CHAPTER 08

2262 Words
"Oppa tahu kau pasti stres mengurusi anak-anak TTS, maka dari itu mari bersenang-senang makan steak dan minum soju!" Adalah kalimat yang diucapkan Sejun ketika dirinya dan San sudah mendapatkan meja untuk makan malam.             San seketika terbahak mendengarnya, Sejun selalu tidak bosan berkata seperti itu. Entah untuk menggoda San karena harus terjebak dengan para member TTS atau memberikan San semangat agar bisa tahan menghadapi ketujuhnya.             "Oppa, rekrutmen besar-besaran agensi sudah dimulai, kan?" San bertanya setelah menuangkan soju pada gelas sang atasan. "Pastikan stylist dan coordi yang akan menangani Jungkook nanti bukan orang baru. Dia tidak akan mau." Tiba-tiba ingat rengekan Jungkook.             "Kita bisa atur itu." Sejun mengangguk lalu mengangkat gelasnya, bersulang dengan San. Selagi belum sibuk bekerja, mereka terkadang membutuhkan waktu untuk menenangkan pikiran.             "Apa tidak sekalian mencari penggantiku juga?”             Sejun langsung menatap San yang berbicara dengan sangat tenang. "Kontrak kerjamu lima tahun. Masih ada dua tahun ke depan, Sanayya-ah. Mengapa? Kau sudah tidak betah kerja dengan Oppa?"             "Bukan seperti itu—" San tidak melanjutkan ucapannya.             "Bagi Oppa kau masih sangat kompeten untuk menjadi manajer TTS. Jikalau nanti kontrakmu habis, malah agensi ingin memperpanjangnya," ujar Sejun, serius. "Oppa belum menemukan orang sejujur kau, Sanayya-ah."             "Maka Oppa harus segera menemukannya." San membalas dengan suara kecil. "Aku bahkan tidak yakin masih bisa hidup untuk dua tahun ke depan.”             "Berhentilah berbicara omong kosong atau Oppa akan marah padamu!" Sejun memperingatkan. "Kau sehat, Sanayya. Apa yang ada di kepalamu itu, huh? Sejak kapan kau jadi senang berpikiran negatif?"             Sejun merasa tersinggung dengan ucapan gadis yang berasal dari Indonesia itu. Selama mengenal San, dia tidak pernah berlaku lemah seperti ini karena memang San adalah tipe gadis yang sangat kuat. Bahkan dulu saat masih menjadi pembantu di rumah tetangga Sejun dan diperlakukan tidak layak, San bersikap seolah hidupnya baik-baik saja meski keadaan berbanding terbalik.             San tidak menjawab, memilih untuk memakan steak yang baru saja diantar oleh pelayan ke atas mejanya.             "Oppa harus kembali ke kantor, ada meeting pemantapan konsep tour. Kau tidak apa-apa Oppa tinggal?" Sejun bertanya dan dibalas anggukan oleh San. "Baiklah, makan yang benar dan nanti bawalah pulang beberapa porsi steak. Hadiah dari Oppa karena kau sudah bekerja dengan baik."             Setelah mengucapkan terima kasih dan membiarkan Sejun pergi dari restoran, San melanjutkan acara makannya. Sebenarnya semenjak masuk ke resto ini pandangan San terbagi ke arah meja paling sudut. San yakin orang yang memakai sweeter biru tua itu adalah Park Hoonie. Dia makan bersama teman satu grupnya, Lai Guanlin.             San hanya senang karena dia bisa melihat Hoonie meski ini sebuah kebetulan biasa. Tidak berharap Hoonie melihatnya apalagi mengenalinya. Lagi pula Hoonie sedang quality time, San tidak akan melakukan hal-hal bodoh. Bekerja sebagai manajer idol membuat San mengerti bahwa idol juga butuh privasi.             Tapi sepertinya malam ini memang penuh keberuntungan bagi San. Siapa sangka bahwa Hoonie melirik kepadanya lalu menyunggingkan sebuah senyuman. Tak hanya itu, Hoonie terlihat meminta izin kepada teman satu grupnya untuk menghampiri San. Seketika gadis itu jadi salah tingkah.             "Noona? Kau masih kenal aku, kan?" Hoonie menyapa dengan senyum gula, rasanya San ingin berteriak bahwa dia tidak mungkin lupa pada sosok imut bernama Park Hoonie.        Pemuda itu menarik kursi dan duduk dengan tenang setelah dipersilakan oleh San.             "Tentu saja aku ingat," jawab San dengan nada santai seperti bertemu kawan lama. "Sepertinya kau sedang libur sehingga ada waktu makan malam?"             "Iya, kami sedang melakukan world tour tapi kembali ke Korea dulu. Noona sendiri makan malam dengan siapa? Atau sedang menunggu seseorang?"             "Tadi aku bersama atasanku tapi beliau harus kembali ke kantor."             "Oh iya, terima kasih karena Noona mau memberikan nomor Vantae-sunbaenim. Aku sangat menghargainya." Hoonie menundukkan kepalanya sebagai tanda terima kasih.             "Asal artisku tidak keberatan jika aku memberikan nomor ponsel mereka, pasti aku tidak akan menghalangi."             "Noona manajer yang keren! Sepertinya TTS-sunbaenim sangat terbantu dengan adanya Noona di sisi mereka."             Entah untuk keberapa kalinya San merasa dadanya menghangat dengan ucapan Hoonie. "Senang bertemu denganmu di sini, Hoonie-ssi, tapi sepertinya aku harus pergi duluan." San sudah bangkit dari duduknya, merapikan jaket hitam kebesaran milik Jungkook yang dia kenakan. Gaya berpakaian San memang sangat cuek dan untuk waktu-waktu tertentu seperti sekarang—saat dia bertemu Hoonie—San membenci gaya penampilannya.             "Senang bertemu denganmu juga, Noona. Semoga kita bisa sering bertemu seperti ini."             Sering bertemu?             "Ah, iya, baiklah." San tidak tahu apa yang barusan ia ucapkan.             Sekali lagi Hoonie tersenyum dengan sangat manis. "Selamat malam untukmu." (*)               Pagi ini boleh San katakan bahwa ada yang aneh dari Jungkook? Biasanya pemuda itu akan merecoki pagi sunyi miliknya, tapi kali ini Jungkook sangat tenang.             San berpikir jangan-jangan Jungkook kembali galau karena ditinggalkan Lizzy sehingga dia langsung membuka pintu kamar Jungkook, ingin tahu apa yang dilakukan pemuda itu.             "Kau sudah sarapan?" San bertanya saat melihat Jungkook menggulung tubuhnya dengan selimut. Meringkuk di atas kasur. "Ayo bangun, kau ada latihan menari siang nanti."             Tidak ada jawaban.             "Jungkook, kau tahu tidak bahwa V memasang foto perempuan di ponselnya?" San memang memancing, tapi tidak sepenuhnya apa yang dia katakan bohong. San kemarin samar-samar tidak sengaja melihat layar ponsel Vantae. Tentu saja San tidak tertarik dengan privasi Vantae, dia melakukan ini agar Jungkook tertarik berbicara dengannya. "Kira-kira siapa ya perempuan itu? Pacar V, kah?"             Sangat hening dan merasa dicueki, San menghela napas. Katanya, "Jungkook-ah, aku tahu kau dan Lizzy—“             "Ini bukan tentang Lizzy, sialan!"             Jujur saja San terpengarah mendengarnya.  Jungkook baru saja mengumpat, membuat harga diri San cidera. Dalam tingkatan umur, San jelas lebih tua.             "Kau tidak perlu melampiaskan kemarahamu—karena gagal dalam asmara—dengan cara mengumpat padaku, Jungkook!”             "Siapa peduli?" jawab Jungkook, masih belum keluar dari selimut. Melanjutkan dengan penuh cibiran, "Sanayya-ssi."             "Panggil aku Noona!" ujar San sedikit menaikan intonasinya.             "Aku malas melihatmu dan tidak mau berbicara padamu, pembohong. Pergi sana."             "Bisa kau ulang ucapanmu, Jungkook-ssi? Aku tersinggung."             "Aku lebih tersinggung karena aku tetap saja percaya padamu meski kau sudah berbohong!"             Ini benar-benar sudah kelewatan. San tidak bisa lagi menahan kekesalannya pada Jungkook sehingga dia melangkah dengan cepat menuju tempat tidur dan menarik selimut, membuangnya ke mana saja.             "Sudah aku bilang aku tidak mau berurusan lagi denganmu! Apa kau tuli, gadis sialan?!" Jungkook berteriak cukup keras membuat San yang berdiri di sisi tempat tidur tidak bisa berkata-kata, terlalu terkejut.             "Jungkook!" Suara Joonie datang dari arah pintu kamar yang tidak tertutup. Teriakkan Jungkook terdengar sampai keluar sehingga Joonie langsung mencari tahu apa yang terjadi.             "Ada apa ini? Mengapa kau berteriak sekasar itu pada San, Kookie?" Seokjun ikut masuk ke kamar Jungkook.             Melihat San dan Jungkook yang terdiam tanpa ada satu pun di antara mereka yang berniat menjelaskan, Seokjun langsung memungut selimut pada lantai kemudian menghampiri Jungkook. "Aku yakin ini bukan pertama kalinya kalian berdua berdebat lalu berbeda pendapat, tapi jangan berteriak seperti tadi. Seolah-olah masalahnya sangat serius."             "Segera selesaikan dan meminta maaf." Joonie tidak mau ada masalah pada pagi-pagi buta seperti ini.             "Persetan dengannya." Jungkook tidak mendengar ucapan Joonie, dia malah keluar dari kamarnya dan sempat membanting pintu dengan keras. Pemuda itu terlihat sangat berantakan. Biasanya Jungkook marah jika kamera atau barang-barang berharganya rusak, selebihnya Jungkook selalu bisa mengontrol emosi. Malah bisa dibilang Jungkook itu jarang marah.             "San, apa ada sesuatu yang serius di sini?" Joonie beralih pada manajernya yang tertangkap baru saja mengusap sudut mata kanan.             Tidak Joonie pungkiri, ucapan Jungkook beberapa saat lalu memang sangat kasar. Secuek apa pun San, dia tetap seorang gadis. Pastilah hatinya akan sedih jika dikatai 'tuli' dan diberi julukan 'gadis sialan' oleh Jungkook.             Hari ini, rasanya Jungkook dan San telah mengeluarkan sisi berbeda mereka masing-masing. Pertama kalinya Jungkook terlihat sangat marah dan yang paling mengejutkan adalah; San menangis karena ucapan Jungkook.   (*)               Laki-laki dengan rasio wajah yang mendekati sempurna itu menatap adiknya yang baru saja selesai bercerita. Vantae tidak melepaskan mata dari Jungkook yang terus menundukan kepala sejak awal kalimat.             "Lihat padaku, Jungkook." Vantae langsung menghela napas ketika Jungkook mengangkat wajah dan menampilkan ekspresi bersalah. "Kau memang agak keteraluan jika berbicara kasar seperti itu pada San. Dia pasti tersinggung."             "Aku kesal, hyung. Aku tidak bermaksud." Jungkook bukannya membela diri, tapi itu kenyataan yang ada. "Aku juga menyesal mengatakannya.”             "Hanya karena San bertemu dengan Park Hoonie bukan berarti dia akan berhenti menjadi manajer kita, Kookie. San juga butuh bergaul."             Iya, seperti Hyung. Terlalu sering bergaul, punya teman di sana-sini sehingga terkadang lupa bahwa aku juga ingin bermain dan menghabiskan waktu denganmu. Tapi Jungkook tidak akan bisa berkata seperti itu pada Vantae. Dia hanya menjawab, "Aku memang salah."             "Yang penting kau sudah tahu itu salah. Harus segera minta maaf dan besok-besok jangan seperti itu lagi, ya.  Kookie-ku pemuda yang sangat baik, tidak kasar." Vantae tersenyum sambil mengusap kepala sang maknae.             Jungkook mengangguk dan Vantae langsung serius dengan ponsel setelah berbicara. Sepertinya Vantae akhir-akhir ini sibuk pada sesuatu tapi Jungkook tidak tahu apa itu.             "Banyak fans yang mengedit fotomu dengan Lizzy," kata Vantae, menampilkan sebuah foto editan yang rapi. Pembuatnya begitu niat. "Apa kau masih ingin go public?"             "Hyung ini bicara apa? Lagipula aku sudah putus dengan Lizzy dan go public atau hal-hal seperti rumor kencan tidak akan terjadi lagi." Jungkook menjawab dengan nada datar.                 "Kau sudah tidak mengejar Lizzy seperti kemarin?"             "Dia sudah tidak mau. Aku malas, hanya buang-buang waktu." Jungkook mengangkat bahunya. "Aku sudah memberikan perasaanku tapi dia menolaknya, jadi mulai dari sekarang aku akan berhenti."             Sebenarnya sifat Jungkook memang seperti ini. Vantae sudah hapal bahwa Jungkook terbiasa mendapatkan segalanya dan jika dia harus melepas sesuatu, Jungkook tidak pernah terlalu mengambil pusing. Jungkook kadang dewasa, tapi sifat dominannya selalu memperlihatkan sisi berbeda.             Jungkook bukan tipe orang yang gampang menyerah— hanya sangat tahu bagaimana memposisikan diri. Semua orang seolah harus menyukainya dan dia bebas jika hanya menyukai setengahnya saja. Sisanya, orang yang harus mengambil hati Jungkook lebih giat. Jungkook hanya akan memberikan hatinya pada orang-orang yang benar-benar menyayanginya.             Vantae sempat tidak percaya ketika tahu Jungkook mengejar Lizzy, sekarang dia sudah back to reality. Jungkook tetaplah Jungkook.             "Mengingatkanku pada seseorang. Kau juga berhenti mengejarnya, Jungkook-ssi," ujar Vantae tiba-tiba dan Jungkook tahu ke mana arah pembicaraan ini.             "Ah, ya, dia..." Jungkook butuh memilih kata yang tepat.             "Boleh aku katakan bahwa kau hanya tertarik saja pada Lizzy tapi tidak benar-benar punya perasaan sedalam itu? Apa kau hanya ingin membuktikan jika kau pantas dicintai, Jungkook-ah? Kau sudah tahu Lizzy tidak menginginkanmu maka dari itu kau berhenti mengejarnya. Apa kau melakukan ini semua hanya untuk mencari jawaban yang sejak dulu belum kau dapatkan atas hati seseorang?" Terdengar seperti sebuah pernyataan dibanding pertanyaan.             Jungkook langsung menyanggah, "Hyung, kata siapa aku belum tahu jawabannya? Seseorang yang kau maksud tidak pernah mencintaiku dan soal aku yang mengejar Lizzy, itu karena aku mau. Apa yang terjadi padaku dan Lizzy tidak ada hubungannya dengan siapa pun."             “Kuharap itu benar,” balas Vantae.   (*)               Jungkook berjalan menuju dapur dan menemukan dua buah kaleng cola di atas meja serta selembar kertas berisi tuLizzyn;               Aku akan membantumu untuk mendapatkan Lizzy lagi tapi jangan marah kepadaku seperti ini. Aku juga tidak tahu salahku apa sampai kau marah.             Aku minta maaf jika berlaku seolah tidak peduli, sebenarnya aku ingin melihat kau bahagia tapi kau selalu egois tidak mau mendengarkan aku, jadilah aku sangat kesal.             Ada hal-hal yang tidak bisa kau paksakan, Jungkook. Tidak semua hal bisa kau milikki juga.             Aku tidak berbohong soal ini, aku akan membantumu mendapatkan Lizzy jika itu memang maumu.              Jangan mengataiku 'pembohong', 'tuli' apalagi 'sialan'. Itu tidak sopan, Jungkook-ssi! Kau berhutang maaf padaku!             Yang terakhir, kau tidak usah memanggilku Noona. Bukan masalah, karena biasanya juga memang seperti itu kan? Berhentilah merajuk, kau sudah besar.             Kookie, mari bicara?             —Sanayya.               Jungkook menghela napasnya setelah selesai membaca tuLizzyn tangan San. Kemudian ada langkah kaki yang sudah sangat dia hapal datang mendekatinya. Jungkook berbalik, menemukan San yang tersenyum kaku. Mengambil tempat duduk sehingga mau tak mau Jungkook juga menarik kursi. Duduk di hadapan San.             San memulai, "Aku akan membantumu—“             "Tidak usah." Jungkook memotong ucapan, tahu ke mana arah pembicaraan gadis itu.             "Eh?"             "Kau tidak perlu membantuku atau melakukan hal lain untukku. Aku selalu menyusahkanmu. Ini bukan tugasmu sebagai manajer. Aku minta maaf juga karena berkata kasar."             Apakah Jungkook sedang mode baik? Jujur saja saat ini San tidak bisa menebak.             "Aku berjanji akan berhenti mengejar Lizzy, tapi aku harus tahu satu hal dulu." Jungkook menggantungkan ucapannya, dia menatap San tepat di mata. "Katakan bahwa kau tidak makan malam dengan Park Hoonie. Bila perlu, berbohonglah. Agar aku merasa baik-baik saja. Berbohonglah, San."             San tidak pernah terlibat obrolan serius dengan Jungkook. Atau mungkin selama ini, San memang tidak pernah menganggap Jungkook serius sehingga dia bisa berkata semaunya pada pemuda itu?             Tapi kali ini, lidah San seperti tertahan. Kesulitan menjawab meski seharusnya dia tidak perlu merasa seperti ini. "Kau tahu darimana tentang hal itu?" San malah balik bertanya.             Jungkook mendengus sedikit, samar. Hampir tak terlihat. "Berbohonglah," ujarnya. "Agar aku merasa baik-baik saja."             "Aku memang bertemu—“             "Berbohonglah, San."             "Jungkook, itu benar." Setelah mengatakan itu, San bisa melihat bahwa Jungkook menatapnya dengan ekspresi memohon. San tidak mau berpikir hal mustahil tapi apakah ucapan Jungkook tadi pagi yang mengatainya 'pembohong' berkaitan dengan Park Hoonie? Jika memang iya, mengapa San malah berpikir bahwa Jungkook marah karena dia tidak membantu Jungkook untuk mendapatkan Lizzy? San bingung.             "Aku memang bertemu dengan Hoonie di restoran, tapi aku tidak makan malam dengannya." San menjelaskan tanpa mengalihkan pandangan. "Kenyatannya seperti itu.”             "Aku meminta kau untuk berbohong.”             "Tapi aku tidak mau."             "Kenapa?" tanya Jungkook. Kali ini tatapannya sayu, khas Jungkook. Lembut. Mendebarkan.             "Karena, aku...," San mengalihkan matanya, ke mana saja asal bukan pada iris milik Jungkook. "Aku tidak mau berbohong. Aku ingin kau percaya padaku."             Tidak ada yang bersuara. Hening yang sulit dijabarkan.             Seharusnya bisa berkata yang lain, lebih baik dari ini, tapi San hanya memanggil perlahan, "Jungkook?"             "Kau sudah mendapatkannya kembali,” ujar pemuda itu.             "Apa?"             Dan Jungkook menjawab, "Seluruh kepercayaanku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD