Part 4 | Makan Malam

1068 Words
Setelah pulang dari kampus, Nada langsung ke apartemen Semesta karena pria itu sudah memberitahunya password. Apartemen ini tidak terlalu luas, tetapi cukup untuk Semesta yang tinggal sendiri. Hanya punya dua kamar tidur yang di dalamnya sudah ada masing-masing kamar mandi, satu dapur, ruang tamu, ruang TV, dan satu kamar mandi di luar. Nada langsung membersihkan apartemen itu, menyapu, mengepel, sampai tidak ada debu bahkan di celah-celah terkecil, kemudian ia mencuci piring, dan mencuci pakaian Semesta yang berserakan di lantai. Setelah itu Nada memasak makanan sesuai dengan persediaan di kulkas Semesta seadanya, hanya ada beberapa potong daging ayam, dan sayuran hijau. Nada Saquila: Ta, kalau udah selesai ngantor langsung pulang ya. Aku udah masakin kamu. Setalah itu Nada langsung ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. *** Ponsel Semesta yang terletak di atas meja pun berdering, sebelum Melodi melihat pengirimnya, buru-buru Semesta langsung mengambil benda pipih itu. "Siapa, Ta? Kok kayak rahasia banget?" Namanya juga laki-laki yang berselingkuh, ponsel menjadi barang privasi, bahkan kekasihnya pun tak boleh menyentuh barang itu. "Bukan apa-apa, ada orang kantor yang chat nanyain kerjaan." Melodi merasa ada yang aneh dari Semesta belakangan ini, seperti ada yang disembunyiin darinya. "Kamu enggak main gila di belakang aku, kan?" Semesta berusaha meyakinkan Melodi. "Ya enggaklah, Sayang. 4 tahun jalan, masa aku kayak gitu. Apalagi kamu calon istriku." "Mana tahu kamu bosan sama aku." Bukan bosan sih, cuma ada yang lebih menarik dari kamu. "Jadi kapan kamu siap menikah, Mel?" Melodi menghentikan aktivitasnya memotong steak, lalu menatap Semesta. "Kita itu baru 25 tahun, terlalu muda untuk membangun rumah tangga, aku masih mau karir dulu sebelum sibuk dengan anak dan suami, maybe 2 tahun lagi." Selalu itu yang menjadi jawaban Melodi setiap kali diajak nikah. Berbeda sekali dengan Nada yang bahkan setelah lulus kuliah sudah siap berumah tangga. "Kamu serius enggak sama aku, Mel?" "Kenapa nanya gitu, Ta? Aku serius, aku cuma belum siap aja. Menikah juga butuh kesiapan mental, dan sekarang mental aku belum siap." Semesta akhirnya hanya mengangguk, dia malas melanjutkan pembahasan yang tidak ada ujungnya. Akhirnya Semesta pamit pulang duluan, ia tidak mengantar Melodi karena sama-sama bawa mobil. *** Saat masuk di apartemen terlihat Nada yang sedang tertidur di meja makan, seperti istri yang menunggu suaminya pulang. Semesta memperhatikan makanan di atas meja yang masih utuh dan sepertinya sudah dingin. "Nada ...." Semesta menepuk-nepuk pipi Nada untuk membangunkan gadis itu. Mata Nada pun perlahan terbuka, dan ia membenarkan posisinya. "Ta, kamu baru pulang? Makan ya, tapi aku panasin dulu, kayaknya udah dingin." "Enggak apa-apa, aku langsung makan aja, ayo maka bareng." Setelah selesai makan, keduanya pun duduk di sofa, seraya Nada yang memeluk tubuh laki-laki itu. "Kamu yang bersihin apartemen aku?" Nada mengangguk, sembari memegang jakun Semesta yang menonjol. "Nada, jangan pegang." Nada menegakkan posisinya. "Kenapa?" "Aku ini laki-laki normal, Nada." Nada tersenyum miring. "Aku juga enggak bilang kamu gay, Semesta." "Aku laki, kamu perempuan, kita di tempat sepi, bisa aja kan terjadi yang aneh-aneh." Nada bukan anak kecil yang tidak tahu ke mana arah pembicaraan Semesta. Gini-gini Nada hobi baca n****+ erotis. "Terus kenapa? Kan kamu bakal bertanggung jawab." Semesta menggeleng. "Nad, yang aku nikahi itu Melodi." Nada langsung meletakkan jari telunjuknya di bibir Semesta. "Bisa enggak kalau kita lagi berduaan enggak boleh bahas cewek lain?" Semesta tersenyum lalu mengangguk. Ia menangkup kedua pipi Nada. "Wajah bangun tidur tanpa make up aja kamu cantik banget. Seharusnya kamu bisa dapatin cowok single di luaran sana." "Ya gimana hati aku maunya Semesta. Biarin orang-orang ngatain aku apa, aku enggak bisa ngendaliin perasaan aku sendiri." Semesta melirik jam tangannya. "Aku antar pulang ya, udah malam." Nada menggeleng. "Mau bobo sini aja sambil peluk Semesta." "Manja astaga. Kalau orangtua kamu cariin?" "Tadi udah izin mau nginap di rumah teman." "Kenapa kamu bisa buat aku luluh ya? Sampai akhirnya aku mengkhianati Melodi." Nada sebenarnya merasa bersalah ke kakaknya itu, tetapi mau bagaimana lagi Nada juga mencintai Semesta. Kalau kata Nada ; selama janur kuning belum melengkung, masih ada waktu untuk menikung. *** Setelah mandi, Semesta langsung berbaring di samping Nada, ia memeluk kekasihnya dengan erat. Sementara Melodi di seberang sedang memikirkan perilah Semesta yang akhir-akhir ini semakin berubah. Apa yang dilakukan Semesta dan Nada ini salah, karena ini bentuk sebuah pengkhianatan. Namun, yang namanya hati tidak ada yang bisa memprediksi kemana ia akan berlabuh. "Aku sayang kamu," ujar Nada. "Kapan rasa ini kamu balas? Atau selamanya enggak mungkin?" Semesta hanya bergeming. "Kalau kamu enggak sayang aku, kenapa kamu mencium aku kemarin? Kenapa kamu ajak aku kencan padahal bukan hari minggu? Kenapa kamu meminta setiap harinya adalah milik kita? Dan kenapa sekarang kamu memeluk aku dengan erat, Ta?" Semesta juga bingung dengan perasaannya, ia yakin kalau hatinya masih milik Melodi. Namun, ia juga tidak bisa memungkiri kalau di dekat Nada ia merasa nyaman dan bahagia. "Aku enggak bisa deskripsiin rasa aku ke kamu, Nad, tapi yang aku paham, aku nyaman di dekat kamu. Apa itu bisa disebut sayang?" Nada tersenyum tipis. "Sayang itu berawal dari nyaman, dan aku yakin one day aku bisa menggeser Kak Melodi in your heart." Semesta langsung melepaskan pelukannya dan beranjak dari kasur. Hal itu membuat Nada kaget. "Ini salah, Nad, aku enggak bisa khianati calon istriku." "Calon istri? Bahkan Kak Melodi belum tahu kapan dia bisa menikah sama kamu! Dia masih terlena akan dunianya. Untuk apa kamu mempertahankan orang yang bahkan untuk hidup bareng kamu harus mikir 1000 kali dulu?" Semesta membuang napas kasar. "Nada, sadar, dia itu kakak kamu." Nada pun beranjak dari kasur. "Sadar kok, sadar betul, aku punya kakak tapi seperti enggak punya kakak. Dan aku enggak peduli kalau akhirnya dia benci aku, Ta, i don't care." "Nada, bukan hanya kakak kamu yang bakal murka, tapi juga orangtua kamu." Nada menyeka air mata yang tak sengaja jatuh. "Ta, aku emang tinggal bareng mereka, keluargaku masih lengkap, dari kecil aku selalu dicukup kebutuhan finansial, tapi perhatian dari mereka sama sekali enggak ada. Mereka enggak pernah peduli apa pun tentang aku." Semesta melihat raut sendu yang tampak di wajah Nada. "Pernah waktu kecil aku naik sepeda keliling kompleks, terus jatuh, lutut dan siku aku berdarah, mereka bukan obatin luka aku, tapi malah marah-marah karena katanya aku enggak becus, sampai akhirnya aku enggak dikasih uang jajan selama sebulan untuk ganti uang sepeda yang rusak." Semesta tidak bisa berkata-kata lagi. "Kamu tahu enggak sih, gimana rasanya jadi asing di rumah sendiri? Jadi, aku enggak peduli mereka mau benci atau apa pun sama aku, karena aku udah terbiasa tumbuh tanpa kasih sayang sejak kecil." Semesta menghampiri Nada lalu menyeka air mata gadis itu. "Biar bagaimana pun juga mereka itu orangtua dan kakakmu." "Aku tahu, aku enggak pernah benci mereka, tapi aku hanya ingin terlihat dan dianggap." "Kamu udah pernah ngomong tentang uneg-uneg kamu?" Nada mengagguk. "Kata mereka aku lebay." Nada menatap Semesta. "Ta, please, jangan tinggalin aku, karena cuma kamu yang peduli sama aku." Semesta mengangguk, lalu memeluk gadis itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD