BAGIAN 14

1190 Words
Manusia bukanlah apa-apa Sejatinya Hanya Tuhan yang bisa membolak-balikkan hati manusia Happy reading! •||• Dokter Iqbal memeriksa denyut jantung Fina dan tersenyum manis. Setelah menjalani kemoterapi pertamanya di rumah sakit bersama dokter Iqbal, Fina memang merasakan lemas luar biasa. Ia pun sudah dua kali memuntahkan isi perutnya ke dalam baskom kecil yang dibawa para suster untuk dia gunakan. "Saya udah boleh pulang, kan?" tanya Safina pada dokter Iqbal. "Boleh, kok. Tapi hati-hati ya. Minggu depan kamu harus kembali ke sini lagi." Safina tersenyum. Dirinya bangkit dan mencoba untuk bersandar di kepala brankar. "Makasih ya dok," kata Fina. "Jangan panggil saya dokter ah. Saya segan dipanggil kayak gitu," dokter Iqbal tertawa kecil. Ia menarik bangku dan mendudukan dirinya di atas sana. "Panggil aja saya Iqbal." "Panggil dokter-eh Iqbal maksudnya?" "Iya aku pengen di panggil Iqbal aja sama kamu. Kita bisa temenan kan?" "Bisa, dok-eh, Iqbal. Bisa kok. Kamu emang mau temenan sama aku?" "Kamu mau temenan sama aku?" tanya Safina. "Mau dong. Emangnya ada hal yang bikin aku harus nggak mau temenan sama kamu gitu?" Safina mengangguk. "Aku penyakitan, kan?" Dokter Iqbal tertawa. Di ambilnya tangan Fina dan menggenggamnya erat. Meski tanpa sadar. "Kamu itu manusia, Fina. Nggak ada alasan untuk saya menjauhi kamu ataupun nggak mau berteman dengan kamu." Senyum dokter Iqbal terbit. "Kecuali satu hal. Kalau kamu bukan manusia, saya nggak akan mau temenan sama kamu. Takut." Dan Safina tidak bisa tidak tertawa setelah itu. Well, ya, dokter Iqbal memang membawa pengaruh baik untuk hatinya. •||• Revan menandantangani dokumen penting yang mampir di meja kerjanya sejak lima belas menit lalu. Revan mempelajari berkas-berkas itu sebelum menandatanginya. Siang ini matahari sangat terik, membuat Revan bermalas-malasan untuk keluar kantor. Bahkan mungkin makan siangnya pun hanya di dalam ruangannya. Ceklek "Bos!" Revan mengalihkan tatapannya dan mendengus malas. "Kalau mau masuk itu salam, kek. Gini-gini gue bos lo juga, Dim." Dimas memberi Revan cengiran kuda. Ia beringsut duduk di atas kursi di depan meja Revan. Matanya memandangi Revan yang masih berkutat dengan dokumen-dokumen penting dengan wajah serius. "Lo nggak istirahat, man?" Revan menggelengkan kepalanya pelan. "Nanti aja." "Hasna nyariin lo tadi." "Biarin aja, nanti juga dia masuk." Dimas memandang lekat-lekat ke arah Revan. Dirinya sudah bersahabat dengan Revan dan Hasna sejak masih SMA. Bahkan Dimas adalah saksi bisu hubungan Revan, Hasna dan Safina selama ini. Dimas juga tahu kalau Revan tidak adil pada kedua istrinya. Laki-laki itu sering menasehati Revan, tapi apa daya? Revan itu keras kepala. Dan Dimas akan sakit kepala jika menghadapinya. "Lo lagi nggak baik-baik aja?" tanya Dimas. "Gue baik-baik aja," kata Revan. "Tapi mata lo nggak, Van. Ada apa?" Revan mengalihkan tatapannya dari dokumen dan menatap lekat ke arah Dimas. Ia mengulum bibir dan memutar-mutar pulpen di tangannya. "Dari mana lo tahu kalau gue lagi nggak baik-baik aja?" Dimas tertawa. "Lo lupa kita sahabatan berapa lama?" Revan terdiam. "Kita sahabatan udah lama, man. Cukup lihat wajah murung lo aja gue udah tahu kalau lo lagi nggak baik-baik aja." Revan menarik napas panjang dan mengembuskannya. "Tebakan lo bener," katanya. "Kalau lo lagi nggak baik-baik aja?" "Iya." "Kenapa? I mean, ada apa?" Revan membereskan pulpen dan dokumen yang berserakan diatas mejanya. "Kita ngobrol di caffe depan." •||• Dokter Iqbal menurunkan pegas mobil dan menginjak rem. Dirinya menoleh dan tersenyum manis ke arah Fina. Mobil CR-V putih yang di pakainya berhenti di sebuah rumah berlantai dua dengan cat putih dan cream. Rumah Revan dan Safina. "Makasih dok-eh maksudnya Iqbal. Makasih udah mau nganter saya." Dokter Iqbal tertawa. "Its okaay. Saya nggak ngerasa direpotin kok." "Tapi tetep aja saya nggak enak. Saya nggak tahu harus balas kebaikan kamu pakai apa," kata Fina. Tangan Fina bergerak melepas seatbealt dan tersenyum menatap Iqbal. "Aku turun, ya. Terimakasih atas tumpangannya, Bal." "Sama-sama Fin. Mau aku antar sampai depan pintu?" "Eh, nggak usah. Aku bisa sendiri kok. Makasih ya sekali lagi." Setelah dokter Iqbal mengangguk, Safina segera turun. Dokter Iqbal membuka kaca jendela, lalu melambaikan tangannya. "Saya pamit pulang, ya!" "Iya, hati-hati!" •||• Ketika Safina memasuki rumah, ia melihat Sabima dan Erlangga yang sedang tiduran di atas karpet beludru di ruang keluarga lengkap dengan PSP di tangan mereka. Safina menebak mereka sedang bermain Mario Bros karena Erlangga maupun Sabima sama-sama merutuk kura-kura yang menyerangnya. "Ah kura-kura!" kata Bima dengan nada kesal. Erlangga tertawa lalu mengambil alih PSP dan memainkan permainan itu. "Lihat aja nanti kalau Mas kalah, aku yang bakalan finishin!" "Coba aja kalau kamu bisa!" ledek Erlangga. Safina tertawa kecil mendengar perdebatan mereka. Ia berjalan menghampiri keduanya dan duduk di sana. "Kalian lagi ngapain sih? Seru banget kayanya!" Sabima dan Erlangga sama-sama menoleh dan tersenyum hangat. Keduanya bangkit lalu memeluk Safina dengan erat. "Mama Ibu!" "Ibu!" Safina membalas pelukan mereka tidak kalah erat. "Iya sayang, ini Mama Ibu." Safina menjalankan bibirnya untuk menciumi rambut kedua anaknya. "Kalian udah makan?" "Belum, Bu. Kami laper tapi tadi Mama Hasna kan pulang nggak bawa makanan." Erlangga menjawab sambil mengendurkan pelukannya. "Iya Bu, Mama tadi nggak bawa makanan jadi Bima sama Mas Langga belum makan," Bima menjawab dengan tangan yang mengalung di leher Fina. Fina tersenyum menatap keduanya. "Yaudah, kalian mau makan apa?" Sabima dan Erlangga saling melirik dan mengangguk semangat. "Chicken Cordon blue!" "Sure, sayang. Ayo kita bikin!" •||• "Jadi lo kenapa?" tanya Dimas to the point pada Revan. Revan terdiam sejenak. Matanya memandang segelas teh hijau hangat di depannya. Kafe yang mereka datangi kali ini merupakan kafe yang baru beberapa minggu buka. Di kafe ini memang menjual lebih banyak teh di banding kopi. Revan sering mendatanginya karena pria itu memang penggila teh di banding kopi. "Akhir-akhir ini gue ngerasa diri gue aneh, Dim. Maksud gue, gue kayak nggak ngenalin diri gue sendiri. Akhir-akhir ini, gue jadi lebih suka merhatiin Fina. Atau sekadar menatap dia dan mastiin kalau dia baik-baik aja. Gue juga akhir-akhir ini kayak kehilangan selera hidup kalau jauh dari Fina. Gue nggak ngerti, Dim." Dimas diam mendengarkan. Bibir Revan terbuka dan kembali melanjutkan. "Gue nggak tahu, Dim apa yang terjadi di hidup gue sekarang. Rasa-rasanya setiap detik sama kayak bom yang bakalan bisa ngehancurin gue detik itu juga waktu itu kalau Safina kanker dan udah jalan stadium 3." Air muka Dimas menjadi keruh. "Stadium 3? Kanker?" "Iya. Stadium 3. Di mana, di waktu itu, kanker stadium 3 udah parah." Tatapan mata Revan menanar dan menatap gelasnya lekat-lekat. "Gue nggak ngerti kenapa Tuhan kasih Fina sakit ketika gue mulai menyadari kalau gue nggak bisa hidup tanpa dia." Dimas menarik napas panjang dan mengembuskannya. "Jawabannya cuma satu. Lo mencintai dia." "Cinta? Tapi—kenapa secepat itu?" tanya Revan lirih. Dimas tertawa sumbang. "Kita ini manusia, Van, kalau-kalau aja lo lupa. Tuhan bisa ngelakuin apapun. Termasuk ngebalikin hati lo untuk mencintai Safina. Dan itu nggak salah, Van. Dia istri lo. Dan memang seharusnya lo mencintai dia, bukan Hasna." Revan terdiam. Dimas meminum teh chamomilenya dan menaruh gelasnya di atas meja. "Lo nggak perlu takut Hasna bakalan marah sama lo, Van. Tuhan nggak akan mengutuk lo kalaupun memang lo mencintai Safina." "Tapi gue terlambat, Dim. Umur Safina nggak lama lagi." "Justru itu. Karena lo tahu waktu dia nggak lama lagi, lo harus bahagiain dia di sisa hidupnya. Lo harus tahu satu hal, Van, lebih baik terlambat dari pada nggak sama sekali." ••••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD