BAGIAN 4

999 Words
•||• Plak! "Apa-apaan kamu, Dek?" tanya Revan begitu mendapati dirinya ditampar oleh Safina hingga pipinya memerah. Matanya menatap nyalang ke arah istrinya yang sedang berdiri tak jauh darinya. "Kamu yang apa-apaan, Mas! Kamu apain Erlangga?" Safina bertanya dengan suara lantang. Tidak lagi diperdulikannya Revan yang menatapnya tajam. Egonya sebagai seorang ibu bagi Erlangga tergores tatkala mendapati anaknya---anak yang dilahirkannya menangis terisak. "Aku nggak ngapa-ngapain dia!" "Bohong kamu!" tuding Safina pada Revan yang masih memegang pipinya. "Erlangga nggak mungkin nangis ke aku kalau bukan kamu duduk perkaranya!" Revan tersenyum sinis. "Oh itu, dia nangis ke kamu?" Revan bertanya sambil mempersempit jaraknya dengan Safina. Bahkan panggilannya dengan Safina yang semula 'dek' pun berubah menjadi 'kamu'. Revan sudah tahu kemana arah pembicaraan ini. "Anak kamu itu cengeng! Kamu tahu? Dia dapat 40 di mata pelajaran matematika! Mau jadi apa anak itu?" "Jaga bicara kamu, Mas! Dia anak kamu juga!" teriak Safina. Ulu hatinya seperti digores sesuatu tak kasat mata yang menyebabkan rasa sakit bersarang di sana. "Anak aku?" Revan bertanya retorik pada Safina. Senyum sinisnya terbit. "Kamu nggak malu mengakui bahwa Erlangga adalah anakku juga? Anak bodoh kayak dia? Kamu pikir aku nggak malu mengakui dia?! Pikir, Fina! Nggak ada orang tua yang mau anaknya bodoh! Nggak ada--- "Dan cara yang kamu pakai juga salah! Menurut kamu etis gitu, ya, memarahi anak di depan anak yang lain?! Menurut kamu itu bagus? Nggak sama sekali, Mas!" Revan terdiam. "Kamu bikin dia minder! Kamu bikin dia nggak percaya sama kemampuannya! Kamu bikin dia nyaris nggak bisa menghargai dirinya sendiri! Kamu pikir itu bagus? Nggak!" Safina terduduk lemas di atas ranjang. Pertahanannya runtuh. Air matanya mengalir. Ia selalu seperti ini. Ehm, ralat, mereka. Mereka selalu seperti ini dengan Erlangga sebagai topiknya. Safina menyayangi Erlangga tanpa alasan. Ia berusaha membela anaknya dengan caranya sendiri. Berusaha untuk membangkitkan Erlangga dari semua hal yang anak itu rasakan. Dan Revan selalu membunuh apa yang sudah Safina lakukan. "Kamu hanya fokus pada Bima! Kamu nggak pernah melirik Langga! Apa salah Langga, Mas?" "Kamu udah tahu jawabannya. Aku nggak suka anak bodoh." Plak! "Keterlaluan kamu, Mas!" "Terserah kamu. Aku nggak peduli." Revan berbalik, meninggalkan Safina yang terduduk di atas ranjang dengan bulir air mata di pipinya. •||• Setelah mencuci wajah di kamar mandi, Safina pergi ke kamar anaknya--Erlangga dan duduk di sana. Tangannya mengusap rambut sang anak dengan lembut dan penuh kasih sayang. Bibirnya mendekat ke arah wajah Erlangga, satu kecupan berhasil mendarat di atas kening anak itu, bersamaan dengan satu titik air mata yang jatuh ke pipinya. "Mas Langga nggak bodoh, Ibu percaya Langga anak yang pintar. Langga pintar dengan cara Langga sendiri." Lirih Fina tepat di telinga anak itu. Erlangga yang merasa terusik, akhirnya menggerakkan badan dan memutar tubuhnya membelakangi Safina. Membuat Safina leluasa memeluknya dari belakang. "Langga nggak usah takut. Ibu sayang Langga lebih dari apapun. Ibu nggak mau Langga jadi anak yang gagal, gagal dalam artian, Langga nggak mengenali diri Langga lagi. Ibu nggak mau. Ibu lebih suka Langga yang Ibu kenal. Ibu nggak menuntut Langga untuk menjadi anak yang pintar. Ibu cuma minta, Langga jadi anak yang baik dan berakhlak mulia." •||• Revan membanting pintu kamarnya dengan Hasna dengan agak kasar. Ia duduk di atas ranjang sambil meraup wajahnya dengan kasar. Perkataan Safina lumayan menyentil hatinya. Ia juga sadar mungkin perkataannya kepada Safina mengenai anaknya sudah keterlaluan. "Kenapa sayang?" tanya Hasna ketika mendapati wajah murung Revan. Hasna menaruh kapas kecantikan yang dipakainya dan menghampiri Revan. Ia duduk tepat di sebelah pria itu. Membuat Revan secara refleks merebahkan kepalanya di atas pangkuan Hasna. "What happened, honey?" Hasna memberikan kecupan singkat di dahi Revan. Sebagai bentuk penenang bagi suaminya. Revan memeluk erat pinggang Hasna. "Nggak ada apa-apa, kok. Cuma masalah kecil." "Masalah apa hm?" "Langga." "Erlangga?" Revan mengangguk. "Langga kenapa?" "Aku berantem sama Fina karena Langga. Aku marahin Langga karena nilai dia kecil. Aku nggak mau punya anak bodoh, Sayang. Aku nggak mau. Aku nggak sudi. Karena dulu Papa pun ngedidik aku sekeras itu," kata Revan. Hasna mengusap kepala Revan tanpa mengatakan apapun. Ia bukannya tidak tahu Revan memarahi Erlangga dibelakang rumah tadi. Ia tahu. Tapi ia diam. Toh ia hanya buang-buang tenaga saja jika membela Erlangga di depan Revan. "Terus kamu ngapain dia?" tanya Hasna. "Aku marahin dia. Terus pas aku masuk kamar Safina, dia tampar aku." "Hah?" "Iya, dia tampar aku." "Dia----" suara Hasna tergantung di udara. "Dia berani tampar kamu?" "Iya. Dia seberani itu." "Ya ampun, sayang." Tangan Hasna bergerak menuju pipi Revan dan mengusapnya. "Sakit nggak?" Revan menggeleng. "Lebih sakit kalau aku di tinggal kamu," kata Revan. "Gombal kamu!" Revan tertawa. Ah, Hasna memang selalu bisa menjadi penghangat hatinya. •||• Matahari kembali muncul seperti biasanya. Kegiatan keluarga yang tinggal dirumah besar bergaya Eropa itu masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Kendati sang istri pertama---Safina-- tengah kesal setengah mati pada suaminya, tapi ia tidak melalaikan tugasnya sebagai seorang istri dan Ibu bagi anak dan suaminya. Safina membalik telur ceplok yang ada di atas wajan dan menaruhnya di atas piring Langga dengan cekatan. Menu sarapan pagi ini adalah nasi goreng sosis dan telur ceplok sebagai topping-nya. Suara derap langkah kaki dua orang yang sangat Fina kenal membuat Ibu dua anak itu tersenyum menoleh kepada mereka. "Mas Revan, mbak Hasna, ayo duduk dulu. Aku masih buat telurnya. Mbak Hasna mau apa? Kopi atau teh?" tanya Fina. Hasna tersenyum lembut. Lalu mengajak Revan duduk di sana. "Aku teh aja, Fin." Fina mengangguk mengerti, lalu pandangannya terarah kepada Revan yang tampak tampan pagi ini. "Mas Revan mau apa, Mas? Teh atau kopi?" "Kopi aja." Jawab Revan. "Oke Mas, tunggu sebentar ya!" Safina kembali ke dapur dan membuat teh untuk Hasna dan Revan. Hah. Bahkan setelah kejadian semalam pun, Revan tidak meminta maaf sama sekali. Meskipun Safina sudah menduga---karena Revan tidak pernah meminta maaf padanya-- tetapi tetap saja, ada sebuah rasa yang mendadak menyusup di dalam d**a dan berharap bahwa kali ini Revan akan meminta maaf padanya. Ah, setidaknya untuk Erlangga. Tapi nyatanya tidak. Dan itu cukup membuat air matanya mengalir. Dan tanpa Fina sadari, sedari tadi, Erlangga menyaksikan itu semua. "Papa.." ••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD