BENAR, DIA PAPA ANAKKU

1221 Words
“Papaaaaaaaaaaa!” teriak seorang anak lelaki berusia empat tahun yang langsung melepaskan diri dari tangan sang mama dan menghampiri lelaki gagah yang sedang menggendong anak perempuan berusia hampir satu tahun Tentu saja istri lelaki tersebut kaget karena sang suami juga tidak berontak atau menepis anak tersebut. “Papa? Apa maksudnya Yah?” tanya ibu bayi perempuan di gendongan lelaki tersebut. “Benar! Dia memang Papa kandung anakku,” kata seorang perempuan cantik dan modis. Tentu saja istri dari lelaki tersebut yang sedang menggendong anaknya kaget. “Tapi kamu tak perlu sedih. Saya akan melepas sampah itu untuk kamu! Saya tidak menyangka Papa anak saya berbuat sedemikian rendah menikah dengan orang lain. Selama ini saya telah dia tipu. Terima kasih Kang. Terima kasih telah menipuku dan bertindak seakan selama ini hanya aku dan Raffa yang bisa membuatmu bahagia. Untuk seterusnya saya tidak akan pernah menjadi istrimu lagi! Terima kasih!” kata perempuan ibu naka lelaki dengan tegas dan keras membuat banyak pengunjung mall melihat tiga orang dewasa di tengah lobby mall di Bandung. Ibu anak lelaki bernama Raffasha Abidzar atau Raffa itu langsung mengambil anaknya dan melepas pegangan sang anak ke paha papanya, dia menggendong anaknya dan keluar dari mall tersebut. Tentu saja banyak orang yang merekam kejadian tersebut zaman sekarang semua pasti seperti itu. Istri kedua yang bersama sang suami banyak mendapat cibiran kalau dia perempuan tak bermoral dan pelakor. Tak adfa yang mau peduli, mereka hanya melihat ada perempuan dengan anak berusia empat tahun, artinya dia istri lelaki itu lebih dulu, jadi istri selanjutnya adalah pelakor. “Ma, Ma!” teriak lelaki yang bernama Ridwan Maulana tersebut. Dia masih menggendong putri kecilnya bersama perempuan yang hanya bisa menutup mulutnya di belakang dirinya, sedangkan dia mengejar perempuan yang membawa anak lelaki yang dia panggil Ma artinya perempuan tersebut memang istrinya. “Apa maksudnya dengan kejadian ini Yah? Apa maksudnya? Siapa perempuan dan anak tersebut? Dia bilang tadi anak itu adalah anakmu,” tanya Megawati Pertiwi atau Mega pada suaminya. “Kita bicara di rumah ya, kita bicara di rumah Bun. Jangan di sini,” ucap Ridwan terbata. Dia sedang memikirkan kemarahan Wintha istri tua yang sangat dia cintai. Bagaimana dia lupa kalau sudah empat hari lalu Wintha minta izin padanya akan reuni dengan teman kampusnya di Bandung? Dia lupa, kalau pun ingat tentu tak akan berpikir akan bertemu, karena Bandung kan luas. Padahal memang sejak dua setengah tahun lalu dia dan istri mudanya tinggal di Bandung. Di mobil perempuan tersebut hanya diam, dia tidak menyangka dia adalah istri kedua dari suaminya. Dia telah menyakiti perempuan lain. Tentu itu tidak akan pernah dia inginkan. ≈≈≈≈≈ Mega ingat tiga tahun lalu dia baru pulang kuliah di London, sebagai kejutan dia mendatangi papanya Hersa Pratama langsung di lokasi proyek. “Lho, anak Papi kok datang nggak kasih khabar? Kapan kamu datang dari London?” tanya Hersa pada putri semata wayangnya. “Aku baru datang Pi, dan aku langsung ke sini karena tahu Papi ada di sini. Surprise,” ucap Mega bahagia. “Ridwan, kalau begitu kita tunda dulu ya, karena putri saya datang,” kata Hersa pada kepala proyek kepercayaannya. “Tidak apa Pak, nanti kalau Bapak sudah sempat saja, baru kita sambung lagi. Toh Bapak sudah tahu pekerjaannya sudah sampai mana.” “Eh iya Mega, kamu kenalin, ini insinyur kepercayaan Papi, dia yang pegang proyek di sini,” Hersam memperkenalkan putrinya. Sejak itulah Mega dan Ridwan berkenalan, tiga tahun lalu sejak Mega pulang dari London. Lalu step by step mereka berkenalan dan akhirnya Hersa menyetujui pernikahan putrinya dengan anak yatim piatu yang sekaligus insinyur kepercayaannya. Saat itu Ridwan memang mengatakan dia yatim piatu, tak punya orang tua dan belum menikah. Sehingga tidak ada yang berkeberatan padahal sesungguhnya Ridwan sudah punya istri yang baru melahirkan anak lelaki bernama Raffa. ≈≈≈≈≈ “Tidak mungkin kan? Tidak mungkin,” Pratiwi ibunya Ridwan membantah apa yang dia dengar saat ini. Dewintha Kesumastuti atau Wintha menantunya yang sedang memberi fakta apa yang baru pagi menjelang siang tadi dia alami di Bandung. Menantunya bercerita dengan tegas, tak ada tangis tersedu-sedu, bahkan terisak saja tidak. “Aku nggak bohong Mah, ini kenyataan. Empat hari lalu, aku bilang sama Kang Ridwan bahwa kami akan ke Bandung untuk reuni teman kuliahku. Jadi Kang Ridwan tahu kok aku akan ke Bandung, tapi mungkin dia lupa saking terbiasa berbohong.” “Saat di Bandung aku baru ingat aku nggak bawa bekal diapersnya Raffa, sehingga akhirnya aku langsung mampir ke mall untuk beli diapers dulu. Saat sedang di mall itulah Raffa tiba-tiba lari dari tanganku dan memeluk kaki Kang Ridwan. Saat itu Kang Ridwan sedang menggendong anak perempuan berumur satu tahun. Dia sedang jalan bersama seorang perempuan yang rupanya istrinya.” “Jadi aku kasih tahu Mamah dan Papah, mulai saat ini aku mundur dan aku akan mengajukan cerai. Aku sengaja bilang dulu sama Mamah dan Papah agar kalau Kang Ridwan ke sini tanya saja siapa perempuan itu dan mengapa dia bisa menikah sama perempuan itu tanpa izin aku.” “Kalau dilihat dari usia anaknya minimal dia sudah menikah dua tahun karena usia anaknya satu tahun berarti kan pernikahan mereka sudah dua tahun. Aku nggak ngerti Mamah dan Papah tahu atau enggak. Tapi kalau Mamah dan Papah enggak tahu berarti Mamah dan Papah tidak dianggap sebagai orang tuanya Kang Ridwan. Aku enggak tahu lah. Pokoknya sejak saat ini mohon maaf, saya bukan lagi menantu Mamah dan Papah,” Wintha dengan tegas mengatakan itu pada ibu mertuanya. Tentu saja Pratiwi menangis. ≈≈≈≈≈ “Sabar Mbak, sabar,” kata Farhan, yang sejak dari Jakarta kemarin ke Bandung, lalu sekarang ke Bogor. Farhan selalu menemani sang kakak, dia menjadi sopir sang kakak untuk jalan ke Bandung kemarin. Dia juga saksi utama bagaimana sang kakak mendapat musibah yang sangat besar di mall kemarin. Dari mall Bandung memang Wintha meminta langsung pergi ke Bogor untuk menyelesaikan semua masalah dengan kedua orang tua Ridwan. Selama ini dia yang menanggung semua biaya kehidupan orang tua Ridwan, walau tentu saja dengan jumlah sedikit. Sesuai dengan gaji yang diberikan Ridwan selama ini. Wintha punya usaha sendiri, dia juga punya orang tua konglomerat, tapi memang tidak diperlihatkan pada Ridwan. Karena orang tuanya melarang. Orang tuanya menganjurkan agar Wintha hidup sesuai dengan standar yang diberikan suaminya saja, jangan memperlihatkan kemampuannya sendiri agar Ridwan tidak gelap mata agar Ridwan juga benar-benar memperlihatkan tanggung jawabnya kepada Wintha. Itu sebabnya selama ini yang memegang perusahaan adalah Farhan Akbar sang adik. Walau di belakang layar Wintha adalah CEO usaha ayah mereka. “Sudah Dek, sekarang kita urus semua persoalan kita di Jakarta dulu. Aku ingin mengambil semua berkas surat berharga, ijazah aku dari rumah itu termasuk surat-surat lahir dan paspor Raffa. Nanti sedikit-sedikit kosongkan rumah tersebut. Lalu setelah kosong baru kita jual dengan isinya. Yang penting barang-barang aku kosongkan dulu. Juga barang Raffa. Kalau barangnya Kang Ridwan masukkan saja dus taruh di ruang tamu dan tulis nama dia, sehingga nanti di kamar tidak ada barang dia sama sekali. Dia lkan bisa masuk rumah kapan pun karena masih pegang kunci.” “Aku yakin dia tidak akan pulang dalam waktu satu dua hari ini, jadi aku langsung urus dulu barang-barangku,” ucap Wintha. Tak ada tangis sejak tadi. Wintha dia benar-benar tidak mau menangisi kekalahannya, menangisi kepedihannya, dan menangisi titik nadir hidupnya. Yang menangis sejak tadi adalah Raffa yang tidak mau berhenti menjerit karena dipisahkan dari sang papa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD