"Nak, kamu kenapa? Kok kamu bisa seperti ini. Terus ini siapa? Hendi mana?" Ibu mertua memberondongku dengan pertanyaan seraya membantuku memapah sampai duduk di kursi.
"Kamu gak sama Hendi?" tanyanya lagi.
"Enggak Bu, tadi aku pergi sendirian, ada perlu. Mas Hendi gak tahu pergi kemana, tadi pagi pamit katanya mau ketemu teman."
"Tadi mbok Jum udah coba telepon ke Hendi, gak diangkat malah katanya sekarang nomor teleponnya tidak aktif," sahut ibu.
"Baterainya lowbet kali, Bu."
"Iya mungkin. Terus ini kenapa kakimu jadi seperti ini? Harusnya kamu hati-hati kalau bawa motor."
"Maaf Bu, ini murni kesalahan saya. Saya yang sudah membuat Mbak Reina celaka." sela Mas Rusdy. Ibu menoleh ke arahnya. "Tadi saya yang menabraknya, Bu," lanjut Mas Rusdy lagi.
"Gak apa-apa kok, Bu. Mas Rusdy gak sengaja karena tadi aku yang ngerem mendadak."
"Ya sudah, udah kayak gini mau diapain lagi. Sekarang, kamu harus istirahat sampai kakimu sembuh. Biar nanti ibu bilang ke Hendi, pergi kok lama banget sampe gak ngasih kabar apa-apa!" Ibu mendengus kesal.
Tak lama, mbok Jum keluar sembari membawa teh manis hangat untuk tiga orang, serta cemilan yang mbok Jum buat sendiri.
"Silahkan diminum dulu Bu, non, mas," ucap mbok Jum ramah.
"Terima kasih," sahut lelaki itu sembari tersenyum.
"Ibu kenapa? Tadi kata simbok ibu nangis?"
"Emmh itu nak, Freya ..."
"Freya kenapa, Bu?" tanyaku lagi penasaran. Freya adalah adik bungsu Mas Hendi, saat ini usianya menginjak 17 tahun, baru kelas 3 Sekolah Menengah Atas.
"Ibu tidak bisa mengatakannya disini. Nanti saja. Sebenarnya ini juga bukan masalah kamu, ibu akan katakan kalau Hendi datang," sahut ibu lagi.
Suasana sedikit canggung, apalagi sekilas Mas Rusdy memandangku dengan tatapan aneh, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan.
"Bu, mbak, sepertinya saya harus pulang dulu," ucapnya kemudian setelah meminum teh manis itu hingga tandas.
Ia berkali-kali melihat arloji yang melingkar di tangannya.
"Oh iya mas, terima kasih sudah mengantar saya ke rumah."
"Tidak apa-apa, mbak. Saya yang harusnya minta maaf. Untuk motornya nanti kalau dah selesai diservis, akan langsung dikirim kesini."
"Iya, mas."
Mas Rusdy bangkit dari duduknya lalu berpamitan dengan ibu.
Saat sampai didekat pintu, langkahnya terhenti. Tak lama Mas Hendi datang, iapun terkejut melihat Mas Rusdy ada di rumah. Keduanya saling mematung, dengan sorot mata yang tak bisa diartikan.
"Hendi, kamu dari mana saja? Ini istrimu habis kecelakaan, kakinya terluka cukup parah. Kamu malah pergi tidak jelas kemana rimbanya!" tegur ibu.
Mas Hendi gelagapan dan tampak salah tingkah. Ia menyugar rambutnya yang terlihat berantakan.
"Ah ini kok bisa--, maksudku kamu kok tahu aku kalau aku tinggal disini?" tanya Mas Hendi gugup.
"Hush! Kamu kok malah berkata seperti itu! Nak Rusdy itu yang sudah menyelamatkan istrimu, dia mengantarnya sampai ke rumah," tukas ibu mertua menjelaskan.
"Hah?" Mas Hendi masih terlihat bingung, ia menoleh ke arahku lalu bergantian menoleh ke arah temannya. Lelaki berkacamata itu hanya mengulum senyum menangkap kebingungan di wajah Mas Hendy.
"Rusdy, ayo duduk dulu," ajak Mas Hendi sambil menarik lengan Mas Rusdy untuk kembali duduk.
"Dek, berarti kamu udah tahu kan, ini Rusdy yang mas ceritakan kemarin. Rusdy ini yang ngasih pekerjaan buat mas. Benarkan pak bos?" tanya Mas Hendi menutupi kegusaran hatinya.
"Mungkin saya perlu memikirkan ulang untuk hal ini," jawab Mas Rusdy.
"Maksudnya apa? bukankah tadi kita sudah deal?"
"Kita bicarakan nanti saja, saya permisi pulang dulu," sahut Mas Rusdy. "Saya pamit ya Bu, mbak Reina. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Kulihat Mas Hendi tampak mengernyitkan keningnya. Bingung.
"Kenapa Hen? Ada apa?" tegur ibu.
Mas Hendi mengusap wajahnya dengan kasar, sepertinya kata-kata Mas Rusdy cukup jelas. Ia mungkin jadi ragu ingin bekerja sama dengan suamiku.
"Tidak apa-apa, Bu," jawab Mas Hendi berbohong.
Sejenak kemudian Mas Hendi sudah berjongkok di hadapanku.
"Kok bisa kamu kecelakaan seperti ini? Memangnya kamu habis dari mana?" tanya Mas Hendi sambil melihat luka di kakiku yang sudah dibalut perban.
"Aw mas, hati-hati sakiiit ..." pekikku.
"Iya, maaf. Kamu habis dari mana dek? Terus kenapa bisa ketemu Rusdy?"
"Harusnya tadi aku bisa melihat pemandangan yang mengejutkan, tapi gagal deh."
"Pemandangan? Pemandangan apa? Ngomong yang jelas dek, kamu pengin jalan-jalan?"
"Hmmm ya begitulah, tapi mungkin aku terlalu sibuk dengan aktivitasku sendiri."
"Terus kenapa bisa ketemu Rusdy?"
"Kan tadi ibu dah bilang, Mas Rusdy yang menolongku dan mengantarku sampai rumah."
"Dia gak cerita apa-apa kan dek?"
"Enggak tuh. Cerita apa memangnya?"
"Hendi, istri lagi sakit malah ditanya-tanya terus! Harusnya ibu yang bertanya padamu. Kamu habis dari mana seharian ini?" tukas ibu.
Mas Hendi menghela nafas beratnya. "Mmmhh tidak ada, Bu."
"Bawa istrimu istirahat di kamar. Ibu juga mau bicara denganmu, tentang Freya."
"Freya? Ada apalagi dengan dia?"
Mata ibu membulat, mendelik ke arah anaknya.
"Iya-iya. Ya sudah dek, kamu istirahat di kamar ya, biar mas gendong aja," sahut Mas Hendi, tanpa kompromi lagi ia langsung mengangkat tubuhku dan merebahkannya diatas springbed.
Ulu hatiku terasa berdenyut nyeri. Rasanya sakit sekali, Mas Hendi bersikap perhatian begini, seperti tidak ada sesuatu yang terjadi. Ternyata kamu sudah seperti aktor kenamaan yang totalitas menjalankan peran sandiwaranya. Berpura-pura mencintaiku, padahal ia baik padaku hanya karena harta.
"Kamu istirahat dulu ya, nanti biar mas yang siapkan air hangat untuk kamu mandi. Kalau butuh sesuatu tinggal bilang aja. Mas benar-benar khawatir keadaanmu seperti ini," ucap Mas Hendi.
Ia mengecup keningku, membuat hatiku makin kelu. Aku memalingkan wajah, rasanya sesak sekali menatap wajah suamiku itu.
"Dek, maaf. Tadi harusnya selesai bertemu Rusdy, mas langsung pulang. Tapi mas pergi ke rumah teman mas yang lain. Maaf ya," ujarnya dengan nada lembut.
Ia meraih tanganku lalu mengecupnya perlahan. Aku segera menarik tanganku. Tak habis pikir kenapa Mas Hendi melakukan ini. Pengen tak hiiih saja! Gemas!
"Hen, bisa bicara sebentar?" teriak ibu dari luar.
"Iya, Bu."
Mas Hendi beranjak menemui ibunya. Aku benar-benar penasaran apa yang akan dikatakan ibu pada Mas Hendi. Kenapa aku tidak boleh tahu?
Perlahan aku turun, dengan langkah pelan dan tertatih untuk menghampiri mereka, menahan rasa sakit yang menjalar hampir ke seluruh tubuh. Mereka ngobrol di halaman belakang rumah. Langkahku terhenti saat sudah sampai di dekat pintu. Sepertinya aku sudah ketinggalan berita, hal serius apa yang mereka bicarakan. Yang kudengar saat itu hanya bisa membuatku tercenung, menerka apa maksudnya.