BAGIAN 2

665 Words
•||• Setelah perdebatan di restauran siang tadi, Revan langsung mengajak Hasna untuk kembali ke tempat kerja mereka. Hasna ke rumah sakit, dan Revan ke kantor. Di sepanjang perjalanan, Revan sibuk memikirkan ucapan Hasna sejam lalu. Dirinya berlibur dan harus mengajak Safina? Hell, no. Lagipula Revan yakin, Safina akan pergi berlibur dengan Erlangga kemanapun mereka mau. Revan bisa bertaruh untuk hal itu. Tapi yang menjadi masalah adalah, Hasna ingin Safina ikut bersama mereka. "Ck." Revan memukul setir mobilnya dan menenggelamkan wajahnya pada lengan di atas setir mobil. "Ck, sialan!" Revan memukul setir itu pelan, lalu wajahnya ia hadapkan ke kaca jendela mobil. Melihat jejeran mobil-mobil yang sedang menunggu lampu jalan bergeser menjadi warna hijau. Drtt drrt Dengan penuh rasa malas, Revan mengambil handphone di saku celananya. Wife's Jangan lupa temuin Safina, Van. Ajak dia ngobrol, dan bilang kalau kita bakalan liburan bareng. Revan Ramandha Ya Wife's Good job I love you Read. Dan disinilah Revan sekarang. Di depan pintu kamarnya dengan Safina. Seharusnya, Revan menemui Fina sore tadi, tapi apa daya, Revan tidak bisa. Ia tidak bisa menemui Safina tanpa Hasna disisinya. Dengan menarik napas pelan-pelan, Revan mulai membuka pintu itu. Pemandangan pertama yang disambut oleh matanya adalah punggung seorang wanita yang sedang khusyuk berdoa. Wanita yang tak lain tak bukan adalah Safina. Sesekali Revan melihat pundak Safina bergerak naik turun. Ia masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintunya pelan-pelan. Takut menganggu Safina yang sedang bermunajat pada sang maha pencipta. Cukup lama Revan hanya duduk memandangi Safina dari atas sofa kecil di sana. Hingga akhirnya Safina menoleh dan terkejut ketika mendapati Revan ada di sana. "Eh mas," kata Fina. Ia bergerak bangun, lalu menghampiri Revan dan mencium punggung tangannya. "Ada apa, Mas?" Revan menggeleng. Sejenak, Revan memandangi wajah Safina yang kian hari kian menyusut. Pipinya tidak sechubby dulu. Bahkan bibirnya pun pucat. Matanya memerah karena Revan tahu Safina habis menangis. "Nggak ada apa-apa." "Ooh, aku kira ada apa. Mas mau tidur di sini atau gimana?" Tanya Fina lagi. "Tidur sini." "Sama adek?" "Iya." Safina tersenyum lembut, lalu setelahnya, hanya mereka berdua yang tahu. •||• "Mas kamu tau nggak, Papa bilang kita mau liburan bareng, lho!" Ujar Sabima pada Erlangga yang sedang memutar-mutar rubiknya. "Seriusan kamu?" Erlangga menurunkan sebelah kakinya dari ayunan gantung di belakang rumah. Matanya menatap penuh penjelasan kepada adiknya yang sedang memakan sebuah ice cream di dalam mangkuk. "Iya, kemarin aku denger Papa bilang gitu ke Mamaku." Erlangga terdiam. Ia senang. Tapi ia juga tidak percaya. Sebab, yang Erlangga tahu, Papa tidak pernah mengajak dirinya atau Ibu untuk pergi berlibur bersama. Jadi rasa-rasanya ini seperti halusinasi saja. "Ah, nggak mungkin lah kita liburan bareng! Kan Papa nggak pernah ajak aku sama Ibuku," jawab Erlangga. Sabima menoleh cepat ke arah kakaknya. "Masa sih, Mas? Kata Papa kamu yang nggak mau diajak liburan? Atau gimana sih?" Erlangga tertawa. Papa berbohong. "Udah lupain aja. Emang mau liburan kemana?" Rubik berukuran 2×2 itu ia taruh di samping tubuhnya sendiri. Fokusnya menjadi ke arah Sabima sepenuhnya. "Kata Papa sih mau ke Lombok, tapi Mamaku nggak mau kesana. Katanya jauh. Jadi kita ke Bandung." "Bandung?" "Iya, kenapa?" Erlangga menggeleng. "Nggak papa sih. Kita ke rumah eyang?" Sabima menggidikkan bahunya pertanda tidak tahu. Membuat Erlangga terdiam dan memikirkan hal yang seharusnya tidak ia pikirkan sama sekali. •||• "Bu," panggil Erlangga. Safina menoleh ke arahnya, sambil tersenyum manis. Malam ini Safina kembali tidur bersama dengan Erlangga karena Revan kembali dengan mbak Hasna. "Iya sayang kenapa?" "Tadi kata Sabima, Papa ngajak kita liburan bareng. Emang bener, Bu?" Deg. Liburan bareng? "Ibu nggak tahu, sayang. Ibu baru denger dari kamu. Kenapa emang?" Tanya Fina. Erlangga menggeleng. Ia semakin mengeratkan pelukannya ditubuh Safina. "El takut, Bu. El takut Bima cuma bercanda. El nggak mau kecewa." Safina mendekap erat kepala Erlangga di dadanya. Ia mengerti. Ia sangat mengerti dengan apa yang dirasakan Erlangga saat ini. "Nggak sayang. Nggak akan. Ibu emang nggak bisa janji kalau apa yang dibilang Bima itu bukan candaan, tapi ibu bisa pastiin, selagi Erlangga nggak berharap pada manusia, Erlangga nggak akan kecewa." ••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD