya tadi cuma ngobrol biasa aja kok sama Bu Fina." jelas Iqbal pada Revan. Revan mendengus. "Saya nggak nanya kamu. Saya nanya istri saya." Nada suaranya ketus. Membuat Safina terkejut. Pasalnya, baru kali ini Revan bersikap layaknya seorang pencemburu di depannya. Tunggu, apa tadi? Cemburu? Hell, Fina tidak boleh banyak berharap. Mungkin saja Revan tidak enak pada keluarganya jika ia berdekatan dengan laki-laki lain. "Aku tadi cuma ngobrol aja, Mas." jawab Fina. Ia menoleh menatap dokter Iqbal dan memperkenalkannya pada Revan. "Dia dokter Iqbal, Mas. Dokter spesialis kanker yang udah nanganin aku selama ini." "Iqbal Ardian, Pak." Dokter Iqbal menjulurkan tangan ingin menjabat tangan Revan, tapi Revan diam, tidak menanggapi uluran tangan itu. Membuat dokter Iqbal akhirnya menurunkan tangan malu. "Saya udah tahu. Saya Revan. Suaminya Fina." Revan berkata sinis. Membuat dokter Iqbal meringis tidak enak. Tak lama setelah itu, dokter Iqbal berpamitan untuk pergi dari pasangan suami istri itu. Revan ikut berdiri, ia menggandeng tangan Fina dan membawanya ke mobil detik itu juga. •||• "Mama mau ikut Nana ke rumah?" tanya Hasna pada Reffa yang sedang memasukan beberapa bajunya ke dalam koper besar. "Iyalah. Mama pengen bicara sama Revan. Seenaknya dia nyakitin anak Mama." Hasna menarik napas panjang. Tangannya mengusap perutnya buncitnya dengan perlahan. "Tapi Mama nggak akan nyuruh yang macem-macem ke mas Revan, kan?" "Ya nggak dong. Memangnya Mama mau nyuruh apa ke Revan? Kalaupun Mama suruh dia, Mama nggak akan nyuruh dia pisah sama kamu, sayang." "Nana juga nggak mau, Ma. Sekalipun Nana sadar, Nana ini orang ketiga, tapi Nana nggak peduli. Bagi Nana, Safina tetap orang ketiga di Nana sama Revan." •||• "Mas, kamu kenapa sih?" Revan tidak menjawab. Ia masih berdiam diri dibalik kemudi kendati mesin mobil dinyalakan. Dadanya naik turun menahan gejolak amarah dalam dirinya sendiri. Revan merasa tidak terima istrinya berdekatan dengan pria lain. Demi Tuhan, Revan tidak sudi. "Mas Revan?" Tangan Safina menjalar mengusap lengan Revan pelan. Membuat Revan menoleh menatapnya dengan tatapan sendu. "Aku nggak suka kamu dekat dengan laki-laki tadi." "Mas?" "Aku nggak suka, Fina. Demi apapun, aku nggak suka. Persetan dengan status siapa dia bagi kamu, yang jelas aku nggak suka." "Kamu cemburu?" tanya Fina hati-hati. Revan terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh otaknya untuk membawa Safina pergi dari sana. Dari laki-laki yang- Arrgh! Revan benci itu. "Mas?" "Nggak. Aku nggak cemburu." Jawab Revan setengah hati. "Aku cuma nggak enak kalau seandainya keluarga tahu kamu berbicara dengan laki-laki lain. Murahan." Safina memejamkan mata. Hatinya sakit ketika Revan mengatakannya murahan. Kepala Safina menunduk. Jari-jarinya saling bertaut. "Aku minta maaf." Revan menarik kasar rambutnya. Ia sadar bibirnya sudah keterlaluan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas didengar Safina. Tapi- Argh! Bugh! Revan memukul setir mobil membuat Safina berjenggit kaget. Napas Revan naik turun tidak beraturan. Ia menoleh menatap Fina lalu tanpa aba-aba mencium bibir Fina dengan agak sedikit memaksa. Ciuman yang lama-lama berubah menjadi lumatan penuh kelembutan. Safina menegang ditempat. Bibirnya masih belum bisa membalas apa yang Revan lakukan. Sementara air matanya mulai mengalir ke pipi tirusnya. Revan menciumnya. Di bibir. Dan itu baru pertama kali. Selama sembilan tahun menikah dengan Revan, baru kali ini Revan menciumnya. Biasanya ketika Revan ingin meminta haknya pada Safina, Revan hanya melakukan foreplay di leher dan sekitaran dadanya saja. Untuk bibir, Revan belum pernah melakukannya. Ada apa dengan mas Revan? ••••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD