Bukan. Bukan kepergian Wira lagi yang mengganggunya. Tapi ucapan dosen pembimbingnya berhari-hari lalu. Saat lelaki paruh baya itu mengomel dan malah meragukan kemampuannya. Jujur, ia tak suka. Ia tak suka ketika ia sudah berusaha mati-matian selama bertahun-tahun belajar namun semangatnya dipatahkan begitu saja saja saat lelaki itu melontar... “Saya malah khawatir ketika kamu benar-benar menjadi seorang dokter nanti. Bagaimana bisa kamu mencampuradukan pekerjaan dan perasaan?” Pekerjaan dan perasaan. Pekerjaan....dan perasaan. Ia tahu jika ia salah. Namun bisakah untuk tak berkata seperti itu? Tapi perlahan ia juga sadar. Karena memang perkataan itu sesuai dengan kenyataannya. Memang benar kan jika ia tak bisa mengendalikan perasaannya sendiri? Hingga semua yang ia lakukan kacau semua.