“Ken! Ken, ish!” Leyna memukul lengan Ken berkali-kali, karena laki-laki itu yang tiba-tiba meletakkan kepalanya di kemudi dengan mata tertutup setelah berpindah ke belakang kemudi. Leyna sudah turun, tetapi menahan pintunya, tetap terbuka. Tadi Leyna yang ambil kemudi, berhasil selamat sampai apartemen tetapi sekarang tak yakin biarkan Ken mengemudi untuk pulang.
“Kamu pingsan? Jangan nakut-nakutin dong!” Kesal Leyna.
Ken bergumam lirih, dapat protes sahabatnya, buat kepalanya kian pening, “kepalaku pusing banget. Aku udah nggak kuat kalau harus nyetir,” ujar Ken. Padahal, Leyna sudah siap masuk ke gedung apartemennya.
“Ya terus gimana, dong? Mau aku pesenin taksi aja? Tapi ini udah tengah malam. Pasti susah juga. Lagian pakai taksi juga nanti kamu ke kamarnya gimana? Mau buat Mama heboh?” kesal Leyna. Ikut rumit memikirkan. “Makanya, kalau diingetin buat nggak usah minum tuh nurut aja! Repot sendiri kan sekarang akhirnya?”
Leyna terus mengomel.
Ken tersenyum dengan mata yang masih tertutup. “Kan repotnya bareng-bareng sama kamu.”
“Dasar!” Lagi-lagi Leyna memukul lengan pemuda itu. “Serius, Ken, terus gimana? Ya kali aku biarin kamu tidur di sini dengan keadaan kayak gini? Yang ada kamu bisa pingsan beneran karena kehabisan oksigen.”
Ken tak lagi menyahut, seolah lelaki itu sudah tidur.
“Ken, jangan tidur dulu kek! Bantuin mikir kenapa? Kamu pikir kamu doang yang pusing? Aku juga pusing, nggak bisa mikir,” sentak Leyna sambil menarik Ken untuk duduk tegak.
“Aku nginep di tempat kamu dulu aja, ya! Plis. Kalau enggak, biarin aja aku tidur di sini! Biar kalau besok pagi badanku sakit-sakit, kamu ngerasa bersalah dan-”
“Oke, fine! Tapi tidur di sofa ruang tamu!” potong Leyna, membuat Ken terkekeh.
“Emang kamu hobi ngancem-ngancem!” Gerutunya lagi.
“Siap, princess. Lagian biasanya juga gitu, kan? Bentar deh aku coba kabarin Greisy. Eh, tunggu bentar-bentar. Ngapain juga harus ngabarin dia, ya? Udah lah ayo kita ke unit kamu! Aku udah capek banget, pengen baring.” Ken mulai berceloteh, membuat Leyna hanya bisa geleng-geleng kepala.
Sebagai orang yang tingkat kesadarannya masih lebih baik, Leyna pun membantu Ken untuk menuju kamarnya. Ketika masuk ke unit yang didominasi warna putih dan abu-abu itu, Leyna menarik Ken ke arah sofa dan melemparnya dengan keras.
“Huh! Berat banget, sih? Kamu nggak jaga pola makan kamu lagi, ya? Lemak kamu pasti nambah. Dasar bebal banget kalau disuruh jaga pola makan! Papa kamu itu ada riwayat jantung koroner, Ken, kolesterol sama gula darahnya tinggi. Kalau kamu nggak hati-hati, kamu juga bisa kena!” omel Leyna. Gadis itu juga sudah melantur terlalu jauh. Leyna sendiri sudah mulai sulit mengendalikan diri dan apa yang ingin ia katakan.
“Arghhh! Nggak tahu lah. Pusing. Aku mau tidur aja,” putus Leyna, karena menurutnya akan percuma jika ia bicara dengan Ken dengan keadaan yang seperti ini.
Baru saja Leyna hendak menutup pintu kamarnya, tiba-tiba benda kayu itu terasa begitu berat. Leyna tetap berusaha. Ia sudah tak punya cukup banyak tenaga untuk meladeni halusinasinya. Namun ternyata, itu bukan sekadar halusinasinya semata. Namun Ken, berada di balik pintu, menahan benda itu agar tak dapat ditutup.
“Ken?”
“Ley, sebentar!”
Penasaran dengan apa yang akan Ken lakukan, Leyna pun diam saat Ken berusaha masuk. Ia mengizinkan Ken masuk ke ruang pribadinya itu. Namun, ia menjerit protes saat Ken menutup dan mengunci pintunya dari dalam.
“Siapa yang izinin kamu masuk? Mau ngapain kamu sampai ngunci pintunya segala, hah?”
Tanpa menjawab, Ken meraih tangan Leyna. Ia tarik gadis yang mulai tampak lemah itu hingga tubuhnya yan mungil membentur dadanya.
Leyna meneguk ludahnya susah payah, menahan apa pun yang akan Ken lakukan. Dia masih coba berpikir positif, “jangan bercanda ya, ken! Katanya capek, pusing... Udah awas! Sana, keluaaaar!”
“Leyna...” panggilnya serak, mengunci tatapan matanya. Lalu mata Ken tertuju pada bibir Leyna.
“Ken, kamu lagi gak sadar—“
“Orang-orang bilang, kenapa aku nggak sama kamu aja.” Dia mulai melantur, “terus aku jawab, aku sih mau sama kamu... tapi, kamunya yang nggak pernah lihat aku sebagai pria untuk dipacari.”
Leyna seketika mematung mendengar ucapan Ken.
“Kamu makin ngaco—“
“Aku benar, kan? Pernah nggak sekali aja kamu mempertimbangkan aku untuk lebih dari sekedar sahabat?”
Bibir Leyna seketika terbuka lagi, hendak bicara tetapi kemudian, Ken tarik tengkuk Leyna untuk ia kecup bibirnya.
Meski dirinya juga terpengaruh minuman beralkohol, tetapi, Leyna masih memiliki cukup kesadaran jika apa yang terjadi pada mereka ini salah. Ia mendorong Ken hingga ciuman lelaki itu terlepas. Namun, kala ia hendak menjauh, Ken lagi-lagi menariknya dan menahan lengannya dengan sangat erat. Ken kembali menyesap bibir Leyna secara bergantian, atas dan bawah. Leyna berusaha melawan. Namun, tenaganya tak sebanding dengan Ken yang sudah berada di bawah pengaruh alkohol.
Leyna menjerit tertahan saat merasakan tubuhnya dibanting ke kasur empuk miliknya. Pakaiannya dilucuti paksa oleh Ken. Gadis itu menangis, lalu Ken kembali mengecup bibirnya, kali ini dengan lebih lembut.
“Ken, sadar! Aku Leyna!” cicit Leyna dengan air mata berderai di kedua sisi pipinya.
“Aku sadar, Leyna... tapi, aku mau kamu... malam ini.” Bisiknya kembali menguasai bibir Leyna. Perlahan permainan Ken berhasil menaklukannya. Perlawanannya berubah menjadi sikap menerima. Bahkan, terkadang Leyna kelepasan membalas ciuman panas lelaki itu, meski terkadang saat kesadarannya kembali ia akan kembali melakukan perlawanan.
Namun, Ken tak bergeming, tetap mengungkung Leyna di bawah kuasanya, hingga Leyna dapat merasakan sesuatu yang keras berusaha memasuki dirinya di bawah sana. Ia menggigit bibir bawahnya. Segala perlawanannya seolah sia-sia. Malam itu, Ken benar-benar mengambil sesuatu yang sangat berharga milik Leyna.
***
Ken tidak bisa fokus bekerja. Ucapan Leyna tiga hari yang lalu masih terus menghantuinya, “melupakannya? Apa dia sendiri bisa melakukan hal itu?”
Pikirannya sangat kacau. Berulang kali ia berusaha untuk menemui wanita itu. Ia mengajak Leyna bertemu tatap muka berdua, tetapi ada saja alasan wanita itu untuk menolak.
“Ya Tuhan … aku harus gimana lagi? Bagaimana bisa aku jadi lelaki yang berengsek pada Leyna? Aku bahkan tidak punya kesempatan untuk bertanggung jawab.”
“Bagaimana jika dia sampai hamil?”
Ken terperanjat saat pintu ruang kerjanya tiba-tiba dibuka dari luar. Tampak seorang wanita cantik dengan pakaian formal masuk ke ruang kerjanya.
“Grey?” kaget Ken. Ia tak menyangka jika sang kekasih akan mendatanginya siang-siang begini.
“Lunch bareng, yuk!” ajak Greisy.
“Tiba-tiba banget?” bingung Ken. Pasalnya, Greisy yang ia kenal adalah orang yang disiplin soal waktu. Ia selalu merencanakan semua hal sebelum melakukannya. Apalagi, saat jeda istirahat waktu kerjanya seperti ini.
Greisy mengernyitkan alisnya. “Kamu lagi banyak banget kerjaannya, ya? Apa ada jadwal sidang?”
Ken menggeleng. “Enggak kok. Memang ada beberapa klien tapi nggak sepadat itu jadwalku. Jadwal sidang terdekat masih minggu depan.”
“Tapi nggak biasanya kamu sampai nggak cek HP selama beberapa jam, kecuali kalau kamu lagi sibuk banget,” ujar Greisy.
“Maksud kamu?” Ken tidak mengerti kenapa tiba-tiba Greisy membahas soal kesibukan dan jam kerja Ken.
“Aku chat kamu dari jam sembilan seperempat loh. Dan kamu nggak nge-read chatku?”
Ken terperanjat. Sejak tadi, ia selalu memegang ponselnya. Dan kontak Greisy menjadi salah satu yang ia pinned selain kontak sang ibu dan Leyna. Namun, kenapa ia bisa tidak tahu kalau Greisy mengiriminya chat sejak berjam-jam yang lalu?
Greisy menghela napas panjang. “Kalau lagi nggak sibuk, ayo makan di luar! Aku udah samperin kamu ke sini loh. Masa mau kamu anggurin aja?”
Ken memijat keningnya yang terasa pening. “Maaf. Harusnya tadi aku jemput kamu. Aku benar-benar lagi nggak fokus. Maaf, Grey.”
“It’s oke. Bukan masalah besar. Aku tahu, kerjaan kamu memang menyita pikiran banget. Apa lagi kamu habis dapat laporan baru, kan? Kamu pasti lagi pusing-pusingnya mempelajari kasus itu.”
Ken semakin merasa bersalah. Padahal ia memiliki kekasih yang sangat pengertian dan baik seperti Greisy. Namun, bisa-bisanya ia kemarin sempat kesal pada wanita itu yang menurutnya tidak pernah memprioritaskan dirinya kala Greisy menolak ajakannya untuk datang ke reuni SMA. Terlebih, setelahnya, Ken justru membuat masalah yang sangat besar. Tak hanya menyakiti Leyna, Ken juga baru sadar jika apa yang ia lakukan malam itu bisa menjadi bom waktu untuk hubungannya dengan Greisy yang sebentar lagi akan sampai ke jenjang pernikahan.
“Kenzo Alfarezi, ayo!” ajak Greisy.
Namun, pikiran Ken sedang benar-benar kacau. Ia tidak sedang berada dalam suasana hati yang baik untuk pergi nge-date dengan sang calon istri.
“Kalau aku ganti dengan dinner nanti malam aja, gimana? Buat sekarang, aku lagi nggak bisa keluar, Grey. Paling nanti delivery order aja. Kamu kalau mau balik ke tempat kerja kamu, aku pesenin taksi online, ya?”
Sungguh. Ken bahkan tidak bisa berpikir jernih tentang apa yang harus jadi prioritasnya sekarang. Dari banyaknya hal yang mengusik pikirannya saat ini, hanya ada dua pertanyaan yang terus muncul ke permukaan, membuat ia tak bisa memikirkan hal-hal yang lain.
Bagaimana cara agar aku bisa bertemu dan bicara empat mata dengan Leyna sementara dia terus menghindar?
Bagaimana jika Leyna hamil, karena malam itu kami sama sekali tidak menggunakan pengaman, dan aku bahkan tidak ingat mengeluarkannya di luar atau di dalam?