3

1104 Words
Anna mendaratkan tubuhnya di kasur empuknya. Mengingat kejadian tadi, kejadian di mana ia terjelembab mencium tanah, apalagi pas dirinya bersetuhan dengan Andi, ngak tau ada ke ajaiban dari mana dan yang ke berapa jantungnya dag-dig-dug ser... Mustahil ia fikir, bagaimana bisa ia melupakan lelaki itu secepat ini, bagaimana bisa ia menyukai lelaki yang notabennya musuh bebuyutannya. Padahal mereka bersahabat dari dulu, tetapi ke egoisan manusia bisa mengubah segalanya kan? Begitu juga dengan cinta. Yang bisa mengubah segalanya. Ia terduduk di kasurnya, menyenderkan tubuhnya di dinding. Hatinya kembali sakit ketika mengingat kejadian ajaib itu. Di mana semuanya berubah 180°. Tak Anna sangka semuanya bisa terjadi. Dan sekarang, di mana lelaki itu? Di mana lelaki yang ia cintai sejak dulu? Apa lelaki itu masih mengingatnya? Apa lelaki itu masih merindukannya? Apa lelaki itu masih berprasaan sama dengan Anna? Entahlah, Anna tidak tahu itu. Ia hanya bisa menunggu, menunggu, dan menunggu, walau ia tahu, menunggu itu membosankan. Suara merdu milik Adele membuyarkan lamunannya, matanya tertuju pada ponsel yang berkedip di sebelahnya. Mata Anna yang bulat seperti tahu bulat, semakin membulat. Seperti menerima telefon dari Valak--hantu the conjuring 2 yang sedang populer sekarang--matanya nyaris keluar ketika melihat nama lelaki itu tertera di ponselnya. Entah bagaimana bisa lelaki itu telah merusak keperawanan ponsel Anna. Pasalnya ponsel Anna tak pernah di pegang oleh siapa pun terkecuali dirinya. Tangannya bergetar untuk menggeser layar sentuhnya, untuk menghubungkan panggilan itu. ''Heh! Lo apain ponsel gue sampai ada nama lo di sana?'' Anna langsung menyerocos. Tetapi di sambungan sana, hanya terdengar suara kekehan. ''Kenapa memangnya? Salah?'' ''Ya jelas salah lah! Ponsel gue udah ngak perawan nih lo pegang!'' ''Apa pemiliknya juga ngak perawan?'' Anna memelototkan matanya. Dirinya paling membenci seseorang yang berbicara frontal kepadanya, apalagi seorang lelaki. ''Dasar cowok b******k! Liat aja lo nanti!'' Tut... tut... tut... Anna memutuskan panggilannya. Lebih baik dari pada darahnya harus naik ketika menghadapi lelaki autis itu. Omong-omong soal Valak, ia salah satu fansnya. Semenjak ia menonton film bioskop terkenal itu, entah mengapa hatinya menyukai si hantu Valak. Tampangnya memang nyeremin, tapi menurutnya hantu itu lucu. Menggemaskan. Seperti saat ini, dirinya telah memandang foto Valak di ponselnya, sambil tersenyum-senyum sendiri. Masa iya gue suka sama Valak? *** ''Eh, fans gue!'' Anna terus berjalan, dalam jalannya itu dahinya mengernyit, siapa yang disebut dengan fans? Tetapi, selang beberapa detik seseorang telah menepuk pundaknya. ''Gue manggil lo, dodol!'' Anna terkejut, ia memutar kepalanya ke belakang. Melihat siapa yang sudah memanggilnya dodol. Omong-omong soal dodol, Anna juga penggemar dodol. ''Heh, berani banget lo manggil gue dodol?'' Anna berkacak pinggang setelah mengetahui orangnya. Musuh bebuyutannya. Dia tersenyum seringai, ''Bukannya lo penggemar dodol?'' Anna menatapnya tak percaya, bagaimana ia tau kalau Anna menyukai dodol? ''Apa sih! Sok tau banget,'' ''Eh, ada Anna,'' ucap murid lain yang berjalan ke arah Anna sambil menahan tawanya. Lalu mendahului Anna. Ada yang ngak beres nih. ''Pasti kerjaan lo!'' Anna menyipitkan matanya, menunjuk Andi dengan telunjuk tangannya. Pasti, ia yakin pasti Andi. Anna pergi berlalu, lebih baik ia pergi ke kelas di banding harus menghadapi hantu yang seramnya melebihi Valak. Tetapi langkah Anna terhenti ketika melihat mading di penuhi murid-murid. Entah apa yang mereka lihat. Anna tak mau ikut campur, ia memilih untuk terus berjalan menuju kelasnya, walau tadi ada beberapa anak yang menatapnya jahil. ''Eh, ada fans beratnya Andi, man!'' Teriak salah satu siswa laki-laki. Berdiri bersama gerombolannya dan menatap Anna horor. ''Kalian ngapain sih?'' Tanya Anna seolah-olah tak mengerti apa-apa. ''Tuh, ada artikel baru tentang Andi yang lucu dan menggemaskan,'' sindir siswi perempuan. Anna mengernyitkan dahinya lagi, tetapi setelah diam beberapa saat Anna tersadar. Pasti ada yang sengaja. Anna berbalik, berjalan ke arah mading yang sebelumnya ia tak perdulikan. Menyingkirkan beberapa siswa yang masih bergerombol dan menatap Anna horor. Berapa terkejutnya Anna setelah melihat mading. Terpampang jelas di sana, ''ANNA SI PENGGEMAR ANDI, YANG LUCU DAN MENGGEMASKAN'' Anna membulatkan matanya, nafasnya tercekat, mukanya memerah, tangannya terkepal di sampingnya. Ia berbalik badan, menatap Andi yang sedang berdiri sambil bersedekap d**a dan senyum iblis di wajahnya. Menatapnya dengan penuh amarah, ''ANDI!!!'' * ''Lo itu, ngapain lagi sih sama si Andi?'' Decak Resa kesal. Baru saja ia menyelesaikan tugas Fisikanya, dan di hadiahi keluh Anna. Anna meringis, tangannya masih memeluk perutnya, ''Aduh jangan ngomel mulu dong Res, sakittttt!'' Naftalia menggaruk tengkuknya. Binggung juga harus berbuat apa untuk Anna. Memang dari dulu, Anna ngak bisa yang namanya lari sedikit, terakhir kali ia berlari pas kelas 2 SMP, dan itu langsung kambuh perutnya. ''Sakiiiitttt Nataalllll,'' rengeknya, keringat bercucuran membasahi wajahnya. Wajahnya juga memerah menahan sakit. ''Terus kita harus gimana Ann, aduhh,'' Resa berjalan bolak-balik. Kelasnya juga sedang tidak ada orang, rata-rata murid kelas Resa pergi keluar kalau istirahat. ''Si Anna di mana?'' Tanya seseorang sambil menongolkan kepalanya di pintu. Tetapi ketika matanya bertemu dengan Anna, dia melangkahkan kakinya mendekat. ''Lo kenapa Ann?'' Tanyanya binggung ketika melihat Anna meringis kesakitan. Resa menatapnya sangar, ''Ini tuh gara-gara lo! Liat tuh Anna jadi begitu!'' Ucapnya sambil berkacak pinggang. Andi mengangkat satu alisnya, ''Kok gue?'' ''Anna itu ngak bisa lari. Lari sedikit aja pasti ususnya kambuh. Lo sih ngajak dia lari-larian!'' Jelas Naftali. Andi hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Lalu mengangkat bahunya acuh. ''Resaaaaaa, Natallll sakittttt,'' rengeknya. Anna memeluk perutnya lebih erat. Merasakan ususnya seperti di tusuk-tusuk. Keringat terus saja bercucuran dari dahinya. ''Yaudah, gue gendong aja deh. Ke UKS,'' tanya Andi ragu. Resa dan Naftali mengangguk setuju. Dari pada mereka tersiksa mendengar keluhan Anna, lebih baik Anna di bawa ke UKS. ''Argh... sakittttt,'' Andi mengambil alih, dia membawa Anna ke dalam gendongannya. Keluar kelas lalu membawa Anna ke UKS. Bagaimana pun juga, ini berawal dari Andi bukan? ''Et dah, lo diem kek, budeg kuping gue!'' Ujar Andi, bisa-bisa kupingnya meledak menengar teriakan Anna yang semakin menjadi-jadi. Andi mendorong pintu UKS, meletakan Anna di ranjang. Lalu ia pergi ke belakang untuk membuatkan Anna teh hangat. Kiranya bisa menghangatkan perutnya. Beberapa menit kemudian Andi kembali, dengan cangkir teh hangat di tangan kirinya, lalu menyerahkannya kepada Anna, ''Nih, minum dulu. Biar hangat perut lo!'' Anna mengangguk. Tangannya gemetar. Biasanya kalau lagi kesakitan seperti ini tubuhnya lemas seperti Jelly, berjalan saja sulit. Setelah menengguk habis teh hangat itu, Anna kembali berbaring. Untuk meredakan sakit di perutnya. ''Gimana, udah enakan?'' Tanya Andi lagi, dari nada bicaranya terdengar khawatir. Anna mengangguk, ''Udah enakan. Tapi dikit, masih sakit banget,'' ''Yaudah lo di sini dulu deh, gue panggilin bu Tasya ya... nanti kalau gue di sini tambah bahaya,'' suruh Andi, tetapi Anna dengan cepat menarik tangan Andi. ''Gue mau ke kelas aja. Takut sama bu Tasya gue,'' Andi mengangguk, ''Bisa jalan?'' Anna mengangguk, Andi pun tersenyum. Dan pada saat itu barulah Anna sadar, kalau senyuman Andi bisa membuatnya klepek-klepek, eh? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD