8. Siapa Sih Dia?

930 Words
Aruna terdiam, menundukkan kepala dan mengaduk-aduk semangkuk bakso miliknya. Namun ia tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Evan tadi saat mereka berbicara di ruangan pria itu. Ia tidak mengerti mengapa bosnya itu begitu menolak perjodohan yang telah direncanakan oleh ayahnya. Sedangkan orang tuanya sangat ingin ia bisa menerimanya. "Apakah segitu bencinya dia padaku? Sehingga dia bersikeras menolak perjodohan itu" ia bergumam dan terus mengaduk-aduk semangkuk bakso yang sama sekali belum ia sentuh. Indira yang duduk di sebelahnya pun menoleh saat mendengar yang ia katakan. "Benci? Siapa yang benci sama kamu?" ia bertanya dengan dahi yang mengerut. Aruna langsung terperanjat dan tersadar dari lamunannya. "Eh, siapa yang benci?" tanyanya menoleh ke arah rekan kerjanya. "Enggak tahu" Indira menggeleng. "Tadi kamu bilang, apakah dia segitu bencinya padamu? Terus kamu juga bilang, sehingga dia bersikeras menolak perjodohan itu" ia berkata dan mengulangi yang tadi dikatakan oleh Aruna. "Memangnya tadi aku ngomong kayak begitu?" Aruna bertanya dan terlihat bingung. Ia tidak menyadari bahwa ia mengatakan kalimat tersebut dan Indira mendengarnya. "Iya, tadi kamu bilang begitu" jawab Indira menganggukkan kepala. "Sebenarnya siapa sih 'dia' yang kamu maksud?" tanyanya mengerutkan dahi dan terlihat penasaran. Aruna terdiam dan menundukkan kepala tanpa mengatakan apa, ia tidak tahu harus memberitahu hal itu pada rekan kerjanya atau tidak. Sebab mereka baru saling mengenal selama beberapa hari. "Aruna, kamu baik-baik saja?" Indira bertanya dengan dahi yang mengerut. "Iya, aku baik-baik saja" jawab Aruna menganggukkan kepala. "Kalau kamu enggak mau cerita enggak apa-apa kok, aku enggak bakal maksa. Lagipula, itu kan privasi" Indira berkata menatap Aruna dengan senyum yang terukir di wajahnya. Aruna menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan sebelum ia berbicara. "Sebenarnya aku dijodohkan oleh pak Evan" "APA?! Kamu dijodohkan oleh pak Evan?" Indira membulatkan mata dan terlihat tidak percaya. Aruna segera menutup mulut Indira dengan telapak tangannya dan memperhatikan ke sekitar memastikan tidak ada satupun orang yang mendengarnya. "Ssstt, pelan-pelan ngomongnya nanti yang lain dengar" katanya beralih menatap Indira. Lalu ia menyingkirkan tangannya dari mulut temannya itu. "Iya, maaf" jawab Indira menundukkan kepala dan terlihat merasa bersalah. "Eh, tapi serius kamu dijodohkan dengan pak Evan?" tanyanya beralih menatap Aruna. "Iya, aku serius" Aruna mengangguk. "Sebenarnya bukan aku yang dijodohkan dengannya, tapi sepupu aku, namanya Aretha. Tapi sayangnya, kak Aretha enggak mau dijodohkan dengan pak Evan karena dia sudah memiliki pacar. Jadi dia meminta aku untuk menggantikannya dalam perjodohan itu" jelasnya menundukkan kepala. "Dan kamu menerimanya?" Indira mengerutkan dahi dan terlihat penasaran. "Iya, soalnya aku udah terlanjur janji sama kak Aretha bakal menuruti permintaannya apapun itu" jawab Aruna menganggukkan kepala. "Tapi ternyata dia meminta aku untuk menggantikannya menikah dengan pria yang dijodohkan dengannya. Dan ternyata pria itu adalah pak Evan" "Terus bagaimana? Pak Evan setuju?" Indira bertanya dan mengangkat satu alis. "Enggak" Aruna menggeleng. "Ayahnya bilang, dia sudah setuju dengan perjodohan itu tapi setelah tahu aku yang bakal menikah dengannya dia malah langsung menolaknya. Dia bahkan mengatakan kalau dia enggak sudi menikah dengan aku" jawabnya dengan kepala yang masih tertunduk. Namun ia kembali teringat dengan momen pertemuan itu yang sama sekali tidak ia duga, bahkan ia berharap kalau pertemuan itu hanyalah mimpi. "Kok pak Evan kayak gitu sih? Memangnya kamu salah apa?" Indira mengerutkan dahi dan terlihat tidak mengerti. "Entahlah, aku enggak juga paham" Aruna mengangkat bahu. "Tapi dia mengatakan itu karena aku yang ceroboh. Dan dia enggak mau memiliki istri yang ceroboh seperti aku" *** "Jadi Aretha belum juga kembali?" Wisnu bertanya, menatap Aruna yang duduk di sebelahnya. "Belum, Om" jawab Aruna menggelengkan kepala. "Bahkan saya sama sekali enggak mendapat kabar darinya. Sudah berkali-kali saya menghubunginya tapi nomornya selalu enggak aktif. Dan sudah berpuluh-puluh kali saya mengirimkan pesan padanya tapi dia enggak pernah membalasnya" Wisnu menghela nafas dan mengalihkan pandangan tanpa mengatakan apa-apa. Ia bertanya-tanya sebenarnya ke mana anak semata wayangnya itu. "Om sudah coba tanya ke kak Rangga?" Aruna mengangkat satu alis dan Wisnu melirik ke arahnya. "Mungkin saja kak Rangga tahu di mana keberadaan kak Aretha" "Rangga enggak ada di kostnya" Wisnu berkata dengan datar dan menatap lurus ke depan. Mata Aruna melebar saat mendengar jawaban pamannya. "Enggak ada di kostnya? Berarti kak Aretha melarikan diri dengan kak Rangga?" "Mungkin" Wisnu mengangguk. "Karena teman satu kostnya mengatakan sudah tiga hari Rangga enggak pulang. Dan enggak biasanya dia seperti itu. Bahkan nomornya juga enggak aktif" Aruna menghela nafas dan menundukkan kepala tanpa mengatakan apa-apa. "Andai saja saya tahu di mana rumah orang tuanya maka saya akan menghampirinya untuk menanyakan tentang keberadaan Aretha" tambah Wisnu dan Aruna menoleh ke arahnya. "Om yang sabar, ya. Aku yakin kak Aretha baik-baik saja kok" Aruna berkata, memegang bahu pamannya dan tersenyum. "Dan suatu hari nanti kak Aretha pasti kembali" Wisnu mengangguk. "Terima kasih, Aruna. Andai saja saya memiliki anak seperti kamu maka saya akan sangat bahagia" katanya menoleh ke arah Aruna. Aruna hanya tersenyum dan menatap Wisnu tanpa mengatakan apapun. "Oh, ya, lalu apakah kamu sudah bilang pada orang tuamu tentang perjodohan ini?" Wisnu bertanya saat ia teringat dengan hal itu. "Sudah" Aruna mengangguk. "Mereka mengatakan bahwa mereka enggak keberatan dengan hal itu" jawabnya dengan senyum yang masih terukir di wajahnya. "Dan itu berarti mereka mengizinkan kamu untuk menggantikan Aretha?" Wisnu kembali bertanya dan Aruna hanya mengangguk. Lalu ia menghela nafas lega. "Syukurlah, o*******g mendengarnya. Karena Om enggak berani untuk mengatakan ini pada orang tuamu" ia berkata dan menundukkan kepala. "Enggak apa-apa kok, Om. Kan aku udah bilang jadi Om enggak usah bilang lagi" jawab Aruna, menatap Wisnu dan tersenyum. Sebuah senyuman pun terukir di wajah Wisnu saat mendengar yang dikatakan oleh Aruna. "Terima kasih, ya. Kamu memang anak yang baik. Orang tuamu pasti bangga padamu" ia berkata menoleh ke arah ponakannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD