•||•
Aku mengecup kening Hasna dan turun dari atas tubuhnya. Dirinya memberikanku senyum manja, lalu merentangkan tangan-bermaksud untuk meminta sebuah pelukan. Aku tersenyum kecil, ah Hasna, selalu sukses membuat aku jatuh ke dalam pesonanya.
"Van?"
Aku bergumam, sambil sebelah tanganku menjalar ke arah punggungnya. "Kenapa cinta?" Aku mengecup puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang. Ah, Tuhan, betapa aku mencintai makhlukmu yang satu ini?
"Fina nggak marah kamu pindah ke kamar aku?"
"Nggak, Fina nggak tahu." Jawabku.
Hasna adalah istriku. Tepatnya, istri keduaku. Sedang Fina-Safina adalah istri pertamaku. Jika boleh jujur, sampai sekarang aku masih belum bisa mencintai Fina. Bahkan setelah kelahiran Erlangga pun, tidak bisa merubah rasaku padanya. Dan, seperti yang kalian tebak, aku memang lebih sering menghabiskan waktu dengan Hasna ketimbang Fina. Aku menyambanginya ketika aku butuh saja. Itupun hanya satu atau dua kali. Sisanya aku hanya menghampirinya untuk sekadar memberi dia perhatian.
"Pasti dia marah, Van kalau dia tahu." Kata Hasna pelan. Wajahnya ia sembunyikan didada telanjangku. "Harusnya kamu tidur sama dia. Kemarin, kemarin laginya juga kamu udah tidur sama aku."
"Aku nggak mau, sayang. Aku nggak bisa. Lagipula Safina ada Erlangga, kok. Pasti dia nggak akan kesepian."
Hasna mendongak, "Tapi, Van, dia tetap istri kamu!"
"Ya dia memang istriku, nggak ada yang bilang kalau dia bukan istriku. Tapi aku sendiri nggak bisa berpura-pura dengan hatiku, Na. Aku nggak mencintai dia." Jelasku.
Hasna terlihat menarik napas. Tangannya membenarkan letak rambutnya dengan sempurna. "Ya cinta atau nggak cinta, kamu tetap suaminya, Van. Kamu nggak boleh berat sebelah."
"Aku nggak berat sebelah, Na."
Aku melepas pelukannya. Mataku menatap langit-langit kamar sambil menarik napas pelan-pelan. Topik pembicaraan tentang Safina akan selalu berakhir dengan aku yang ribut dengan Hasna.
"Kata siapa kamu nggak berat sebelah? Kasian dia, Van."
Aku berdecak. "Yaudah biarin aja, Na. Dia kuat kok. Ada Erlangga."
Menurutku, Erlangga adalah pelipur lara bagi Safina. Apapun kesakitan yang diberikan aku untuknya, jika itu menyangkut Erlangga, maka Safina akan mengesampingkan apapun demi anaknya.
"Yaudah lah, terserah kamu." Hasna berbalik, lalu membenarkan letak kimononya lagi. "Aku lihat Sabima dulu di kamarnya, ya. Kamu mau ikut?"
Aku mengangguk semangat. Sabima. Sabima Arsyad. Umurnya terpaut satu tahun dari Erlangga. "Mau! Aku kangen sama dia!" Aku berdiri, memungut kaus polos di bawah kaki ranjang dan mengenakannya.
"Ayo!"
Aku menggandeng tangan Hasna dan mulai menuruni satu persatu anak tangga. Tanpa memperdulikan tatapan menyedihkan seorang wanita yang demi Tuhan, akan aku sesali di kemudian hari.
•••••