Sakit itu permulaan
Sesudahnya pasti akan ada tawa
Percayalah.
Happy reading!
•||•
Safina menatap dirinya di depan cermin dengan pandangan sendu. Tubuhnya semakin kurus dengan pipi yang semakin tirus. Bibirnya kering dan pucat. Juga, rambutnya yang hanya tersisa sedikit dari jumlah rambutnya yang lama.
Safina tersenyum miris.
Penyakit itu telah menggerogoti tubuhnya. Penyakit itu sudah mengambil kebahagiaan yang baru saja ia dapatkan. Penyakit itu akan merenggutnya dari sisi Erlangga.
Demi Tuhan, Fina tidak sanggup kehilangan Erlangga dan pergi dari hidup anak itu. Erlangga adalah hidupnya. Kebahagiaan Erlangga adalah prioritasnya.
Fina tidak sanggup membuat Erlangga menjadi piatu. Fina tidak sanggup.
Tapi apa boleh buat? Tuhan sudah mentakdirkan dirinya untuk seperti ini.
"Ibu?"
"Mama ibu?"
Safina menoleh dan kontan tersenyum pada kedua anaknya. Sabima dan Erlangga. "Eh, kalian, ada apa?" Tangan Safina dengan cepat kembali memakai kerudung bergo yang tadi sempat dilepasnya.
Tubuhnya berbalik dan menghampiri anak-anaknya di depan pintu. Erlangga dan Sabima memeluk Fina dengan erat, bahkan Erlangga sempat menciumi Fina.
"Ibu nggak papa?" tanya Langga.
Sorot khawatir terlihat dari mata Erlangga. Membuat Safina diam-diam tersenyum miris dengan perasaan tersanjung. Erlangga begitu menyayanginya. Kendati anak itu terkadang tak pernah bersikap manis layaknya seorang anak pada ibunya. Tapi Fina yakin, Erlangga sangat menyayanginya.
"Ibu nggak papa kok, Mas." Jawab Fina sambil mengusap kepala Erlangga dengan penuh kasih sayang.
Langga menatap manik mata ibunya dengan pandangan sendu. Dirinya bukan tidak lihat rambut Safina yang botak tadi, hanya saja, Erlangga terlalu sakit untuk mengatakannya.
Sabima merangkum wajah Safina di tangan mungilnya. "Bima sama Mas Langga boleh nggak tidur di sini? Bima sama Mas Langga takut, Mama ibu, kalau tidur di kamar."
Safina tersenyum lembut dan mengangguk semangat.
"Boleh, kok, boleh! Kalian mau bobo sini beneran?"
"Iya Bu!"
"Oke!"
Safina mengajak kedua anaknya untuk naik ke atas ranjang dengan perlahan. Sabima berada di tengah-tengah antara Langga dan juga Safina.
"Mama Ibu kok kerudungnya nggak dilepas?" tanya Sabima. Matanya menatap wajah Safina dengan pandangan menuntut.
Safina tertawa kecil, tangannya merangkul Erlangga dan Sabima di lengannya. "Ibu pengen aja pakai kerudung. Emang nggak boleh?"
"Boleh, sih, tapi nggak biasanya ya, Mas?" tanya Bima pada Erlangga.
Untuk sejenak, Erlangga hanya memandangi sang Ibu sebelum akhirnya mengangguk pelan.
"Tuh, Bu, Mama Ibu nggak papa kan?" tanya Bima lagi.
Safina mengusap rambut Sabima dan mengecup dahinya perlahan. "Nggak papa, sayang. Mama Ibu nggak papa kok."
"Beneran?"
"Iyaa."
"Alhamdulillah," kata Bima. Ia mendekap Safina dengan erat di pelukannya. "Bima takut Mama Ibu kenapa-kenapa."
Safina hanya diam sembari mengusap-usap rambut anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Sementara Erlangga hanya diam. Kepalanya memikirkan sesuatu yang sedikit mengganggunya.
Kenapa kepala ibu botak?
Kenapa rambut ibu tidak ada?
Dan kenapa, Langga tidak berusaha bertanya pada Ibu sama seperti Bima bertanya pada Ibu?
Erlangga berdecak pelan. Pelan sekali. Hingga Safina tidak bisa mendengarnya karena matanya sudah tertutup.
Langga bangkit dari pelukan Safina pelan-pelan. Ia turun dari ranjang dan naik ke ranjang di mana Safina tertidur. Dipeluknya sang Ibu dengan erat, sebelum itu, Erlangga menatapi wajah Fina dan mencium keningnya.
Setetes air mata jatuh dan mengalir di pipi Ibunya. Membuat Langga diserang rasa sesak selama beberapa saat.
"Langga nggak tahu ibu kenapa, tapi Langga harap, Ibu baik-baik aja. Langga cinta Ibu."
•||•
"Datang sendiri lagi, Fin?"
Kepala Safina bergerak menoleh ke arah dimana dokter Iqbal berada. Bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman khas yang kapan saja bisa membuat dokter Iqbal tidak bisa tertidur semalaman.
"Iya, Di, aku sendirian lagi."
Di, adalah panggilan Safina pada dokter Iqbal. Di sendiri diambil dari nama belakang dokter Iqbal-Ardian- Di.
"Suami kamu mana?" tanya dokter Iqbal.
Safina tersenyum tidak enak ketika mengingat percakapannya pada Revan semalam. Di mana Revan berkata bahwa ia tidak bisa mengantar Safina ke rumah sakit karena jadwal kemo-nya bentrok dengan jadwal cek kandungan Hasna.
"Fin...."
"Ya Mas?"
Revan duduk dipinggiran kasur sambil memangku guling di atas pahanya. "Besok jadwal kamu kemo, ya?"
"Iya, Mas. Ada apa emang?" tanya Fina.
Dirinya bangkit setelah memasukan beberapa baju yang habis ia gosok ke dalam lemari pakaian.
"Mas kayanya nggak bisa nemenin kamu. Jadwal kamu bentrok sama jadwal check-upnya mbak Hasna. Jadi Mas nggak bisa antar kamu."
Safina terdiam sejenak. Lalu senyumnya terbit. Meski tipis. "Nggak papa, Mas. Udah biasa kok aku sendiri."
"Fin...." desah Revan bersalah.
Demi Tuhan, Revan merasa tidak enak. Pasalnya, ia sudah janji akan mengantar Safina untuk kemo yang ketiga ini. Tapi nyatanya?
Ah, s**t!
"Iya Mas. Nggak papa kok. Mas besok antar mbak Hasna aja, biar Fina sendiri gapapa kok."
"Kamu nggak marah, kan?"
Fina tertawa kecil, "Untuk apa aku marah? Toh aku marah pun, kamu tetap bersama dengan mbak Hasna, kan? Jadi aku nggak mau membuang-buang waktuku untuk marah sama kamu, Mas."
"Suami aku lagi antar orangtuanya checkup ke rumah sakit. Jadi dia nggak bisa antar aku," jawab Fina.
"Serius kamu?" tanya dokter Iqbal. Sungguh, dirinya begitu ragu. Apalagi melihat mata sayu dan sendu Safina didepannya.
"Serius."
"Kamu nggak sedang berbohong, kan?"
Safina tersenyum dan mengangguk samar. "Nggak, Di, aku nggak bohong. Udah ah, yuk, kemo!"
•||•
Erlangga mengantungi uang lembar berwarna merah muda di tangannya dan memasukkan uang itu ke dalam saku celananya. Dirinya mengambil topi yang tergantung di belakang pintu.
"Mbak Marni, pak Ucup ada nggak?" tanya Langga pada mbak Marni selaku asisten rumah tangganya yang baru saja direkrut oleh Revan seminggu yang lalu.
Mbak Marni menoleh dan menatap anak sulung majikannya dengan pandangan tidak tahu. "Nggak tahu, den. Kayanya ada, deh. Tapi mbak Marni belum lihat. Aden mau kemana?"
"Mau ke tukang cukur rambut."
"Mau ngapain, den?"
Langga hanya menatap jengah mbak Marni. Sejujurnya Langga memang sudah biasa bersikap ketus pada semua orang dirumah ini. Kecuali Ibu dan terkadang juga Papa dan Bima.
"Potong rambut, Mbak."
"MAS MAU POTONG RAMBUT?!"
Langga berdecak sebal ketika mendengae adiknya berteriak dari lantai dua. Langga hanya mengangguk dan itu membuat Sabima langsung turun dan menghampirinya.
"Ikut dong, mas!"
Langga mengangguk dan menarik tangan Sabima untuk menemui pak Ucup di pos penjaga.
"Pak Ucup," panggil Langga.
"Eh den Langga, den Bima, ada apa?" Pak Ucup bangkit dari tempat duduk dan menghampiri dua anak majikannya yang terlihat kompak setiap hari.
"Kami mau potong rambut, Pak." kata Bima.
"Potong rambut?"
"Iya. Bapak bisa antar kami, nggak?" tanya Erlangga.
Pak Ucup mengangguk semangat dan merogoh kunci mobil di dalam saku bajunya. "Bisa, den, bisa. Ayo!"
•||•
Revan memandangi pintu kayu berwarna cokelat tua di depannya dengan pandangan sendu. Ingatannya tiba-tiba saja kembali pada percakapannya dengan Dimas sore itu.
"Lo-apa?"
Dimas kembali duduk dan menatap tajam Revan. "Lo bilang lo udah nggak cinta Hasna?"
Revan diam.
"Brengek! Jawab gue!" Dimas setengah membentak Revan.
"Iya."
Brak!
Revan terperanjat ketika melihat Dimas menggebrak meja kayu tersebut. Untungnya kafe sedang sepi dan tidak terlalu ramai. Jadi kegiatan yang dilakukan Dimas barusan tidak menimbulkan keributan.
"Lo sadar nggak sih, Van? Lo tuh gila! Dulu sebelum nikah sama Hasna, lo bilang lo nggak cinta Fina karena dia norak! Sekarang dengan entengnya lo bilang lo nggak cinta Hasna! Lo mikir nggak sih, t***l, lo tuh cowok paling b******k?!"
"Gue tahu. Tapi gue juga nggak bisa nahan perasaan gue gitu aja, Dim."
Dimas tersenyum sinis. "Lo tuh bego, Van! Kenapa lo hamil Hasna sedangkan lo sendiri udah nggak cinta sama dia?"
"Lo jelas tahu, Hasna lebih dulu mengandung sebelum rasa cinta gue ke Fina hadir."
"Lo serakah, Van!"
"Emang."
"Lo nggak bisa gitu, man. Lo nggak bisa ngegantungin dua perempuan gitu aja. Dua-duanya bakalan ngerasa sakit. Lo nggak takut kalau seandainya lo punya anak perempuan dan anak perempuan lo itu nasibnya sama kayak Fina atau Hasna?"
Dimas menatap tajam mata Revan. Demi Tuhan, Dimas memang mau Revan belajar mencintai Safina. Tapi bukan berarti menyakiti Hasna. Menyakiti wanita yang dia cintai setengah mati dari dulu hingga sekarang.
"Gue nggak tahu," kata Revan.
Dimas menarik napas lelah dan panjang. Ia menggigiti bibir dengan kuat. Menahan gejolak emosi dalam dirinya.
"Lo cuma punya satu pilihan, Van. Lepasin Fina, atau lepasin Hasna. Gue nggak rela Hasna lo sakitin gitu aja."
Tatapan bingung Revan langsung ditujukan kepada Dimas. Dimas tertawa sumbang dan menatap Revan dengan tajam.
"Gue mencintai Hasna. Iya. Gue. Mencintai. Hasna."
•••••